Saturday, November 17, 2007

INDUSTRI POST- FORDISME DAN FLEKSIBILISASI HUBUNGAN KERJA

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi I, Mei - Oktober 2004

INDUSTRI POST- FORDISME DAN FLEKSIBILISASI HUBUNGAN KERJA

Oleh : M. Sumartono[1]

"…… betapa susahnya para buruh berjuang keras untuk mendapat pekerjaan yang layak, tetapi IMF bersikeras untuk menawarkan apa yang dengan ungkapan pelembut disebut "labor market flexibility", yang seolah-olah menciptakan pasar kerja berjalan lebih baik, tetapi prakteknya telah disederhanakan menjadi sebuah nama untuk memperendah upah dan hilangnya jaminan pekerjaan"[2]

Tidak terlalu jelas apakah ungkapan Stiglitz di atas berupa kritik, kekecewaan ataukah pembelaan terhadap buruh, tetapi sebagai bentuk kebijakan IMF dan prakteknya di banyak negara, LMF tetap negatif di matanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebijakan LMF "dibawa" oleh IMF kepada negara-negara miskin dan pengutang kepadanya. Setidaknya pertama kali diterapkan pada Argentina yang selama 5 tahun terakhir angka pengangguran mendekati 18,6 %. LMF ini menjadi inti "persetujuan" dengan IMF sebagai syarat utang dan reformasi ekonomi yang pro-pasar. Dan pada kenyataannya, LMF menjadi "reformasi generasi kedua" setelah penghapusan subsidi dalam rangka reformasi ekonomi untuk negara-negara pengutang atau negara-negara miskin[3].

Fordisme: sebuah model produksi dalam industri kapitalisme

Sampai saat ini industrialisasi diyakini sebagai cara sebuah bangsa untuk mencapai kemakmuran. Setidaknya sejak revolusi industri di Inggris pada abad 18, proses industrialisasi menjadi pilihan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan modernisasi negara. Sebab dalam industrialisasilah apa yang disebut kapitalisme mendapat bentuk dan tempat yang pas dalam sejarah.

Adalah Henry Ford (1863-1947) seorang industrialis Amerika yang mendirikan Ford Motor Company pada tahun 1903. Ia memproduksi untuk pertama kalinya motor yang terkenal dengan model T pada Oktober 1908. Selama 19 tahun kemudian, perusahaannya berhasil menjual 15, 5 juta mobil Ford model T di US, 1 juta di Kanada dan 250 ribu di Inggris. Atas dasar apa yang dilakukan Ford dalam perusahaan mobilnya, ditemukanlah model industri yang menggunakan pendekatan modern. Pendekatan itu sampai kini dikenal dengan istilah Fordisme.

Fordisme tidak lain adalah sebuah motode manajemen industri yang berazaskan assembly line atau sering disebut metode ban berjalan dalam proses produksi yang bersifat massal. Konsep tersebut menggambarkan proses ekonomi produksi dengan cara membagi proses produksi ke dalam ratusan atau bahkan ribuan unit kecil. Dengan cara tersebut menurut Ford, ongkos dapat diminimalkan dan keuntungan akan dapat segera dimaksimalkan.

Ia sebetulnya mengadopsi gagasan FW Taylor (1856-1915), orang yang pertama kali menemukan manajemen industri secara keilmuan. Atas dasar gagasan Taylor tentang time dan motion, Ford menerapkannya pada cara produksi masal dengan pembagian kerja yang kompleks dan gerak kerja yang berulang-ulang (repetitive). Hingga saat ini, dipahami bahwa antara Ford dengan Taylor sebetulnya tidak ada kaitan ideologis apapun, kecuali kedekatan metodologis dari segi keilmuan. Akan tetapi, sampai saat ini, terutama dalam disiplin manajemen, orang menyebut Fordisme sekaligus juga menyangkut Taylorisme.

