Tuesday, November 04, 2008

Derma untuk Pekerja

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 9, April - Juli 2008

Derma untuk Pekerja

Aditya Heru Wardhana

Pekerja media dan anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen).

Penulis bisa dihubungi di heruwardhana@yahoo.com / heruwardhana.multiply.com

Gemuruh sorak - sorai membahana di tepi lapangan badminton. “Ayoo,..ayooo,… ayyooo, terus,.... jangan sampai kalah.” Teriakan penonton bersahut-sahutan menyemangati tim yang tengah bermain. Di tengah lapangan, para pemain berjumpalitan mengejar kemenangan. Ini bukanlah cerita tentang keramaian final Kejuaran Piala Thomas –Uber, tapi ini tentang kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) suatu produk makanan ringan anak-anak. Di sore yang gerimis, program CSR yang bertajuk Markas Petualangan Taro itu digelar di kawasan padat pemukiman Mampang Jakarta Selatan. Anak-anak saling berlomba, antara lain lomba yang melibatkan 4 regu, masih-masing regu beranggotakan 5 anak. Nah tiap regu berdiri di atas tiga lembar koran lantas Koran itu dijadikan pijakan untuk melangkah ke arah garis finish. Kelompok yang kaki anggotanya keluar dari koran dinyatakan gugur. Perlombaan ini mengajarkan kerjasama kelompok dan koordinasi antara anggota. Kejujuran juga diuji dalam permainan ini. Menurut Brand Manager Taro, Amalia Sarah Santi, kegiatan ini ditujukan untuk lebih mempererat hubungan antara anak dan ibunya melalui aktifitas petualangan yang digelar secara berkala di lingkungan masing-masing.

Mari kita tinggalkan keriuhan di Mampang itu, sekarang kita meluncur ke kawasan Kedoya Jakarta Barat. Di salah satu studi stasiun tv swasta, beberapa anak muda berdiri berjajar. Di dadanya terkalung medali penghargaan hasil menang kejuaraan yang mengadu tingkat kecerdasan. Lantas seorang bapak berpakaian batik membagikan bingkisan. “Isinya telpon genggam dan pulsanya udah ditanggung selama setahun oleh XL” kata bapak itu. Para penonton di studio bertepuk tangan. Operator telpon seluler itu memberikan fasilitas komunikasi kepada pelajar berprestasi sebagai bentuk CSR.

Begitulah sekelumit praktek CSR yang dipraktekkan oleh perusahaan-perusahaan. Tentu masih banyak lagi jenis kegiatan CSR, mulai dari bantuan kepada korban bencana alam, menegakkan kembali sekolah yang roboh, sunatan massal sampai ada juga CSR dalam bentuk award bagi pejuang masyarakat melakukan kegiatan pemberdayaan bagi orang banyak serta membantu orang lain untuk meningkatkan kesejahteraan. Tak sedikit pula, perusahaan-perusahaan mendirikan lembaga khusus berupa yayasan yang mengelola dana dan kegiatan CSR. Pendirian yayasan pun seakan menjadi trend. Orang-orang kaya berkantong tebal pun berlomba mendirikan yayasan yang diberi nama persis nama si kaya itu.

Lembaran koran, tayangan televisi, siaran radio dan media online pun turut panen karena CSR. Humas perusahaan berlomba-lomba memajang aksi CSR mereka di media-media supaya diketahui oleh khalayak ramai. Pengelola media senang, kocek mereka makin tebal pundi-pundi iklan mengalir deras.

Persepsi umum yang ditangkap penulis, mengesankan bahwa praktek CSR dipahami sebagai kegiatan derma suatu perusahaan yang telah banyak mengeruk keuntungan dengan obyek yang dipilih lebih banyak di luar perusahaan yaitu bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Berdasarkan pengamatan sekilas penulis terhadap kegiatan CSR yang dimuat di media massa, mayoritas kalau bisa disebut juga semua kegiatan itu obyeknya ditujukan bagi kalangan masyarakat di luar perusahaan tersebut. Berdasarkan pengamatan di media massa, penulis belum pernah melihat dan mengetahui penerapan CSR bagi kalangan dalam terutama bagi pekerja dan keluarga pekerja di dalam suatu perusahaan. Apakah pekerja dan keluarga pekerja menjadi target praktek CSR dan bagaimana pandangan kelas pekerja terhadap penerapan CSR? Artikel sederhana ini mencoba untuk menelusurinya.

