Tuesday, October 23, 2007

Antara Neneng dan Surya

Oleh : Ch. Dwi Yuli N

Neneng (30 thn) seorang gadis, baru saja diputus hubungan kerja (PHK). Sebelumnya dia bekerja di sebuah pabrik plastik di Lampung Selatan dari tahun 1996. Pekerjaan yang dilakukannya adalah menjahit karung-karung pengepakan produk plastik yang akan dimasukkan ke gudang. Ini pekerjaan yang baru dikerjakan selama 6 bulan terakhir. Dulunya dia bekerja untuk bagian produksi yang bertugas mengoperasikan sebuah mesin.

Ada perubahan yang besar pada pertengahan tahun 2006 di pabrik plastik itu. Seluruh pekerja dianggap keluar dari pabrik dengan menerima pesangon dua juta rupiah. Pekerja yang masih dibutuhkan ditarik kembali dengan model kontrak dan borongan. Dulu, gaji yang diterima Neneng jumlahnya tetap tiap bulan dan mengalami kenaikan tiap tahun seturut lama masa kerja. Karena perubahan itu, manajemen pabriknya menetapkan gaji berdasarkan karung yang selesai dijahitnya. Tiap 6 bulan sekali akan dilakukan ’evaluasi’ yang menentukan apakah seorang pekerja masih bisa bekerja disitu atau harus keluar.

Tidak ada pilihan yang lebih baik bagi Neneng. Malah perubahan itu disyukurinya karena dia masih ’dipakai’, sedangkan banyak temannya yang diminta keluar oleh pabrik dengan alasan ’perampingan’, produksi tidak banyak dan untuk penghematan. Juga uang ’pesangon’ 2 juta yang diterimanya saat tandatangan kontrak juga disyukurinya dengan membelikan ibunya sebuah kerudung yang bagus.

Tiap minggu dia menerima sekitar 90 ribu hingga 125 ribu. Harus dia sisihkan untuk membayar uang kost, 150 ribu tiap bulan. Sisanya untuk makan ala kadarnya. Suatu saat pernah matanya luka parah kena jarum jahit. Dia dilarikan ke rumah sakit terdekat. Pengobatan ditanggung sendiri dari tabungan kecilnya (yang sebenarnya jatah bayar kamar). Pabrik memberikan santunan separuh biaya pengobatan.

Neneng tidak tahu tentang serikat buruh, hak-hak dia sebagai buruh, undang-undang atau istilah-istilah perburuhan lain. Menurutnya hidupnya sudah sangat wajar seperti kebanyakan orang lain, bahkan kadang dia merasa lebih baik dari banyak orang karena dapat bekerja dan hidup mandiri.

Diajak bicara tentang sistem pengupahan, jamsostek, serikat buruh dan lain-lain dia hanya tersenyum,”Bikin pusing saja mbak.” Ketika bertemu dengan aktifis pengurus serikat lain, dia malah menarik diri dan tidak bicara satupun. Bahkan saat selesai satu periode kontrak dia tidak lagi dipekerjakan, Neneng tidak bersuara selain keluhan mencari pekerjaan baru yang susah. Tidak ada pesangon, tidak ada pula jaminan akan kepastian hidupnya kelak.

Realita Lain

Surya (45 thn) bukan nama sebenarnya, seorang distributor obat dan kosmetik di Bandarlampung. Dia sudah menggeluti usaha ini sejak lama, warisan dari orang tuanya. Berkat dia, usaha ini berkembang hingga dia mempunyai 30-an karyawan meliputi sopir yang merangkap tenaga pemasaran, bagian gudang, dan bagian administrasi.

Koleganya mengenalnya sebagai orang yang ulet bekerja keras. Perhitungan pasarnya seringkali tepat, sehingga langganannya bertambah dengan cepat. Sistem kontrak bagi pekerjanya, dia terapkan sebagai sebuah ide yang tepat untuk mengurangi resiko atas modal yang dia punyai.

