Thursday, September 21, 2006

Melawan Upah Murah

Peran Serikat Buruh Dalam

Menyikapi Upah Dari Tahun ke Tahun

(Perjuangan Buruh melawan Upah Murah)

Oleh

Andy Irfan J.

Sekjend. Komite Pusat SPBI

‘Dulu pada tahun 1963, ketika saya masih menjadi anggota SOBSI upah saya dalam sehari 9 rupiah sehari, dan waktu itu 1 rupiah dapat 2 kilogram beras. Dan sekarang (tahun 2005) upah saya dalam sehari 21.000 rupiah, dan harga beras Rp 3.000 sekilonya’

Ibu Ti’ah Buruh Pabrik Rokok Oepet Malang

(Telah bekerja selama 45 tahun, sekarang berusia 65 tahun, berhenti kerja pada pertengahan 2005)

Pendahuluan
Upah merupakan bentuk dari hasil pertukaran yang terjadi ketika buruh menawarkan tenaga kerjanya dan pengusaha membeli atau menyewanya dengan sejumlah uang. Melalui mekanisme pasar terjadilah hubungan jual-beli antara buruh (selaku penjual) dan pengusaha (selaku pembeli). Bila calon buruh melimpah, harga tenaga kerja akan menjadi murah. Bila sedikit, tingkat upahnya menjadi lebih tinggi. Upah selalu berkaitan dengan nilai upah riil dan nominal. Nilai upah yang diterima buruh disebut nilai nominal (nominal wage). Sedangkan nilai Upah riil (real wage) adalah upah yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah yang diterima atau upah nominal. Harga barang dan jasa akan mempengaruhi daya beli dari upah buruh ini. Bisa saja upah nominal buruh tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi karena biaya hidup naik maka daya beli dari upah buruh bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya. Meskipun ada kenaikan upah, tingkat kenaikan upah riil tidak seberapa dibandingkan dengan upah riil tahun sebelumnya. Secara umum, buruh di Indonesia telah terjebak dalam pola hidup subsisten dan berujung pada kemiskinan akut sebagai konsekuensi dari rendahnya upah yang diterima. Hal ini terlihat dari nilai tukar upah buruh yang terus-menerus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Nilai tukar yang menurun ditunjukkan dengan perbandingan upah dan harga barang yang semakin mengecil. Sejak Orde baru hingga hari ini, pemerintah secara konsisten menerapkan orientasi kebijakan upah murah sebagai keunggulan komparatif industrinya. Sepanjang Orde Baru upah riil buruh di Indonesia merupakan yang terendah di Asia, lebih rendah dari Thailand dan Filipina. Bahkan pada saat krisis ekonomi 1998 upah riil buruh menurun hingga sekitar 300 %. Kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Propinsi (UMP) sepanjang reformasi hingga sekarang sangat tidak berarti apabila dibandingkan kenaikan indeks harga konsumen dan laju inflasi. Kondisi buruh semakin mendekati kearah kemiskinan absolut.Sedangkan senjata buruh untuk menaikkan posisi tawar dan memperjuangkan hak-haknya, yaitu serikat buruh belum juga mampu menunjukkan kekuatannya. Setelah terbebas dari belenggu repressif orde baru, sekarang jatuh dalam cengkeraman neoliberal dengan Labour Market flexibility. Ibaratnya lepas dari harimau jatuh ke mulut buaya.

Represifitas Orde Baru dan Politik Upah Murah

Tumbangnya orde lama mengubah secara drastis sistem ekonomi indonesia dari etatisme menuju pada ekonomi pasar bebas. UUPMA diberlakukan tahun 1967 untuk mengundang modal asing . Sebagian perusahaan Belanda dan asing lain yang dinasionalisasi, kemudian dikembalikn kepada pemilik lama seperti Unilever, BAT, Bir Bintang, Anker Bir dll. Undang-Undang PMDN dipakai untuk merangsang dan memutihkan capital flight di zaman orde lama, yaitu devisa yang disimpan di luar negeri oleh pengusaha indonesia, agar ditanam kembali di Indonesia dengan fasilitas PMDN. Karena pada kenyataannya kontrol ketat yang dilakukan selama orde lama tidak bisa menghentikan sepenuhnya arus devisa keluar negeri. Pengusaha melakukan over invoicing untuk impor dan under invoicing untuk eksport, sehingga selisih dananya bisa disimpan sebagai devisa mereka diluar negeri yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah orde lama.