Yanuar Nugroho, Direktur Eksekutif Business Watch Indonesia, berpendapat CSR, atau tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) pada hakikatnya adalah upaya yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk menjamin agar praktik usahanya memenuhi kriteria tanggung jawab pada semua stakeholder (parapihak)-nya. Stakeholder ini mencakup bukan saja pelaku usaha dan pemegang saham perusahaan tersebut, namun juga masyarakat sekitar dan masyarakat yang terlibat, lingkungan, dan pekerja/buruh/karyawannya.

Dalam lingkup stakeholder atau pemangku kepentingan ini, kelompok pekerja dan keluarganya termasuk kelompok yang paling dekat dengan perusahaan. Karena keterlibatan langsung dalam proses produksi yang juga sangat mempengaruhi dalam pencapaian tingkat keuntungan. Perusahaan tidak mungkin meraup laba bila proses produksinya mandek. Bila merujuk dalam terminologi Marxist, kelas buruh lah yang sebenarnya mencetak laba karena menghasilkan nilai lebih dalam suatu produk. Nilai lebih inilah yang dihisap oleh kelas borjuis dan dinikmati sendiri, emoh berbagi serta terus menerus laba diakumulasi dalam lingkaran sistem kapitalisme. Kelas buruh hanya menerima upah sebagai balasan atas jasa dan tenaga yang telah dikeluarkan. Upah yang cuma mencukupi kebutuhan fisik supaya esok dapat kembali berpoduksi dan menghasilkan keuntungan yang pasti diambil lagi oleh pemodal. Begitu seterusnya kapitalisme bergulir semakin menggurita, menguasai setiap hajat hidup manusia.

Kontradiksi, perbenturan kepentingan antara kelas borjuasi versus proletariat akan berlangsung terus menerus berdasarkan hukum-hukum dialektika. Kelas borjuasi, di dukung segenap perangkat keras seperti tentara, hakim dan juga perangkat lunak misal budaya, gaya hidup semakin menguasai, mengatasi dan mengendalikan kelas proletariat. Karena ketertindasan, kelas proletariat melancarkan perlawanan yang intensitasnya naik turun bak gelombang. Kadang kencang, sering pula surut akibat lemahnya posisi tawar.

CSR bagi sebagian kalangan dipandang mampu menjadi penengah di antara kerasnya kontradiksi antar kelas. Menurut Andy Syafrani, pengamat CSR berpendapat bahwa konsep CSR berawal dari dorongan kuat untuk menahan laju “ketamakan” perusahaan (baca: shareholders) mengambil sendiri keuntungan bisnis yang diperolehnya. CSR adalah konsep yang menawarkan keseimbangan kepentingan antara shareholder dan stakeholder.

Selanjutnya Andy menulis pada masa awal sejarah perusahaan, konsep stakeholders tidak pernah dikenal. Yang ada hanya pemilik (owner). Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan dalam Stanford Research Institute Internal Report pada 1963 dan kemudian pada era 1980-an mulai dielaborasi secara sistematis dalam diskursus corporate governance, khususnya sejak R.E. Freeman (1984) menerbitkan bukunya Strategic Management: A Stakeholder Approach

Di dalam bukunya, Freeman mendefiniskan stakeholder sebagai "any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organisation's objectives." Dalam konteks perusahaan, pihak yang paling berperan mempengaruhi tercapainya tujuan pokok perusahaan tentunya dalam urutan hirarkis di posisi puncak adalah para pekerja (eksekutif dan non eksekutif). Tanpa mereka, perusahaan sama sekali tak akan dapat melakukan fungsinya dan otomatis tujuan perusahaan tak akan dapat dioperasionalisasikan.

Buruh terus dikepung kebijakan-kebijakan yang semakin melumpuhkan posisi tawar. Meluasnya sistem kerja kontrak, maraknya outsourcing sebagai bentuk nyata fleksibilitas pasar tenaga kerja. Penetapan UMP yang hanya menyentuh 90% level kebutuhan fisik minimum jelas-jelas buruh dilarang untuk sejahtera. Buruh diupah secukupnya agar bisa bertahan hidup dan memulihkan tenaga untuk dihisap lagi esok harinya.

