Wednesday, January 10, 2007

Peran Komunitas Masyarakat Sipil dalam Gerakan Buruh

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi 5

Peran komunitas masyarakat sipil

Dalam gerakan buruh

(S. Prapto).

Aktivis pada Sekretariat Perburuhan Institut Sosial - Jakarta

Tulisan ini hanyalah sebuah pengalaman pribadi selama berkecimpung di bidang perburuhan sejak tahun 1980-an hingga sekarang. Saya tidak tahu apakah ini yang dimaksud oleh tema di atas atau bukan. Refleksi pengalaman saya ini jauh dari sempurna mengingat sudah banyak informasi yang termakan usia dan juga keterbatasan saya sendiri untuk menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Tahun 1980-an merupakan kejayaan industri di Indonesia dengan capaian ekspor menggila ke seluruh penjuru dunia. Harapan akan datangnya kemakmuran hampir ditumpukan pada industri yang berkembang saat itu. Berbagai iming-iming yang ditawarkan negara baik kepada pemodal maupun buruh terdengar menggiurkan dengan konsep yang sangat menggoda yaitu terwujudnya hubungan industial pancasila (HIP). Insentif yang diberikan pada dunia usaha ibaratnya seperti memanjakan anak yang paling disayangi. Pembebasan pajak (holidaytax), stabilitas politik perburuhan, termasuk dipertahankannya Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) sebagai satu satunya organisasi buruh yang boleh hidup di negara ini, merupakan bentuk dari insentif yang dimaksud di atas. Sayangnya, kemajuan tersebut tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan pada buruh.

Aktivitas Buruh di Era Penunggalan Organisasi Buruh

Bersamaan dengan semakin tumbuhnya industri, aksi-aksi buruh menuntut peningkatan kesejahteraan juga meningkat, walau hasil akhir yang dituai buruh adalah pemutusan hubungan kerja. Aksi-aksi buruh sangat mudah diredam karena tidak didukung dengan organisasi yang solid dan masih kentalnya intervensi aparat keamanan dalam konflik perburuhan. Organisasi tunggal yang ”notabene” sebagai payung buruh justru ikut menjadi peredam efektif perjuangannya. Organisasi buruh tingkat pabrik/perusahaan tidak cukup mendapat perhatian dan penguatan dari induk organisasinya, malah terkesan dibiarkan tumbuh secara alami tanpa di back-up dengan program-program yang dapat memperkuatnya. Buruh bagaikan anak ayam kehilangan induknya. Penangkapan terhadap pemimpin-pemimpin buruh terus dilakukan. Pengawasan terhadap aktivitas buruh, baik di tempat kerja maupun di lingkungan tempat tinggal diperketat dengan berbagai cara. Aparat lokal seperti RT/RW turut ambil bagian dalam sistem pengawasan terpadu yang dirancang oleh negara. Hal tersebut diperparah oleh oknum organisasi buruh yang memanfaatkan situasi itu untuk kepentingan pribadi. Mereka sering mendapat upeti dari pengusaha bila menyetujui tindakan penyingkiran terhadap pemimpin buruh yang dianggap vokal di dalam perusahaan. Tingkat represi yang demikian dahsyat tersebut, toh tidak menyurutkan buruh untuk terus memperjuangkan hak-haknya walau mereka tahu resiko yang bakal dihadapinya. Kesendirian buruh dalam memperjuangkan hak-haknya memicu munculnya keprihatinan sebagian kecil masyarakat sipil untuk mencoba ikut mendampingi dan memberikan pembelaan, khususnya hak-hak normatifnya. Kemunculan komunitas masyarakat sipil yang mengorganisir diri ke dalam lembaga swadaya masyarakat seperti Lembaga Bantuan Hukum ataupun sejenisnya, setidaknya memberikan ruang bagi buruh untuk memulai mencari akses informasi maupun alternatif pembelaan hukum di luar organisasi buruh yang ada.