Dengan pemberlakuan sitem ekonomi pasar bebas pada tahun-tahun pertama orde baru, arus modal asing berjalan sangat kuat dan stabilitas di kalangan elit penyokong orde baru cukup stabil. Peninjauan kembali secara kritis atas kebijakan ini dilakukan ketika beberapa tokoh pendiri orde baru mulai merasa gerah dengan pasar bebas, dan memposisikan diri sebagai oposan dari rezim suharto yang pada tingkat selanjutnya menjadi penggerak dalam meletusnya peristiwa malariri. Rezim Suharto mengambil langkah dua hal sebagai peredam sentimen dan gejolak sosial politik tersebut, yaitu mengharuskan adanya joint venture untuk modal asing serta privilege kredit investasi untuk golongan pribumi. Kebijakan ini kebetulan bisa dilakukan karena indonesia ketiban rejeki besar dengan naiknya harga minyak dalam skala internasional sampai empat kali lipat pada saat meletusnya perang timur tengah pada bulan oktober 1973. Sejak saat ini orde baru pada skala tertentu menerapkan sistem ekonomi etatisme yaitu penguatan sektor Negara dan BUMN serta pembatasan sektor swasta.

Etatisme a la orde baru ini berlangsung selama satu dasawarsa, dan pada fase ini para elit pengusaha indonesia baik dari etnis Cina ataupun pribumi dengan lihai melakukan pendekatan kepada elite Orde Baru untuk memperkuat posisi aset bisnin mereka. Fase etatisme orde baru adalah saat menguatnya posisi para pengusaha besar yang sering disebut sebagai ersatz kapitalis, dimana dengan mengandalkan lisensi politik mereka memperoleh rente ekonomi yang lukratif. Pemerintah sendiri melakukan ekspansi besar-besaran dengan mendirikan banyak BUMN.

Ketika era rejeki minyak telah berakhir, yaitu ketika harga minyak bumi dalam skala internasional anjlok pada tahun 1983 dimana Orde Baru memasuki periode pelita IV (1983-1988) mengadakan beberapa kebijakan yang sering distilahkan oleh Suharto sebagai langkah mengencangan ikat pinggang. Kebijakan tersebut adalah menerapkan program deregulasi ekonomi secara keseluruhan. Pemerintah merubah strategi industri substitusi import (ISI) ke orientasi eksport (IOE). Konsekuensi dari kebijakan ini adalah terciptanya stabilitas politik dan ekonomi, penekanan biaya produksi komoditi manufaktur dan terciptanya pasar tenaga kerja yang memiliki keunggulan komparatif. Katiga hal tersebut adalah strategi untuk menarik investasi modal (baik asing maupun luar negeri).

Dalam konteks inilah upaya restrukturasi organisasi Serikat Buruh yang dilakukan orde baru sejak 1973 menemukan momentumnya yang terutama. Yaitu terciptanya buruh yang patuh secara politik dan pasar tenaga kerja yang murah demi investasi.

Sejak tanggal 20 februari 1973 atas prakarsa penguasa Orde Baru diselenggarakan deklarasi Persatuan Buruh seluruh Indonesia, dan melalui deklarasi ini didirikan satu-satunya organisasi buruh di Indonesia, yaitu Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). FBSI merupakan peleburan dari serikat – serikat buruh yang sudah ada sejak orde lama.

Dibawah FSBI dibentuk dibawahnya 20 Serikat Buruh Lapangan Pekerja (SBLP). Pada perkembangan selanjutnya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang semula menjadi bagian FBSI melalui konggresnya menetapkan PGRI sebagai organisasi profesi yang berdiri sendiri dan melepaskan diri dari FBSI. Kemudian, Kongres Serikat Buruh Transport yang pertama tahun 1976 memutuskan untuk memecahkan diri menjadi tiga (3) SBLP, yaitu: Serikat Buruh Angkutan Jalan Raya (SB AJR), Serikat Buruh Angkutan Sungai, Danau, dan Fery (SB ASDF), dan Serikat Buruh Transpor Udara (SB TU). Sehingga sampai tahun 1976, SBLP yang menjadi bagian dari FBSI adalah 21 SBLP.

