Sunday, November 02, 2008
Urgensi Standarisasi CSR
Urgensi Standarisasi CSR
Oleh: Jimmy Tanaya[1]
Kesadaran akan CSR: Positif dan Negatif
Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan menjadi (lebih) sering digunakan di
Akan tetapi, peningkatan perhatian dan program mitigasi tersebut tidak secara otomatis berakibat pada menurunnya permasalahan sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan. (Dan) disanalah akibat negatif euforia CSR bersumber. Ke-negatif-an terjadi akibat pemahaman CSR yang simpang siur. Maka, wajar bila pemahaman yang kurang tepat tersebut berbuah pendekatan dan program-program CSR yang salah kaprah. Salah kaprah ini, dikhawatirkan, akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan baik bagi masyarakat, kondisi lingkungan, dan perusahaan.
Menimbang hal diatas, maka, standarisasi konsep CSR menjadi hal penting. Meskipun standarisasi ini belum tercapai pada tataran global; pada tataran lokal/perusahaan, standarisasi dimungkinkan untuk tercapai. Proses standarisasi dilakukan melalui diskusi-diskusi yang melibatkan banyak (atau semua?) pemangku kepentingan, salah satunya adalah para pekerja.
Keragaman Konsep CSR
Beberapa konsep CSR ditinjau dari para pemangku kepentingan adalah sebagai berikut:
1. Aparatur Pemerintah dan Hukum.
Konsep CSR bervariasi antar aparatur pemerintahan. Di satu sisi, menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial misalnya, melihat CSR sebagai perhatian tambahan kepada masyarakat sementara tanggung jawab usaha adalah membayar pajak (Suhartono, 2007a). Di lain sisi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berpendapat bahwa CSR perlu diterapkan oleh semua perusahaan (Indrietta, 2007). Sementara, Menteri Kehutanan menimbang CSR dalam bentuk pajak (Ma’ruf, 2007).
Sebagaimana diketahui, CSR diatur dalam dua undang-undang yaitu UU 25/2007 tentang Penanaman Modal dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. UU 25/2007 mewajibkan pelaksanaan CSR bagi para penanam modal/investor. Sementara UU 40/2007 mewajibkan pelaksanaan CSR bagi badan usaha yang bergerak di bidang ekstraksi sumber daya alam DAN yang berakibat pada sumber daya alam. Semua kegiatan produksi baik barang maupun jasa akan berakibat pada kondisi sumber daya alam (misalnya penggunaan listrik dan air), maka, logikanya, semua perusahaan wajib melaksanakan CSR. Baik UU 40/2007 maupun UU 25/2007 tidak menjelaskan dengan rinci konsep CSR selain aspek-aspek normatif yang umumnya ada dalam CSR seperti kualitas hidup masyarakat dan perlindungan lingkungan.
2. Perusahaan (sektor private)
Konsep CSR bagi perusahaan umumnya terbagi dalam keterlibatan dalam komunitas (community involvement), perbaikan praktek dan proses produksi, dan hubungan pekerja (Chambers et al., 2003). Lebih lanjut, pemberdayaan komunitas (community development) dan perlindungan lingkungan mengambil porsi terbesar dalam praktek CSR di Indonesia.
3. LSM/ORNOP
Sebagaimana konsep CSR dalam pemangku kepentingan lainnya, konsep CSR bagi LSM/ORNOP (organisasi non pemerintah) juga bervariasi. Bila dibagi secara sederhana berdasarkan penerimaan/akseptabilitas atas CSR, konsep CSR dapat dikelompokkan menjadi penerima dan penolak CSR. Kelompok penolak memandang CSR hanya merupakan strategi pemasaran (marketing gimmick) suatu perusahaan atau pencucian citra (green washing). Sementara bagi kelompok penerima, konsep CSR serupa filantropis dan/atau pemberdayaan masyarakat, atau strategi manajemen resiko.