”Mereka (para pekerjanya) bekerja sesuai dengan pilihan mereka. Maka mereka punya etos kerja yang tinggi,” jelasnya. Prosedur rekrutiment dia lakukan dengan membuka pengumuman lowongan pekerjaan di koran. Yang datang kemudian dites, wawancara. Jika mereka setuju dengan jenis pekerjaan dan cara bekerja di tempat Surya, maka disodorkan kontrak kerja setelah melewati masa magang tiga bulan.

Gaji untuk karyawan baru senilai 450 ribu (pada tahun 2005) dianggap cukup oleh Surya dan disetujui semua karyawan. Usaha ini bisa berjalan baik hingga kini. Bertanya tentang pasar, sistem pemasaran, dan sebagainya Surya sangat fasih berbicara. Namun dia juga mengakui sangat tidak mengerti ketika ada gejolak demo buruh (bukan tempat usaha dia) yang protes atas revisi atas undang-undang, menuntut transparansi pengelolaan Jamsostek dan sebagainya. Atau bahkan dia tidak tahu tentang undang-undang yang berkenaan dengan perlindungan ketenagakerjaan.

Surya menjalankan hidupnya dengan lurus, penuh semangat, masih sering memberikan derma ke organisasi sosial dan sebagainya. Tapi berbicara tentang undang-undang perburuhan dan peraturan-peraturan lain, komentarnya sama seperti Neneng. Hanya bikin pusing. Toh, usahanya bisa berkembang. Dia dekat dengan karyawannya, koleganya dan juga dengan instansi pemerintah terkait. Membayar iuran ini itu dianggap sebagai sarana wajar pemulus usaha dan tidak masalah baginya untuk mengikuti arus yang berlaku dalam dunia bisnis.

Pemerintah Berada

Masalahnya, di Indonesia ada puluhan juta simpul-simpul usaha, entah di bidang jasa atau barang. Ada jutaan pengusaha terlibat dan jutaan pekerja atau calon pekerja yang akan terus hidup. Semua itu membentuk suasana dalam dunia perindustrian dan perburuhan di Indonesia.

Pemerintah sudah menelorkan banyak undang-undang dan peraturan. Idealnya produk hukum itu dibuat untuk menegakkan keadilan bagi semua pihak. Dengan begitu, yang lemah dapat dilindungi dan yang kuat tetap berjalan pada batas wajar yang adil.

Untuk menjamin kesejahteraan tenaga kerja, ada beberapa undang-undang yang melindungi. Yang paling umum, UU Tenaga Kerja no 13 tahun 2003 pasal 99 yang berisi, ayat 1; Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. Kemudian berlanjut pada pasal 100 ayat 1 ; Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.

Lebih spesifik tentang jaminan sosial bagi tenaga kerja dibuatlah aturan lain seperti : UU no 13 tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Peraturan pemerintah no 14 tahun 1993 tentang penyelenggaraan program jaminan sosial tenaga kerja. Ini mengalami beberapa perubahan yang dituangkan dalam Peraturan pemerintah no 64 tahun 2005, dan sejumlah peraturan menteri tentang hal terkait.

Pemerintah mencoba bersikap arif dengan menunjuk badan pelaksana untuk itu. PT Jamsostek (Persero) dibentuk untuk membantu perusahaan memenuhi kewajiban terhadap hak pekerja itu. Walaupun rupanya dalam tingkat pelaksanaannya masih belum menyentuh kebutuhan seluruh pekerja di Indonesia.

Mengapa masih banyak (kebanyakan) pekerja atau buruh yang tidak mendapatkan hak-hak atas jaminan sosial seperti yang diharapkan? Bahkan ada banyak pekerja atau buruh yang tidak tahu bahwa dia mempunyai hak seperti itu? Atau pertanyaan dari sisi yang berlawanan, mengapa pengusaha, atau perusahaan tidak melakukan kewajibannya untuk memberikan jaminan sosial kepada pekerjanya?