FBSI disyahkan oleh rezim Orde Baru melalui SK. Menteri Tenaga Kerja, Transportasi dan Koperasi tertanggal 11 maret 1974 No. 286/A/DD/II/DPHK/74. Dan untuk membatasi kemungkinan terbentuknya serikat atau organisasi buruh di luar FBSI, rezim Orde Baru mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 01 tahun 1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh, yang sekaligus mencabut Peraturan Menteri Perburuhan No. 90 tahun 1955 tentang Pendaftaran Serikat Buruh. Kalau dalam Permen 90/55 disebutkan bahwa syarat buruh untuk mendirikan serikat buruh adalah dengan hanya : ’10 buruh yang menyatakan membentuk serikat buruh, sudah memenuhi syarat untuk didaftarkan ke Kementrian Perburuhan’, maka dalam Permenakertranskop 01/75 yang dikeluarkan pemerintah orde baru, serikat buruh yang memenuhi syarat untuk memenuhi syarat untuk mendaftarkan ke depnakertrasnkop adalah organisasi buruh yang berbentuk gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus daerah sekurang-kurangnya pada 20 Daerah Tingkat I dan mempunyai anggota sekurang-kurangnya 15 SBLP. Sehingga dengan demikian, sejak tahun 1973 serikat buruh yang sah secara administratif hanyalah FBSI dengan 21 SBLP-nya. Bahkan dalam rangka menguatkan posisi FBSI sebagai satu-satunya serikat buruh yang ada di Indonesia sekaligus mencegah tindakan buruh keluar dari kontrol FBSI, FBSI mengistruksikan apabila buruh ingin mendirikan serikat buruh tingkat perusahaan harus berkonsultasi dahulu dengan pengusaha, dan perangkat FBSI diatasnya.

Lebih lanjut rezim Orde Baru juga melakukan intervensi dalam jalannya roda organisasi FBSI, intervensi tersebut dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan Intervensi tersebut paling terasa dilakukan oleh rezim Orde Baru melalui Kopkamtib, satu institusi yang dibentuk orde baru sebagai penjaga paling terdepan dalam mewujudkan stabilitas keamanan dan politik orde baru.

Secara langsung Rezim Orde Baru melakukan intervensi terhadap keuangan dan pendanaan serikat buruh, yaitu melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per-1/Men/1977 tentang Pemungutan Iuran bagi Serikat Buruh melalui pengusaha (check off system) dan dengan kewajiban bagi serikat buruh di tingkat basis pabrik untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada Menakertranskop.

Dalam hal pemogokan, yang pada masa Orde Lama dengan UU No. 22/57 hak mogok diakui sebagai salah satu cara untuk menekan pihak majikan supaya berunding atau memenuhi tuntutan dari buruh, maka pada masa Orde Baru pemogokan adalah tergolong tindakan anarkhi.

Selanjutnya dibuatlah gagasan tentang industrial peace, yaitu terciptanya hubungan harmonis antara pekerja dan pengusaha. Dimana dalam industrial peace, konflik kepentinngan antara buruh dan majikan diselesaikan oleh serikat buruh dalam meja perundingan. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi acuan dalam konsep Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Hubungan Perburuhan Pancasila kemudian diubah menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diatur dalam Keputusan Mennaker No. Kep: 645/MEN/1985 tentang Pedoman Hubungan Industrial Pancasila. Salah satu azas dalam HIP menyatakan bahwa, hubungan buruh dengan pengusaha bersifat kemitraan, dimana buruh dan majikan merupakan mitra dalam produksi, dalam keuntungan dan dalam tanggung jawab. Hal tersebut diartikan bahwa, buruh berkewajiban meningkatkan produksi terus menerus demi kemajuan perusahaan dan pengusaha berkewajiban membagi keuntungan demi peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Tanggung jawab bersama antara buruh dan pengusaha ini diartikan sebagai tanggung jawab mereka kepada masyarakat , kepentingan negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, dengan azas kemitraan dalam HIP ini maka hubungan pengusaha dan pekerja yang kontradiktif telah tidak ada lagi. Karena itu satu-satunya cara penyelesaian konflik antara pengusaha dan pekerja harus diselesaikan melalui meja perundingan dan musyawarah mufakat. Karena itu hak mogok bagi buruh dalam HIP jelas tidak mendapatkan tempat, walupun secara legal UU yang mengijinkan mogok sebagaimana disebut siatas masih belum dicabut. Menyangkut hal ini Kaskomkaptib mewakili penguasa orde baru menyampaikan dalam konggres Nasional SBTS/FBSI pada tahun 1981 menegaskan bahwa pemogokan tidak sesuai dengan alam negara Pancasila, karena pengusaha dan buruh sebenarny merupakan keluarga besar, dan setiap perselisihan harus diselesaikan secara musyawarah mufakat. Bahkan lebih lanjut Kaskopkamtib menyampaikan bahwa ada dua permasalahan pokok daam perburuhan yaitu : pertama, masih adanya pemogokan oleh buruh untuk mencapai tujuan , dan kedua masalah susunan P4-D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) dan P4- P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) yang dianggap masi bercirikn orde lama. Mempertegas sikap tersebut rezim Orde Baru membentuk insitusi baru dalam menanggulangi pemogokan dan perselisihan perburuhan dengan membentuk Team Penanggulangan Krisis Ketenagakerjaan, yang anggotanya terdiri dari Kopkamtip, Mennakertranskop, Dir.Jend. Bina Lindung Depnakertranskop dan FBSI dimana team tersebut diperluas fungsi dan kedudukannya dengan melibatkan aparat pemerintah di tingkat daerah. Sehingga aparat keamanan (polisi atau militer) memiliki peran secara legal untuk memasuki area perusahaan dalam mencegah dan membubarkan pemogokan atau intervensi secara langsung dalam perselisihan perburuhan di dalam perusahaan.

