Wednesday, September 27, 2006

Fleksibilitas Pengupahan, Bukan Jawaban!

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi IV
Oleh : J. Lasmidi

Salah satu temuan penting dalam pendataan dampak Labour Market Flexibility yang dilakukan FPBN pada tahun 2004 adalah adanya kecenderungan membuat upah menjadi lebih fleksibel. Fleksibilitas dalam pengupahan ini berpengaruh bukan hanya pada jumlah upah yang semakin kecil, tetapi juga semakin kecilnya peluang-peluang untuk mendapatkan tunjangan-tunjangan pendamping upah.

Sejauh ini ada anggapan bahwa upah yang saat ini cenderung turun disebabkan oleh gerakan yang dibangun beberapa pihak untuk penciptaan kondisi yang kondusif terhadap investasi. Upah yang kompetitif dianggap menjadi daya tarik tersendiri bagi investasi. Ini bisa dimaklumi. Upah secara umum masuk dalam biaya produksi. Dengan upah rendah maka biaya produksi juga bisa ditekan. Produk yang dihasilkan akan menjadi produk dengan harga yang kompetitif karena bisa menjadi lebih murah. Dengan demikian produk akan laku di pasaran, perusahaan akan mendapatkan keuntungan. Jika kondisinya terus membaik investor akan berdatangan dan lapangan kerja akan tersedia sehingga angka pengangguran akan semakin kecil. Begitulah logikanya.

Namun apakah yang terjadi akan seperti itu? Apakah menerapkan fleksibilitas di bidang pengupahan bisa membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi? Ini adalah pertanyaaan besar yang harus diajukan untuk menguji apakah fleksibilitas pengupahan bisa menjadi jawaban akan carut marutnya iklim investasi Indonesia saat ini.

Selain masalah tenaga kerja, ada lima hal lain yang oleh kalangan pengusaha dirasa sangat membebani dunia usaha justru karena hal-hal tersebut membuat biaya produksi menjadi sangat tinggi:

  1. Bahan mentah
  2. Layanan umum
  3. Infrastruktur
  4. Transportasi
  5. Keamanan

Bahan mentah. Salah satu ironi terbesar dunia usaha Indonesia adalah bahwa kelimpahan sumberdaya alam Indonesia tidak cukup mampu memenuhi pasokan bahan mentah untuk industri. Bahkan Indonesia yang sebenarnya masih dalam kelompok masyarakat agraris harus mengimpor beras, gula, susu, kedelai dan daging dari negara lain. Jika kebutuhan dasar ini pun harus tergantung dari import lalu bagaimana dengan bahn baku untuk industri elektronik, otomotif, kimia dan farmasi? Tentu perlu dipertanyakan keseriusan pemerintah dalam peningkatan sektor pertanian dan iptek yang berbasis pada teknologi penyediaan bahan baku. Jika bahan mentah itu bisa dicukupi dari dalam negeri, tentu biaya yang harus dikeluarkan untuk bahan baku akan lebih murah dibandingkan bila harus import.

Layanan Umum (public service). Layanan umum juga dirasakan sebagai bagian yang membuat biaya bertambah dan karenanya memunculkan keengganan pada dunia usaha untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam hal ini perijinan yang berbelit-belit dan uang siluman yang harus dibayarkan pada sejumlah instansi bila ingin usahanya lancar dan mulus adalah contohnya. Menurut Kadinda Ciamis, uang pelicin bisa mencapai 25% dari total proyek. Dari segi prosedur, untuk dapat menanamkan modal, perlu 12 prosedur sementara di negara tetangga, Australia, Cuma perlu 2 prosedur. Banyaknya prosedur ini juga berpengaruh pada besarnya biaya yang harus ditanggung. Kalau di Vietnam hanya memerlukan 136,07 US$, di Indonesia jauh lebih besar yaitu 1.163.31 US$. Ini adalah gambaran buram wajah birokrasi pemerintahan. Akankah ini dibiarkan terus? Bukankah reformasi birokrasi sudah didengung-dengungkan? Buktinya?

Infrastruktur. Tak pelak lagi, ruas jalan tol amblas dan terputus, setiap hujan jalan-jalan tergenang air, pelabuhan yang semrawut dan perlu berhari-hari menunggu agar kapal bisa bersandar, adalah pemandangan harian yang bisa dilihat dengan kasat. Sistem satu jalur telah diterapkan dibeberapa pelabuhan, tetapi faktanya keluhan tetap bermunculan.

Transportasi. Tranportasi sangat berperan dalam dunia usaha. Bila bidang ini mengalami gangguan, tak terbayang lagi berapa kerugian yang harus ditanggung dunia usaha. Namun akhir-akhir ini biaya transportasi yang dikeluarkan oleh perusahaan membengkak lantaran ada kenaikan harga bahan bakar minyak.

Keamanan. Investasi akan aman bila berada dalam lingkungan yang aman pula. Sementara ini, Indonesia masih bergelut dengan isu-isu stabilitas karena terorisme, gerakan sparatisme dan isu SARA yang seakan tak menemukan ujung penyelesaian. Banyak pengusaha harus mengeluarkan sejumlah dana tambahan untuk membayar jasa keamanan baik dengan menyewa polisi atau preman.