Pertanyaannya, apa yang bisa dipelajari dari paham Fordisme untuk revolusi hubungan perburuhan di jamannya? Pada dasarnya Fordisme ini dialami dalam industri-industri di sekitar kita. Terutama di tingkat pabrik, sebagai sebuah model memproduksi barang. Tetapi warisan Fordisme juga diadopsi oleh negara-negara industri baru, termasuk Indonesia khususnya dalam hal waktu & upah. Warisan Fordisme yang dapat kita lihat di sekitar kita antara lain: pertama, seperti yang disinggung sebelumnya dari sisi proses produksi dikenal spesialisasi kerja, sub-produksi atau sistem line. Ini bisa kita amati di pabrik sepatu, garmen atau bahkan pada produk lain. Menurut teori Ford, dengan cara memecah-mecah proses produksi ini, waktu yang dibutuhkan lebih efisien. Menurut catatan Ford, pada tahun 1913, dengan cara produksi demikian, ia membukukan pengurangan waktu produksi untuk membuat 1 buah sasis mobil dari 728 menit menjadi 93 menit. Kedua, pada tahun 1914 Ford mempopulerkan apa yang disebut upah minimum. Pada waktu itu ia memperkenalkan dengan apa yang dikenal dengan "1 hari 5 US dollar", dua kali lipat dari upah pabrik mobil sejenis. Pada saat yang sama ia juga memberlakukan pengurangan jam kerja dari 9 menjadi 8 jam sehari. Dan dari 8 jam kerja per hari, aktifitas pabrik tetap 24 jam dengan 3 sift kerja. Dari point ini, kiranya masih banyak kita temukan warisan Ford di berbagai tempat di Indonesia. Ketiga, Fordisme sebetulnya menerapkan sisi loyalitas buruh, aturan yang ketat, memata-matai buruh dan menggunakan kekerasan untuk mencegah terbangunnya kekuatan. Dalam konteks ini, tidak ada ruang bagi inovasi dan partisipasi buruh dalam kebijakan perusahaan. Maka dalam tradisi Fordisme, bisa dikatakan sebagai anti-serikat buruh.

Secara lebih sederhana, Fordisme merupakan model industri yang semata-mata menekankan ketrampilan-ritmis fisik dan mengesampingkan aspek intelektual dalam proses produksi. Dari sisi proses lebih mengedepankan mekanisasi, rutinisasi, penyederhanaan pekerjaan, fragmentasi produksi, spesialiasi, kecepatan kerja dan pemaksaan lebih besar dari pada persetujuan dalam hubungan kerja. Bahkan Ford juga menolak adanya otomatisasi dalam proses produksi mobilnya. Ia menyatakan ini dengan kata-kata "robot tidak akan bisa membeli mobil yang diproduksinya sendiri".

Fordisme juga dipandang bukan hanya sebagai sebuah sistem produksi massal, tetapi juga, menjadi model hubungan sosial dalam sejarah kapitalisme. Sebab, setelah dihantam oleh depresi besar tahun 1930, muncullah welfarisme yang diinspirasikan oleh ekonom J.M. Keynes. Berkat Keynes, ada perangkat teoritis untuk membuat kebijakan ekonomi yang intervensionis dengan mengedepankan peran negara yang lebih besar dalam pengelolaan ekonomi. Dan memang pada waktu itu banyak negara-negara Eropa hancur oleh perang. Maka, welfarisme (negara kesejahteraan) yang menganjurkan adanya subsidi, perlindungan dan bantuan negara terhadap warga juga diterapkan dalam konteks industri. Oleh karena itu, kaitannya dengan kebijakan welfarisme, Fordisme memiliki beberapa varian yang diterapkan dalam industri di negara yang berbeda-beda.

Tabel 1: Varian-varian paham Fordisme yang pernah diterapkan


Hingga saat ini, industri model Fordisme ini sudah mulai ditinggalkan, terutama di negara-negara maju dimana semula model ini dipuja. Tingkat konsumsi massal yang menjadi daya penggeraknya sudah mengalami kejenuhan. Pendeknya Fordisme sudah mengalami krisis, seiring dengan tawaran-tawaran baru yang dihembuskan oleh regim pasar bebas. Masihkah Fordisme bertahan di Indonesia?