4. Akademisi
Tidak ada konsep tunggal mengenai CSR dalam dunia akademik di
Konsep CSR: harus sangkil dan mangkus
Konsep CSR tidak hanya memerlukan standarisasi, namun juga harus relevan dengan kondisi lingkungan dan sosial perusahaan dan menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Tanpa menjawab permasalahan lingkungan dan sosial, sumber daya yang digunakan bagi program CSR akan menjadi tidak sangkil/efesien dan tidak mangkus/efektif. Dua hal terakhir tersebut selayaknya dihindari oleh semua pihak, terutama oleh perusahaan.
CSR harus dihubungkan dengan permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan agar dapat menjadi solusi. Maka, konsep CSR yang sangkil dan mangkus akan berusaha untuk menjawab eksternalitas[2] (internalizing externalities). Eksternalitas tersebut pada akhirnya juga akan meningkatkan biaya produksi dan oleh karenanya, juga tidak dinginkan oleh perusahaan.
Dampak eksternalitas sangat dirasakan oleh pekerja. Eksternalitas tersebut dapat berupa jam kerja, kondisi pekerjaan, kebijakan upah, maupun hak-hak pekerja lainnya. Seringkali dengan dalih menekan biaya produksi, faktor keselamatan kerja diabaikan. Maka para pekerja, adalah mitra strategis bagi perusahaan untuk mengidentifikasi eksternalitas tersebut dan program-program CSR yang terkait.
Lebih lanjut, perusahaan memang harus bertanggungjawab terhadap kondisi sosial maupun lingkungan yang ditimbulkan oleh proses produksi. Namun, tanggung jawab mereka dibatasi oleh sejauh mana perubahan negatif atas kondisi sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya. CSR bukanlah suatu pembenaran atas ‘pelimpahan’ tugas-tugas negara kepada badan usaha (seperti: kesehatan, perbaikan infrastruktur, dll). Pembatasan tanggung jawab memampukan perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya yang digunakan dalam program CSR dengan lebih baik lagi. Sementara, tanggung jawab yang tidak terbatas hanya akan mengakibatkan membengkaknya biaya produksi dan pada akhirnya, membahayakan keberlanjutan program-program CSR.
Bila CSR gagal menjadi jembatan penyeimbang trio kepentingan yaitu, ekonomi, lingkungan, dan sosial; maka kelihatannya proses penyeimbangan yang terintegrasi tersebut akan berulang dari awal dan (mungkin) melalui proses yang lebih sulit. Sementara dampak eksternalitas akan terus meningkat dan pada batas tertentu, tidak dapat diperbaiki (irreversible). Tampaknya, CSR masih harus menjadi tumpuan harapan bagi semua pihak akan proses penyeimbangan tersebut dalam kurun waktu ini.
------
Daftar Pustaka:
SUHARTONO (2007a) Aburizal: CSR bukan Kewajiban Perusahaan. Kompas, 26 April 2007, diambil dari: http://www.kompas.co.id/ver1/Nasional/0704/26/122114.htm.
INDRIETTA, N. (2007) Menteri Energi Pertanyakan Pembatasan CSR. TEMPO Interaktif, 23 July 2007, diambil dari:
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/07/23/brk,20070723-104180,id.html.
[30 July 2007].
CHAMBERS, E., CHAPPLE, W., MOON, J. & SULLIVAN, M. (2003) CSR in
MA’RUF, M. (2007) Dephut Usul CSR 2,5–8% Laba. Seputar
[1] Penulis adalah salah satu pegiat LSM Business Watch
[2] Eksternalitas adalah ekses-ekses (baik positif/diinginkan dan negatif/tidak diinginkan; namun dalam hal ini, diasosiasikan sebagai ekses negatif) yang timbul dalam suatu proses produksi. Disebut sebagai eksternalitas karena ekses-ekses tersebut tidak diperhitungkan kedalam biaya produksi. Akibatnya, masyarakat menanggung biaya-biaya yang timbul akibat ekses tersebut.