Akhirnya pada tahun 1985, FBSI dalam kongresnya yang ke II melalui intervensi Pangkopkamtib merubah diri menjadi SPSI, berubah dari bentuk federasi menjadi unitaris. Hal ini adalah upaya pemerintah untuk kooptasi yang semakin dalam.

Dalam kondisi semacam inilah Negara Orde Baru mengontrol langsung dinamika buruh, termasuk penentuan upah, baik pada skala luas (nasional, propinsi dan kota) hingga pada skala yang kecil (di tingkat pabrik).

Melalui seperangkat aturan pengupahan, Orde Baru mengendalikan penentuan upah yang mengarah pada prisip liberalisasi upah: no work no pay (tidak bekerja maka tidak dibayar), sentralisasi lembaga pengupahan, dan intervensi negara terhadap penentuan dan pelaksanaan upah.

Melalui Kepres No. 58 tahun 1969, pemerintah membentuk Dewan Penelitian Pengupahan Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri Tenaga Kerja. Dewan ini bertanggung jawab memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah tentang kebijaksanaan yang perlu diambil mengenai prinsip-prinsip pengupahan. Dewan ini diketuai oleh Menaker dan beranggotakan 13 orang dari pemerintah (dari berbagai departemen), 1 orang dari akademisi, 3 orang dari buruh, 3 orang dari pengusaha, 1 orang dari Ketua P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan). Lembaga serupa juga dibentuk di timgkat daerah-daerah (Dewan Penelitian Pengupahan Daerah) . Peran pemerintah yang begitu dominan memberi peluang sepenuhnya kepada pemerintah dalam menentukan orientasi pengupahan. Penegasan orientasi orde baru dalam pengupahan tampak pada PP No. 8 Tahun 1981, yaitu prinsip liberalisasi upah yang artinya: upah dibayar ketika buruh bekerja, dan menghilangkan prinsip upah untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh secara manusiawi.

Pemberlakuan KFM (Kebutuhan Fisik Minimum) sebagai pedoman penentuan upah yang telah berlaku sejak kabinet Juanda (tahun 1965), dimana dalam pedoman ini buruh (tenaganya) dipandang sebagai alat produksi. Artinya perhitungan upah harus memadai untuk mengganti tenaga yang dikeluarkan. Parahnya KFM tersebut hanya berdasarkan kebutuhan hidup buruh laki-laki lajang. Akibatnya, upah buruh tidak pernah mencukupi untuk kebutuhan hidup manusiawi.

Upah buruh Indonesia walaupun setiap tahun naik, tetapi terus menerus mengalami penurunan secara riil. Perubahan KFM menjadi KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) pada tahun 1995 melalui Kepmenaker No. 81 Tahun 1995 dengan menambahkan beberapa item kebutuhan buruh juga tidak banyak merubah keadaan.

Sepanjang Orde Baru upah buruh tetap rendah dengan ketiadaan kekuatan bagi buruh untuk menolaknya.