Regim post-Fordisme: fleksibilitas dan berbagai variannya

Selamat datang post-Fordisme. Sekurang-kurangnya para pemilik modal akan menyambut demikian. Tetapi, berbeda dengan kaum buruh yang akan segera meratapinya. Rejim post-Fordisme tidak lain adalah regim fleksibilitas hubungan kerja. Hal ini kiranya telah diyakini sebagai perubahan besar dalam hubungan industrial, di mana kelenturan itu juga berarti ketidakpastian. Era Fordisme memang pernah mengalami jaman keemasannya, setidaknya sampai akhir tahun 70-an. Tetapi, dengan kembalinya pemujaan keramat terhadap pasar bebas, fleksibilitas seolah mendapat penegasan. Dan sekarang, telah menjadi kredo baru dalam ekonomi ketenagakerjaan yang segera dipuja-puja para pengusaha. Tetapi menjadi bencana baru bagi buruh.

Sebagai sebuah rejim baru dalam hubungan industrial, konsep fleksibilitas diterapkan dalam berbagai variasi. Dalam konteks industri, varian proses dari fleksibilitas ini sebagai berikut:

Pertama, finansialisasi, yakni model investasi atau industri yang ditanam dalam bentuk finansial. Apabila ada kata-kata gerakan buruh tidak selincah gerak modal, maka industri yang lebih diminati adalah sektor yang punya fleksibilitas tinggi dan seminimal mungkin membutuhkan tenaga kerja. Sektor finansial menjadi pilihan bisnis di jaman pasar bebas seperti ini. Karena, jika dulu uang menjadi alat tukar barang dan jasa, tetapi kini telah menjadi barang dan jasa itu sendiri.

Kedua, informalisasi, yakni proses produksi yang disub-kontrakkan pada rumah tangga. Proses ini juga sering disebut “Brasilianisasi” atau “thirdworldisasi” pola industri. Mengapa disebut demikian, karena proses informalisasi merupakan tipikal yang terjadi di Brasil. Informalisasi proses produksi industri ini kemudian melahirkan apa yang disebut homeworkers, teleworkers, family/unpaid workers. Pola industri tipikal Brasil ini, kemudian diadopsi sebagai pola industri post-fordisme ini. Dalam konteks fleksibilitas, menciptakan jarak hubungan kerja (majikan-buruh) sejauh mungkin dan meloloskan diri dari kontrol regulasi negara segelap mungkin.

Ketiga, feminisasi pasar kerja. Dalam konteks pembagian kerja di sektor industri, angkatan kerja kaum perempuan mengalami perubahan yang cukup drastis. Artinya partisipasi kaum perempuan dalam sektor industri meningkat. Di negara-negara industri maju, hingga tahun 2000, tingkat partisipasi perempuan meningkat rata-rata di atas 50 % dan negara-negara berkembang di atas 30 % (Munck, 2003; 9). Tingkat kenaikan partisipasi ini sebetulnya tidak berkaitan dengan issu keadilan gender dalam sektor industri. Dari sisi fleksibilitas, lebih mengedepankan penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor industri yang unskilled dengan motif utama buruh murah (cheap labour). Ini sebetulnya berdekatan dengan konteks informalisasi atau brasilianisasi. Dan ini mesti dilihat dalam konteks new international division of labour (NIDL). Maka feminisasi dalam kacamata fleksibilitas hubungan kerja adalah mobilitas territorial yang dijiwai oleh upah murah dalam pembagian kerja internasional. Oleh karena itu antara feminisasi dan thirdworldisasi adalah dua sisi dari mata uang yang sama dalam rejim fleksibilitas.