Jelaslah sudah bahwa pekerja merupakan stakeholder yang seharusnya layak untuk menjadi perhatian utama dan pertama ketika perusahaan merencanakan kegiatan CSR. Tapi kenyataan di lapangan, seperti diungkapkan Nining, Ketua PP KASBI bahwa perusahaan tidak pernah memperhatikan buruhnya bahkan lebih mementingkan pihak-pihak di luar. Buruh hanya dianggap obyek produksi yang tidak pantas mendapatkan perhatian. Pendapat senada juga diutarakan Sunar, aktivis buruh Tangerang yang menilai bahwa sebenarnya bagus juga penerapan CSR namun seharusnya sebelum banyak melakukan kegiatan sosial untuk di luar, perusahaan lebih dahulu menaruh perhatian bagi yang di dalam yaitu buruh dan keluarga buruh. Semisal di Tangerang ada beberapa perusahaan yang kerap mengadakan bakti sosial tetapi kondisi buruhnya masih memprihatinkan karena menerima upah di bawah UMP. Tunjangan kesehatan macam Jamsostek tidak ada, dan hampir mayoritas berstatus kontrak. Hal ini khan ironis, di dalam kondisinya mengenaskan tetapi di luar sering cari muka dengan bungkus bantuan sosial, cerita Sunar dengan bernada geram.

Praktik CSR semacam itu tentu memancing tudingan bahwa CSR dijadikan kosmetik saja. Mempercantik tampilan luar. Menutupi bopeng-bopeng di dalam. Praktik CSR oleh perusahaan tidak lebih sebagai kamuflase bisnis untuk meningkatkan keuntungan pemodal karena kepentingan stakeholder di sana bukanlah sasaran akhir, melainkan tujuan antara yang berujung pada peningkatan citra dan profit perusahaan. Konsep ini yang sekarang marak dipakai oleh banyak entitas bisnis sebagai cara ampuh dan mujarab memoles aktifitas tanggung jawab sosialnya agar terlihat lebih “seksi” dan nge-pop. Maka bermunculanlah program-program dengan titik tekan keluar yang berusaha menampilkan watak korporasi yang sadar lingkungan dan peduli masyarakat melalui program-program sosial seperti bantuan bencana alam, mudik bareng, pendampingan UKM, bantuan pendidikan, kesehatan, community development masyarakat sekitar perusahaan dan masih banyak lagi.

Aturan di pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang hanya mengetengahkan elemen lingkungan hidup dalam praktik CSR semakin menipiskan kans buruh sebagai elemen yang wajib dihitung. Dengan berbagai mekanisme yang dilegitimasi oleh regulasi prokapitalis, posisi buruh dihilangkan eksistensinya sebagai pemangku kepentingan utama dalam perusahaan.

Perilaku ini di mata Nining tak lain hanyalah usaha penyelamatan proses akumulasi modal dari sorotan dan gangguan masyarakat. Nining mencontohkan program CSR berupa mempekerjakan warga sekitar pabrik hanyalah sebagai bentuk cari selamat agar tidak di demo oleh warga sekitar. Padahal saat bekerja, mereka di upah minim, sangat bertolak belakang dengan aksi bakti sosial yang digelar.

Andi Syafrani mengamini pandangan Nining tersebut. Menurutnya jika CSR saat ini lebih banyak mengambil objek di luar perusahaan seperti konsumen itu karena kesalahan dalam memahami CSR. CSR tidak dipahami sebagai instrument untuk membagi keuntungan dengan stakeholder tapi justru untuk memancing keuntungan ganda dan berlipat dari konsumen atau target clients. Pakar-pakar menyebutnya sebagai agenda greenwash dan sebagainya. Di Indonesia,mayoritas perusahaan masih memaknai CSR dalam perspektif ini.

Perusahaan hanya ingin memunculkan topeng bahwa perusahaan seakan-akan bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitar, padahal di dalamnya (kondisi buruh) masih minim tegas Sunar.

Makna itu sejalan dengan tiga sifat dasar CSR yang saling berkaitan satu sama lain: voluntaristik, satu arah dan karitatif. Voluntaristik – artinya memang CSR dijalankan oleh korporasi pertama dan terutama karena niatnya sendiri dan itu bukan tanpa pamrih. Pamrih yang paling sederhana, biasanya, adalah CSR menjadi alat untuk PR (Public Relation) untuk membentuk citra-positif bagi masyarakat. Dengan membangun citra positif ini, CSR menjadi perangkat untuk mengamankan laba perusahaan dalam jangka panjang. Strategi ini disebut ‘profit sustainability’.