Tetapi walaupun demikian, perlawanan yang dilakukan oleh buruh atas upah yang rendah telah menjadi entry point lahirnya cikal bakal gerakan buruh. Kontrol negara yang begitu kuat atas organisasi buruh, tidak dapat membendung gejolak perburuhan. Gejolak telah terjadi tanpa dapat dikontrol sejak awal 90-an hingga saat terjadinya krisis ekonomi 97. Dimana hal ini telah dimulai sejak awal dekade 1980-an.

Antara tahun 1978-1982 jumlah pemogokan buruh terus meningkat. Umumnya pemogokan terjadi di daerah pusat industri (free trade zone) seperti Jabotabek, Jawa Barat dan Jawa Timur. Sebagian besar tuntutan yang dilontarkan berkisar soal upah serta jaminan sosial (tunjangan tranport, jabatan, hak cuti, uang makan dll). Sebagian lagi menuntut tentang kebebasan mendirikan organisasi buruh, serta protes tindakan majikan yang sewenang-wenang.

Mayoritas tuntutan buruh yang diperjuangkan melalui pemogokan berkisar soal upah. Dari data resmi Depnaker yang diolah menunjukkan, antara tahun 1985-1991 (420 kasus pemogokan ) rata – rata lebih 54 % aksi mogok disebabkan soal upah dan hanya 10 % berupa tuntutan THR.

Upah nominal yang rendah (secara absolut yang terendah setelah Bangladesh di Asia), jam kerja yang panjang, kondisi kerja yang buruk, merupakan karakteristik umum dari buruh manufaktur di Indonesia, terutama di berbagai sektor kompetitip untuk ekspor. UMR tetap dinaikkan secara berkala tetapi UMR tersebut masih berada jauh dibawah standar upah yang kebutuhan hidup yang wajar.

Pada awal 1990-an, pergerakan buruh semakin menemukan bentuknya. Organisasi buruh yang telah diberangus sejak awal Orde Baru, mulai menggeliat. Lahirnya beberapa organisasi buruh independent semacam SBM-SK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) pada tahun 1990 dan SBSI pada tahun 1992, adalah simbol lahirnya gerakan buruh. Dimana nantinya pada pasca reformasi jumlah organisasi buruh meningkat pesat.

Hingga tahun 1997, isu upah murah, buruknya jaminan sosial dan kebebasan berorganisasi adalah tuntutan yang banyak diangkat dalam aksi-aksi buruh.

Adanya krisis 1997 yang berlanjut dengan bergulirnya reformasi membawa angin perubahan bagi gerakan buruh. Tetapi, sesungguhnya sebuah kekuatan yang tak kalah kuat dengan Orde Baru sedang datang mengancam. Kekuatan itu adalah neoliberalisme dalam bentuk yang paling nyata. Walaupun sebenarnya hal ini telah dimulai oleh Orde Baru sejak dekade 80-an.

Flexibilitas Pasar Tenaga Kerja dan Reformasi Sistem Pengupahan

Kelanjutan dari krisis ekonomi 1997 bagi buruh adalah diadopsinya strategi Labour Market Flexibility (LMF) oleh pemerintah yang merupakan respons pengusaha terhadap tekanan pasar yang semakin bebas dan kuatnya persaingan. Menurut para pembela konsep ini (termasuk Bappenas), strategi ini akan menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja lebih luas dengan menciptakan sistem kerja paruh-waktu (part time jobs), memudahkan negosiasi antara buruh dan perusahaan yang lebih fleksibel menghadapi tuntutan pasar, meningkatkan harkat buruh dengan membiarkan mereka bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak ketiga seperti serikat buruh dan pemerintah, serta memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.

Namun, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kerja dan kehidupan buruh justru semakin merosot. Strategi LMF itu jelas menguntungkan perusahaan semata-mata dan berbagai 'keuntungan' bagi buruh yang disebutkan di atas, tidak pernah terjadi. Bagi buruh, LMF mengandung pengertian hilangnya perlindungan dan keamanan kerja (job security). Dengan diundangkannya UU 13 Tahun 2003 tentang Pokok Ketangakerjaan dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, secara terang pemerintah menghilangkan fungsinya dalam perlindungan atas buruh. Diundangkannya UU No.21 tahun 2000 tentang kebebasan beroganisasi bagi buruh, dalam konteks ini menjadi tidak banyak berarti. Pelegalisasian atas sistem kerja kontrak dan out sourcing, kemudahan dalam melakukan PHK, serta pemerdataan kasus perselisihan perburuhan, adalah persoalan mendasar yang harus dihadapi buruh.