Keempat, deteritorialisasi yang menunjuk pada tercabutnya kinerja bisnis/industri dari keterkaitan lekat dengan tanggung jawab sosial pada negara atau warga negara di mana sebuah bisnis itu beroperasi. Ini berarti bahwa bisnis, itu punya mekanismenya sendiri yang keramat tanpa harus tunduk pada regulasi negara. Dalam konteks fleksibilitas, bisnis atau industri ada kecenderungan kuat untuk melepaskan diri dari cengkraman kontrol pemerintah.

Tabel 2: Karakteristik regim Fordisme dan post-Fordisme/Fleksibilitas

Pada table di atas, menunjukkan bahwa perubahan industri yang fleksibel berdampak pada kebijakan yang lain. Dari sisi ini, kita bisa melihat proses pergeseran kekuasaan dalam ketenagakerjaan. Bila di era Fordisme, negara masih banyak campur tangan, tetapi di regim post-Fordisme, pasarlah yang lebih menentukan. Ini artinya bahwa kekuasaan itu telah bergeser dari state ke market. Di dalam konteks kasus-kasus perselisihan perburuhan yang terjadi di sekitar kita, rupanya akan segera terlihat adanya kekuasaan yang bertingkat. Buruh pada akhirnya menjadi korban bulan-bulanan baik oleh negara maupun oleh pasar. Kekuasaan market atas buruh berbentuk PHK, pergantian pemilik/pengelola, relokasi, sub-kontrak dalam hubungan kerja yang fleksibel. Kekuasaan negara atas buruh nampak dalam praktek intimidasi, kekerasan dan pembatasan-pembatasan gerakan. Lengkaplah sudah gerakan buruh harus menghadapi lemahnya aparatus negara dalam perlindungan dan kuatnya sistem pasar yang semakin luas.

Fleksibilitas hubungan industrial menurut OECD

Sejak tahun 70-an negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) yang sebagian besar anggotanya adalah negara-negara industri maju, mulai memperkenalkan dan mempraktekkan fleksibilitas. Pola-pola fleksibilitas hubungan industrial yang dipraktekkan ini lalu semakin menyebar luas ke negara-negara berkembang. Setidaknya menurut studi yang dibuat oleh Guy Standing (1999) dan Ronaldo Munck (2003) menyatakan hal itu. Tentang fleksibilitas ini juga pernah di gambarkan secara gamblang oleh A. Prasetyantoko dalam berbagai kesempatan.

Menurut Guy Standing dan Ronaldo Munck yang melakukan studi tentang tipe-tipe fleksibilitas hubungan industrial di negara-negara OECD dan juga studi yang dilakukan oleh V. Monastiriotis menyebutkan bahwa fleksibilitas telah menjadi mode baru di negara-negara maju. Tuntutan akan fleksibilitas itu sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh sebagai berikut: pertama, faktor ketidakpastian industri secara eksternal yakni meningkatnya iklim kompetisi, risiko finansial dan ketidakpastian permintaan produk. Kedua, kecenderungan dan menguatnya aturan pasar yang menentukan industri. Ketiga, kecenderungan untuk memperkecil dan melenturkan bentuk dan strategi perusahaan.

Hasil studi Standing & Munck, menyebutkan tipe-tipe fleksibilitas sebagai berikut:

1. Fleksibilitas proses dan organisasi produksi. Ini merupakan upaya untuk merampingkan struktur organisasi produksi dan memperkecil skala perusahaan. Maka sebagaimana disebut sebelumnya fleksibilitas organisasi produksi ditandai dengan adanya sub-kontrak, fragmentasi, informalisasi dan disintegrasi. Dari sini, bentuk perusahaan lebih pada jaringan.

2. Fleksibilitas sistem pengupahan. Fleksibilitas ini lebih pada perubahan struktur upah. Yakni, memperkecil skala upah tetap baik yang berdasarkan jam kerja (time rate) dan atau hasil kerja/produksi (piece rate). Sedang variable upah yang tidak tetap seperti; bonus, insentif, pembagian keuntungan dipakai sebagai acuan, karena ini lebih fleksibel dalam pengalaman OECD. Jadi upah disesuaikan dengan produktifitas yang dihasilkan dan kondisi pasar.