Dukungan dari organisasi masyarakat sipil terhadap perjuangan buruh kala itu, sedikit memberi harapan bagi buruh. Kasus demi kasus dapat diatasi walau hasilnya tidak maksimal. Setidaknya, buruh mempunyai kawan yang bersedia mendengarkan keluh kesahnya, dan diajak secara bersama sama meneriakkan problem yang dialaminya. Disamping itu, perhatian dan pengawasan oleh negara terhadap perjuangan buruh mulai terpecah menjadi dua : pada LSM pemerhati buruh dan kepada buruh itu sendiri. Konflik perburuhan yang terjadi antara organisasi masyarakat sipil dan buruh, justru dapat menyambungkan relasi antar mereka. Kegiatan perburuhan mengalami peningkatan terutama di Jawa dan Sumatera (khususnya Medan). Kegiatan perburuhan seperti pendidikan perburuhan yang diinisiasi LSM perburuhan, cukup memberi warna tersendiri bagi pergerakan buruh saat itu. Selain tuntutan yang bersifat normatif, kepentingan politik buruh mulai muncul ke permukaan. Kebebasan berserikat buruh mulai menjadi perhatian kegiatan advokasi dan kampanye. Isu tersebut dimaksudkan untuk membuka ruang lebih luas bagi buruh untuk mengekspresikan kepentingannya. Kampanye tentang hak berserikat bagi buruh mulai berkumandang secara nasional maupun internasional. Aktivitas buruh secara berkelompok menjamur, demikian pula teater-teater buruh yang mengekspresikan kondisi perburuhan juga semakin semarak menghiasi kehidupan buruh. Meskipun kegiatan kegiatan tersebut dilakukan secara sembunyi-sembunyi, namun frekuensi dan penyebarannya meluas dan terus meningkat.

Hubungan LSM - Buruh

Entah disadari atau tidak, bahwa kekosongan fungsi fungsi Serikat Buruh dari Organisasi Buruh Tunggal tersebut sedikit demi sedikit diisi oleh keberadaan komunitas masyarakat sipil seperti LSM, kelompok mahasiswa dan lembaga lembaga perburuhan lainnya seperti LBH. Pendidikan perburuhan, pembelaan, penerbitan media perburuhan, kesenian, kegiatan pengembangan sosial ekonomi buruh merupakan bentuk dukungan yang dikembangkan oleh organisasi sipil kepada buruh guna memperkuat posisi tawarnya. Para aktivis LSM dan sejenisnya, turun langsung ke dalam komunitas buruh melakukan pengorganisiran melalui berbagai kegiatan. Pendidikan hukum perburuhan dan ketrampilan beradvokasi, lebih dominan dari kegiatan lainnya. Kegiatan pendidikan dipusatkan di kontrakan buruh atau pun di rumah-rumah yang disediakan oleh LSM perburuhan. Target utama dari kegiatan pendidikan tersebut adalah selain untuk meningkatkan posisi tawar, juga untuk menumbuhkan kader-kader yang berkualitas dari kalangan buruh itu sendiri. Kepada kelompok buruh juga diberi pendidikan ketrampilan menangani kasus, ketrampilan berunding dan lain sebagainya. Kader kader buruh tersebut dipersiapkan untuk menduduki atau merebut kepemimpinan didalam kepengurusan organisasi buruh tingkat pabrik/perusahaan yang nantinya dapat melakukan perubahan kondisi perburuhan di tempat kerjanya melalui perundingan perjanjian kerja bersama (PKB). Dengan PKB, setidaknya buruh akan mendapat kepastian hak dari pengusaha. Minimalisasi konflik yang melibatkan unsur-unsur dari luar buruh pun dapat terjadi.

Namun pada prakteknya, tidak seluruh harapan diatas dapat berjalan dengan sendirinya. Represifitas negara kepada buruh pun tidak surut, bahkan banyak kader baru yang muncul dari hasil kegiatan dengan LSM atau sejenisnya itu tersingkir dari perusahaan. Biasanya pengusaha mengetahui hal itu ketika ada buruh yang mempunyai pemikiran lebih kritis dibandingkan yang lainnya. Dari pengalaman seperti itu, maka dalam penentuan langkah-langkah yang akan diambil untuk buruh, faktor keamanan buruh akan menjadi pertimbangan pertama didalam mengambil keputusan. Namun banyak pula LSM yang mengabaikan faktor keamanan buruh tetapi lebih mempertimbangkan popularitas lembaganya. Ketika kasus terjadi, seperti pemogokan, PHK dan sebagainya, peranan buruh untuk ambil posisi di depan seringkali terkalahkan oleh keterpaksaan situasi dan atau popularitas LSM itu sendiri. Banyaknya kader buruh yang tersingkir dari pabrik membuat banyak pihak agak frustrasi terutama di kalangan buruh sendiri. Situasi seperti itu dicoba didinamisir kembali melalui pertemuan-pertemuan antar kelompok buruh untuk saling sharing pengalaman.