Sementara hubungan kerja menjadi semakin fleksibel, dalam soal penentuan upah telah terjadi beberapa perubahan. Pada prinsipnya strategi LMF menghendaki besaran upah disesuaikan dengan jangkauan atau target tertentu dari dunia usaha. Artinya upah harus disesuaikan oleh maju mundurnya dunia usaha bukan oleh kebutuhan buruh untuk hidup secara manusiawi. Walaupun dalam UUK 13/2003 hal ini tidak disebutkan, tetapi secara tersirat UU ini memberi arahan kesana. UU 13/2003 mendorong pengusaha dan buruh untuk menentukan upah secara bipartite (musyawarah mufakat) dan tidak bergantung pada kebijakan upah yang ditentukan oleh UMK/UMP (Upah Minimum Kota / Upah Minimum Propinsi) . Sebuah dorongan yang ironi, mengingat posisi buruh pada umumnya yang tidak memilki posisi tawar seimbang dengan perusahaan.

Dalam penentuan upah minimum (UMK/UMP) terdapat beberapa situasi baru yang sedikit menyegarkan bagi gerakan buruh. Hal ini karena adanya sedikit perubahan dalam sistem penentuan upah. Apabila sebelumnya penentuan upah dilakukan secara sentralistik dengan peran dominan dari pemerintah, sejak lahirnya kebijakan Otonomi Daerah (UU No.22 Tahun 1999), perumusan upah yang semula dilakukan oleh Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) diambil alih oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Institusi pengupahan provinsi dan institusi pengupahan kabupaten/kota merupakan bentuk pelimpahan kewenangan dalam perumusan dan penetapan upah. Selain diberlakukannya Otonomi Daerah, diberlakukannya UU No.21 Tahun 2000 tentang Organisasi Buruh juga memberikan lebih banyak ruang partisipasi kepada Serikat Buruh di tingkat kabupaten/kota untuk terlibat dalam proses perumusan upah.

Pada konteks ini, perjuangan buruh dalam perumusan hingga penentuan upah pada institusi pengupahan mengandung beberapa aspek yang saling terkait. Yaitu, pertama, partisipasi serikat buruh dalam institusi pengupahan, kedua, pembelajaran bagi serikat buruh dalam perjuangan politik.

Dengan keterlibatan serikat buruh dalam institusi pengupahan, peran para wakil serikat buruh menjadi variabel penting dalam penentuan nilai upah. Bahkan ada upaya untuk mendorong perubahan ke arah perluasan peran Dewan Pengupahan Daerah, yaitu kepada peran pengawasan dan penentuan upah. Walaupun hal ini hanya terjadi di beberapa daerah, tetapi hal ini menunjukkan bahwa partisipasi serikat buruh dalam penentuan upah memiliki posisi yang cukup signifikan. Implikasi dari ini adalah munculnya kesadaran di tingkat perwakilan serikat buruh untuk meningkatkan kemampuan dalam soal-soal teknis penentuan upah, dimana hal ini untuk mengimbangi kemampuan serupa yang telah dimiliki oleh pemerintah dan pengusaha. Adanya perbedaan karakter antara serikat buruh ‘progresif’ dan serikat buruh ‘kuning’ dalam institusi pengupahan berimplikasi terhadap munculnya ketegangan antar serikat buruh dalam memperjuangkan kepentingan buruh. Tetapi disini pembelajaran politik telah dimulai, sebuah situasi yang belum pernah dialami oleh serikat buruh pada masa Orde Baru. Proses terbentuknya aliansi atau ketegangan antar serikat buruh dalam menentukan sikap di dewan pengupahan merupakan pembelajaran politik bagi serikat buruh yang sangat berarti. Dalam hal ini, serikat buruh dituntut untuk berjalan sendiri dalam menentukan dan memilih peran dan posisi politik yang harus dimainkan ketika bersinggungan dengan Negara dan pemodal. Sebuah situasi yang tidak mungkin terjadi pada masa Orde Baru. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa serikat buruh cukup mampu mengimbangi kapasitas pengusaha dan pemerintah, mempengaruhi jalannya rapat, mengarahkan alur rapat dalam proses perumusan UMK. Bahkan serikat buruh mampu mengarahkan alur rapat hingga menciptakan deadlock dan memasukkan usulan UMK melalui lobby ke komisi E DPRD.