3. Fleksibilitas dalam labour costs. Pada intinya pengurangan biaya-biaya yang menyangkut subsidi-subsidi yang harus dikeluarkan perusahaan untuk buruh. Subsidi-subsidi itu misalnya biaya: kesehatan, pajak, training, perlindungan, birokrasi, dst.

4. Fleksibilitas tenaga kerja dari sisi supply. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja, kapasitas produksi dan jenis pekerjaannya. Fleksibilitas jenis ini dapat dilihat di lapangan berupa: buruh kontrak (kelompok atau individual) dengan berbagai variannya, buruh rumahan, teleworkers, black-workers dan flexi-workers.

5. Fleksibilitas fungsional. Jenis pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha untuk menyesuaikan diri pada fluktuasi pasar produksinya. Dalam konteks jenis pekerjaan maka muncul istilah multi-skilling dan multi-tasking. Buruh dituntut memiliki lebih dari satu ketrampilan supaya bisa mengerjakan berbagai jenis pekerjaan.

6. Fleksibilitas struktur pekerjaan. Hampir sama dengan fleksibilitas fungsional, tetapi lebih menekankan pada tiadanya promosi atau peningkatan profesional baik dalam segi jenis pekerjaan maupun tingkat upah.

Rupa-rupanya tipe-tipe fleksibilitas yang dipraktekkan di negara-negara OECD juga dapat ditemukan di berbagai industri di sekitar kita. V. Monastiriotis menggambarkan bentuk fleksibilitas pasar kerja sebagai berikut:

Skema: Labour Market Flexibility

Respon Serikat Buruh

Sulit memang untuk melacak sejauh mana respon serikat-serikat buruh terhadap perubahan pola fleksibilitas ini. International Conference of Free Trade Union (ICFTU) juga belum terlalu jelas menanggapi ini. Dalam catatan Munck, dalam konferensi ICFTU tahun 1999-2000 menyatakan demikian: ke depan gerakan buruh akan menghadapi persoalan-persoalan: pertama, perubahan pola hubungan industrial yang berpengaruh pada menurunnya keanggotaan serikat buruh oleh karena berkurangnya kelas buruh padat karya. Kedua, perubahan akan hubungan buruh-majikan yang semakin meninggalkan kompromi-kompromi sosial dan jaminan hak-hak buruh oleh modal. Ketiga, status publik serikat buruh yang semakin terbatas karena berkurangnya campur tangan negara atas perlindungan buruh. Keempat, ketidakpastian kondisi ekonomi yang dikuasai oleh cepatnya gerak modal finansial. Kelima, hubungan industrial yang semakin ditentukan oleh regulasi pasar.

Bahan acuan:

Monastiriotis, V, A Panel Regional Indicators of Labour market Flexibility in the UK, 1979-1998, Dept. of Economics-Univ. of London, 2003. ]

Munck, Ronaldo, Globalization and Labour: The New Great Transformation, London: Zid Books, 2003.

Standing, Guy, Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice, USA: St. Martin,s Press Inc, 1999.

Stiglitz, Joseph E, Globalization and Its Discontents, USA: Penguin Book, 2002.

Di Tilla, Rafael & Robert MacCulloh, The Consequences of LMF, Working Paper : Institute for European Integration Studies, Friedrich Wilhelms Universitat Bonn, 1999.


[1] Aktivis Perburuhan, bekerja di Lembaga Daya Dharma – Keuskupan Agung Jakarta. Tinggal di Tangerang.

[2] Joseph E. Stiglitz, Globalization and its Discontents, 2002; hal.84.

[3] Rafael Di Tilla & Robert MacCulloh, The Consequences of LMF", 1999; hal.4.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?