Jaringan antar kelompok buruh dikelola melalui kegiatan pelatihan ataupun event lain seperti pentas seni teater buruh yang dilanjutkan dengan sharing pengalaman dan lain sebagainya. Kegiatan jaringan antar buruh biasanya dilakukan antar kelompok dampingan masing-masing LSM atau organisasi sipil lainnya atau istilah kerennya kapling masing-masing. Mengapa demikian? Ada anggapan yang hidup di kalangan aktivis LSM bahwa eksistensinya di publik sangat ditentukan oleh seberapa besar relasinya dengan buruh. Hal tersebut juga akan menentukan seberapa besar akses yang bakal diperoleh dari publik. Tentunya termasuk untuk memperoleh ruang politik dan sumber daya lainnya. Inisiatif mempertemukan kelompok buruh antar kapling diatas baru muncul tahun 1991-an sehubungan dengan kasus pemogokan di PT Gajah Tunggal Tangerang yang melibatkan 13.000-an buruh dan terbunuhnya aktivis buruh dari Surabaya, Marsinah. Forum LSM ini selain mengadvokasi kasus-kasus besar perburuhan, juga dalam perjalanan selanjutnya berkembang ke arah advokasi dan kampanye isu besar di bidang perburuhan seperti kebijakan intervensi militer dalam konflik perburuhan dan kebebasan berserikat bagi buruh. Uji coba kampanye kebebasan berserikat diawali dengan menggelindingkan Organisasi Buruh di luar SPSI. Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan (SBMSK) yang dikomandoi alm. HJC Princent dan Saut Aritonang dan juga Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pimpinan Dr Mochtar Pakpahan, SH mendapat tekanan yang begitu dahsyat dari negara. Keduanya memang tidak dibubarkan atau dilarang, tetapi juga tidak diakui oleh negara. Percobaan untuk membuka dinding tebal yang mengurung kebebasan buruh untuk berserikat setidaknya menjadi dinamika tersendiri bagi buruh untuk mulai memberanikan diri memilih organisasi buruh alternatif.

Selain ke dua organisasi buruh diatas, jaringan buruh antar kota pun muncul walau aktivitasnya masih sangat terbatas. Agenda utama jaringan ini adalah advokasi kasus Marsinah dan diskusi-diskusi yang materi dan segala sesuatunya telah dipersiapkan oleh Forum LSM. Disini belum muncul gagasan tentang kemana arah dari jaringan buruh antar kota (JBAK), sehingga belum ada sesuatu yang diwujudkan dalam bentuk program. Koordinasi JBAK dengan kawan-kawan LSM biasanya dilakukan menjelang event-event tertentu seperti peringatan terbunuhnya aktivis buruh Surabaya, Marsinah atau event besar lainnya. Jaringan Buruh Antar Kota sendiri setiap akhir tahun (biasanya pada malam tahun baru) bersama Forum LSM mengadakan pertemuan besar dengan agenda laporan perkembangan di masing-masing wilayah kerja JBAK (Bandung, Jabotabek, Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan pengembangan wawasan dengan pemateri dari kawan-kawan LSM. Informasi seputar perkembangan situasi makro yang berdampak pada kebijakan nasional seperti Rancangan Undang Undang Pokok Ketenagakerjaan No 25 Tahun 1995 menjadi pokok bahasan. Pergerakannya pun masih terbatas pada event-event seperti itu. Penolakan terhadap Rancangan Undang Undang Pokok Ketenagakerjaan Tahun 1995 menjadi bagian yang diadvokasi Jaringan Buruh Antar Kota dan Forum LSM kala itu.

Terbitan-terbitan seperti buletin, selebaran, leaflet, poster dan lain sebagainya dijadikan sarana komunikasi antar kelompok di JBAK. Seberapa pengaruhnya terhadap pengetahuan buruh memang sulit teridentifikasi karena tidak ada tolak ukurnya. Bahwa terbitan tersebut tersebar kepada buruh dapat dipastikan. Namun isinya dapat dimengerti atau tidak, juga tidak dapat diketahui. Terbitan untuk buruh sangat diperlukan, baik untuk propaganda maupun sebagai alat penyadaran bagi buruh. Kawan-kawan aktivis LSM sangat menyadari akan keterbatasan untuk memperluas relasi dengan buruh maka salah satu pilihannya adalah dengan memproduksi terbitan. Pendistribusiannya sendiri dilakukan secara tersembunyi untuk menghindari penangkapan maupun meminimalkan resiko bagi buruh yang membawanya.