Pada pasal 100 UU no 13 tahun 2003 ayat 2 disebutkan bahwa penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan. Untuk melaksanakannya diperlukan perangkat lain. Maka muncul peraturan-peraturan lain yang menyertai uu ketenagakerjaan ini.

Peran pemerintah dalam hubungan industrial sangat jelas, seperti yang disebut dalam UU no 13 tahun 2003 pasal 102 ayat 1 yaitu : Dalam melaksanakan hubungan industrial, pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan, melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Pemerintah sudah membuat banyak produk hukum tentang ketenagakerjaan. Agenda tentang ini belum selesai sepenuhnya mengingat bagaimana proses pembuatan peraturan dan juga mengingat dinamika yang selalu ada.

Tidak bisa tidak, pertama-tama pemerintah harus mensosialisasikan produk-produk hukum yang sudah ada itu kepada berbagai pihak. Pendidikan untuk buruh/pekerja dan juga pendidikan untuk pengusaha. Dengan begitu perusahaan mengetahui aturan main yang harus dijalankan, bukan hanya dalam hubungan dengan pasar, jaringan kerja dan pemerintah tapi juga hubungan dengan pekerjanya, sebagai bagian tak terpisahkan dari proses produksi sebuah usaha.

Kedua, dalam hal memberikan pelayanan, lembaga/instansi terkait seperi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, badan penyelenggara jamsostek dan sebagainya mesti meningkatkan kinerjanya. Keterpihakan kepada kalangan yang lebih lemah mesti menjadi mentalitas. Bukan hanya berpihak pada siapa yang punya modal.

Yang ketiga, fungsi kontrol/pengawasan harus dilakukan. Dalam UU no 3 tahun 1992 disertai dengan ketentuan pidana atas pelanggaran terhadap undang-undang ini. Yaitu pasal 29 disebutkan bahwa : Barang siapa tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1); Pasal 10 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3); Pasal 18 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5); Pasal 19 ayat (2); Pasal 22 ayat (1); dan Pasal 26, diancam dengan hukuman kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ayat-ayat diatas berisi kewajiban dari perusahaan dan badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja.

Dan keempat, sikap adil bagi semua pihak mesti ditegakkan. Pemerintah yang paling punya kuasa dalam proses penindakan terhadap pelanggaran hukum. Hanya adil jika pemerintah benar-benar menjadi ’pengayom’ bagi warganya.

Penutup

Para buruh Indonesia kini sudah banyak yang pandai, pintar berorganisasi, berorasi dan tahu hukum. Tapi lebih banyak lagi yang seperti Neneng atau memilih seperti Neneng. Yang penting perut terisi. Dijalani hidup seperti roda berputar dan dibiarkannya hiruk pikuk terjadi seolah-olah dia ada di luar keribetan itu, walau sebenarnya dia sedang ditelan oleh segala masalah itu.

Banyak yang memberikan resep : persoalan perburuhan bisa diatasi dengan serikat buruh/pekerja. Syaratnya, pekerja menyadari kekuatan secara bersama yang bisa dibentuk dalam serikat. Kebersamaan itu akan menjadi kekuatan luar biasa bagi masyarakat buruh/pekerja di masa mendatang. Paling urgen saat ini, melepaskan kepentingan-kepentingan pribadi yang seringkali membentur, mengikat dan memikat pengurus-pengurus serikat pekerja/buruh di Indonesia. ****

Catatan :

Tulisan ini terinspirasi diskusi tematis tentang Jamsostek yang diadakan oleh Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL), pada Senin, 8 Januari 2007. Diskusi ini diadakan untuk memperdalam tema dalam buletin Lembur yang diterbitkan oleh FKSPL.

Penulis :

- Sekretaris Forum Komunikasi Serikat Pekerja Lampung (FKSPL)

- Staff Bagian Justice and Peace Keuskupan Tanjungkarang


This page is powered by Blogger. Isn't yours?