Sifat CSR terlihat dari fakta bahwa perusahaan menjalankan CSR bukan terutama karena mempertimbangkan kebutuhan parapihak (stakeholder), termasuk masyarakat dan lingkungan, melainkan justru kebutuhan perusahaan. Jelasnya, CSR bukan dan tidak pernah akan menjadi intensi pokok praktik bisnis, melainkan konsekuensi semata untuk membangun citra-positif bisnis. Karena itu isi praktik CSR ditentukan oleh perusahaan, bukan yang lain, yang intensinya adalah memupuk laba, bukan mempraktikkan CSR. Sebagai akibat, sifat ketiga, ‘karitatif’, atau ‘filantropis’, melekat erat. Artinya, lingkup kegiatan CSR berada di sekitar aktivitas donasi dan filantropis seperti aksi-belas-kasihan macam beasiwa, mendirikan rumah ibadah, membangun jembatan, pos ronda, dst. (Yanuar Nugroho, 2005)

Lalu dimana posisi pekerja dan bagaimana peran serikat buruh dalam pergulatan praktik CSR ini? Nining mengakui bahwa isu CSR belum menjadi arus utama dalam aras pemikiran dan dan tindakan gerakan serikat buruh. Perjuangan upah layak, penghapusan sistem kerja kontrak- outsourcing masih menjadi agenda utama perjuangan. Perlawanan terhadap kasus-kasus PHK begitu menguras tenaga, dana dan pikiran. Belum lagi warisan perkara fragmentasi dan faksionalisme masih begitu kental. Gerakan buruh terbenam diantara sekat-sekat yang belum mampu di dobrak.

“Memang serikat buruh seharusnya mengontrol bila dalam perusahaan ada program itu (CSR) supaya bagaimana terjadi demi kesejahteraan buruh dan juga untuk masyarakat sekitar,” tegas Sunar.

Andi Syafrani berpendapat serikat buruh sebaiknya memanfaatkan momentum adanya kewajiban CSR untuk menuntut perusahaan mengalokasikan dana CSRnya untuk kepentingan buruh. Serikat buruh dapat menformulasikan apa saja aktivitas yg dapat meningkatkan skill, kapasitas serta kebutuhan ekonomi buruh lewat CSR. Perusahaan akan mendapatkan citra dan nilai positif dari dari CSR yang dilakukannya dan buruh dapat menikmati CSR karena memang buruhlah stakeholders utama perusahaan.

CSR semestinya bisa dijadikan instrumen tambahan untuk menaikkan harkat dan martabat buruh. Program atau kegiatan karitatif dapat dikreasi untuk menunaikan tujuan ini. Buruh dan keluarganya menjadi obyek awal dan utama dari CSR. Seperti pemberian beasiswa bagi anak-anak buruh. Karena jelas, upah minim merupakan ancaman gelapnya masa depan anak-anak buruh ketika tidak mampu mengakses pendidikan yang makin hari tarifnya makin menjulang.

Untuk mencapai hal itu, secara paradigmatik, pertama-tama, konsepsi stakeholders harus dikembalikan dari outward looking ke inward looking dengan memprioritaskan kepentingan buruh dalam pelaksanaan CSR. Buruh berikut keluarganya harus dipersepsikan sebagai stakeholder utama perusahaan. Indeks pelaksanaan CSR perusahaan karenanya harus memasukkan program dan insentif yang ditujukan kepada pekerjanya sebagai indeks tertinggi keberhasilan CSR. Jika lingkaran dalam perusahaan justru tidak mendapatkan manfaat CSR, dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut tidak melakukan CSR melainkan promosi dan profit gaining berkedok CSR. Setelah buruh dapat menikmati arti dan manfaat CSR, barulah kemudian para stakeholders lainnya diberikan bagian yang proporsional untuk menerima dan dijadikan sebagai objek CSR. (Andi Syafrani, 2008)

Gerakan serikat buruh pun bisa segera mulai menempatkan CSR sebagai salah satu agenda perjuangan. Sebagai agenda baru, tentu kajian-kajian mendalam dan imparsial mengenai CSR harus dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman yang sama antar serikat buruh. Karena salah satu jalan menggapai kesejahteraan buruh terbentang melalui CSR.

(berbagai sumber)


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?