Gagasan Reposisi LSM – Buruh

Pertemuan terakhir antara Jaringan Buruh Antar Kota (JBAK) dengan kawan kawan LSM pada akhir tahun 1995 di Bandung, telah melahirkan kesepakatan tak tertulis tentang pembagian peran antara kelompok buruh dengan komunitas ”kelas menengah” (istilah yang digunakan kawan kawan LSM). Pengorganisasian buruh, termasuk pengelolaan jaringan, akan diserahkan sepenuhnya kepada JBAK. Sementara itu kawan-kawan LSM akan mengambil peran untuk menyiapkan materi pendidikan untuk buruh dan memfasilitasi event-event besar yang diselenggarakan oleh JBAK. Langkah awal kawan-kawan LSM untuk peran baru tersebut adalah dengan diselenggarakannya dialog nasional perburuhan di Bandung untuk mencoba merumuskan kebutuhan materi pendidikan untuk buruh. Mereka mencoba memotret perkembangan perburuhan tingkat makro dan kaitannya dengan kebijakan perburuhan nasional berikut dampak negatifnya. Namun sayang, kelanjutannya tidak jelas.

Kesepakatan untuk reposisi pun tidak berjalan mulus lebih disebabkan oleh kesiapan masing masing LSM yang berbeda-beda. Mereka bingung bila reposisi tersebut sungguh-sungguh direalisasikan. Bagi lembaga yang siap dengan reposisi tersebut memang dengan mudah dapat menjalaninya, tetapi bagi lembaga-lembaga yang kapasitasnya terbatas, kemudian lebih memilih kembali pada perannya semula, yakni melakukan pengorganisasian. Meskipun ia tahu bahwa tugas pengorganisasian sudah dapat dilakukan oleh buruh sendiri. Kelangsungan kesepakatan Bandung menghilang ketika krisis ekonomi terjadi. Komunikasi antar kelompok yang tergabung di JBAK terputus. Masing-masing sibuk menghadapi banyak kasus PHK massal di wilayah masing-masing. Dalam situasi krisis inilah kemudian yang mengkaburkan ulang hubungan buruh – LSM.

Reformasi yang digulirkan tahun 1998, adalah babak yang sangat penting bagi kelompok-kelompok buruh yang tergabung dalam JBAK maupun kelompok buruh di luar JBAK. Puluhan Serikat Buruh muncul dari kelompok-kelompok itu. Masing menunjukkan eksistensinya dengan aneka ragam cara. LSM yang menjadi pendampingnya pun ikut berlomba membidani lahirnya Serikat Buruh, bahkan ikut masuk dalam struktur organisasi Serikat Buruh. Konflik kepentingan pun mulai muncul di dalam Serikat. Di satu sisi, pemimpin yang berasal dari buruh menghendaki independensi Serikat dari unsur non buruh (LSM). Sementara aktivis asal LSM tetap ingin diakui eksistensinya untuk menjadi pengurus Serikat. Perpecahan pun tidak dapat dihindari. Serikat Buruh tidak semakin menguat tapi justru semakin melemah.

Sesungguhnya formasi LSM – Buruh dapat dibangun melalui mekanisme kerjasama hasil dialog antara keduanya. Kerjasama tersebut dapat dinegosiasikan secara terus menerus sepanjang masing-masing pihak tetap berkepentingan. Model relasi semacam ini, selain menghindari konflik, juga dapat mendorong pendewasaan keduanya. Masing-masing pihak dapat mengelola kepentingannya secara mandiri tanpa ada yang merasa di intervensi.

Saat ini telah banyak pemimpin buruh muda yang cukup progresif yang diharapkan akan membawa perubahan besar dalam gerakan buruh di masa mendatang. Oleh karena itu, ruang untuk mengekspresikan dirinya harus dibuka selebar mungkin agar perubahan yang diharapkan, sungguh-sungguh terjadi.

Akses terhadap informasi, pengembangan kapasitas bagi Serikat Buruh masih bisa dikerjakan lembaga-lembaga di luar buruh dengan tujuan memperkuat organisasi Buruh.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?