Walaupun kebebasan berorganisasi yang diatur dalam UU 21/2000 berdampak pada terjadinya polarisasi dan fragmentasi pada isu serta ideologi gerakan buruh, tetapi pertemuan dan perseteruan anatar serikat buruh dalam penentuan upah, mendorong munculnya kesadaran di masing-masing organisasi buruh bahwa persatuan (soliditas) dan solidaritas antar organisasi buruh adalah hal yang paling utama untuk menguatkan posisi tawar serikat buruh dihadapan negara dan modal. Dan hal ini adalah situasi yang dibutuhkan untuk memacu kesadaran politik bagi setiap organisasi buruh.

Penulis menyadari, masih terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa persoalan upah dan peran serikat buruh dalam institusi pengupahan merupakan realitas yang akan menciptakan energi baru bagi gerakan buruh. Tetapi, catatan penting dari sini adalah, isu upah dan peran serikat buruh dalam institusi pengupahan memiliki kaitan erat pada aspek sosial-ekonomi-politis yaitu posisi organisasi buruh dihadapan Negara dan modal, dan dampaknya yang langsung dirasakan oleh buruh.

Dalam konteks ini, arti penting isu upah dan peran serikat buruh dalam institusi pengupahan harus segera dipertimbangkan dalam grand strategy perjuangan buruh dalam menangkal strategi Labour Market Flexibility.

Penutup

Sesungguhnya isu upah adalah perjuangan ekonomis, sebuah fase awal untuk dilanjutkan pada fase berikutnya yaitu perjuangan politik. Sejak reformasi digulirkan, posisi serikat buruh independent yang konsisten dalam perjuangan buruh masih merupakan serikat buruh minoritas. Dan sebagian besar buruh masih terkooptasi dalam serikat buruh ‘kuning’ tinggalan Orde Baru, serta sebagian yang lain bahkan masih belum berorganisasi. Dalam konteks ini, Labour Markert Flexibility akan menjadi alat penindas baru yang tidak kalah kejam dibanding otoritarian Orde Baru. Karena itu, perjuangan buruh melawan upah murah harus diletakkan sebagai bagian dari serangkaian upaya yang terus menerus dalam membangun kemandirian dan independensi organisasi buruh, memperluas serta memperkuat aliansi dan front-front perjuangan secara luas sehingga akan mendorong laju kesadaran berorganisasi dan berjuang bagi kaum buruh Indonesia secara luas. Dan pada akhirnya menyembuhkan penyakit pragmatisme, fragmentasi, dan floating mass diantara masa buruh dan pergerakan buruh yang merupakan tinggalan Orde Baru.

.


Daftar Pustaka

Anarita, Popon dan Resmi Setia M.S.. Dewan Pengupahan: Strategiskah Sebagai Media Perjuangan Buruh? Seri Working Paper No.12. Bandung: Yayasan AKATIGA. 2003;

Hadiz, Vedi R. “Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Pasca-Soeharto”, Jakarta LP3ES, 2005;

Hadiz, Vedi R. “Workers and the State in New Order Indonesia , London & New York : Routledge, 1997;

Hadiz, Vedi R. “Globalization, labour and the State : The case of Indonesia” , Asia Pasifik Busines Review, Edisi khusus tentang Globalisasi dan Buruhdi Asia.

Prisma, No. 1 Tahun XXI, 1992

Prisma , No.3 Tahun XXI, 1992

Sudono, A. FBSI: Dahulu, Sekarang dan Yang Akan Datang. Jakarta: FBSI. 1981;

Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Hasil Munas Serikat Pekerja Seluruh Indonesia 1990. Jakarta: Departemen Tenagakerja. 1992.

Simanjuntak, Payaman J. "Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia", Manajeman Bina Darma, No. 45, Juni 1994

Sriwijaya Post : Kamis,  12 Desember 2002

Radjab, Suryadi A.. Ekonomi Politik Kaum Buruh, Labour Education Center, Bandung, 2001

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) “RUU Ketanagakerjaan : Pantas Meresahkan Buruh” Jakarta.1997

 


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?