Lima hal yang dirasa memberatkan masuknya investasi ini justru dirasa kurang disentuh. Sementara masalah ketenagakerjaan senantiasa menjadi bagian yang terus menerus dipaksakan untuk difleksibelkan. Bisa jadi, bagian inilah yang dirasa lebih aman justru karena paling mudah dan mengingat potensi buruh untuk melakukan gerakan-gerakan penolakan, dari pengalaman, terbukti selalu bisa dipatahkan.

Namun, sekali lagi, perlu dikaji lebih dulu apakah fleksibilisasi bidang ketenagakerjaan khususnya masalah pengupahan akan menjadi semudah yang dipikirkan dan berdampak besar pada pertumbuhan laju investasi?

Upah dari segi hidup buruh, adalah bagian tak terpisahkan dari tujuan buruh bekerja di satu sisi dan kebutuhan yang terus meningkat di sisi lain. Buruh akan mengalami masalah serius saat buruh bekerja dan mendapatkan upah lebih rendah dari keutuhan hidupnya. Saat ini buruh mengalami hal itu. Sekurang-kurangnya fakta seperti itulah yang tergambar jelas dalam Seminar Perburuhan yang dilakukan FPBN bersama beberapa aliansi di wilayah barat pada awal tahun 2006 lalu. Intinya buruh terpaksa melakukan penurunan kualitas hidup agar bisa bertahan hidup. Memilukan memang saat melihat buruh tidak mampu lagi membeli susu untuk bayinya, tinggal di kontrakan yang jauh dari layak, mengurangi kualitas dan porsi makan, serta hidup serba kekurangan karena upah yang diterima sebenarnya hanya cukup untuk memenuhi 40% kebutuhan dengan standar minimum sekalipun.

Penurunan kualitas hidup ini telah memunculkan sentimen kemanusiaan dalam tuduhan yang dilontarkan buruh bahwa telah terjadi konspirasi antara pemerintah dan pemodal untuk menjadikan buruh sebagai budak. Buruh diletakkan dalam situasi terjepit diantara tekanan pengusaha dan pemerintah. Struktur yang semakin meminggirkan kaum lemah adalah bukti kuat konspirasi itu.

Dari waktu ke waktu buruh merasa posisi tawarnya kian turun. Model diplomasi yang masih diyakini oleh buruh sebagai sarana penyelesaian persoalan tidaklah terbukti. Dan, satu-satunya yang dimiliki buruh hanyalah kekuatan massa. Meskipun faktanya, kekuatan itu juga sudah sangat berkurang, namun intensitas perlawanannya justru mengalami peningkatan.

Tidak heran bahwa masyarakat tiba-tiba dikejutkan berita bahwa akhir-akhir ini tentang aksi massa buruh sering terjadi dan terlihat sangat brutal.. Dalam bulan Maret 2006 saja misalnya, ada lebih dari 20 kali aksi massa di depan gedung Pemprov Jawa Timur. Aksi demi aksi yang dilakukan untuk menuntut perbaikan upah itu telah melumpuhkan kota Surabaya sekurangnya 4 jam atau lebih dari separoh waktu efektif kegiatan ekonomi harian tiap aksi massa terjadi. Sehingga wajar jika pelaku ekonomi di Surabaya mengunggkapkan kegusarannya karena maraknya aksi masa yang digelar buruh telah membuat mereka rugi. Lebih-lebih aksi-aksi itu tidak hanya terjadi di Jatim tetapi merata di kota-kota di jawa dan sumatera.

Keadaan yang seperti inikah yang disebut sebagai kondusif terhadap investasi? Jika fleksibilitas pengupahan ini terus dipaksakan, maka bukan mustahil aksi masa buruh juga akan terus menerus terjadi. Dan mengingat kerugian yang diderita pelaku usaha atas aksi-aksi tersebut, masih adakah investor yang mau berbuat bodoh dengan nekat menanamkan modalnya di Indonesia?

Meski penerapan fleksibilitas pengupahan ini telah lama diterapkan, toh tidak menampakkan dampak yang signifikan terhadap investasi. Investasi Amerika misalnya, dari tahun 2003 tidak ada peningkatan signifikan, hanya berkisar antara 2,4 – 2,6 miliar dolar. Memang, arus modal asing yang masuk saat ini mencapai Rp338,9 triliun. Namun dari jumlah itu, hanya Rp165,6 triliun atau 48, 86% yang berupa investasi langsung. Sisanya adalah hot money berupa portofolio yang berjangka pendek dan sangat rentan terhadap gejolak. Investasi yang rentan itukah yang diinginkan pemerintah? Ataukah seperti dikatakan JP Mogan, naiknya investasi ke Indonesia lebih-lebih bukan karena buruh murah tetapi karena mulai berkurangnya biaya dan prosedur investasi?

Maka saat ini hendaknya pemerintah berpikir ulang untuk mengkambinghitamkan tingginya upah sebagai bagian dari penghambat investasi. Selain karena dari dulu upah memang tidak pernah tinggi, pernahkan pemerintah secara serius memperbaiki bagian-bagian inti dari persoalan investasi di Indonesia yaitu problem korupsi, pembenahan infrastruktur, transportasi, dan keamanan nasional.? Negara tetangga kita yaitu Singapura tidak sedikitpun mengutak-atik masalah pengupahan. Justru Singapura merasa yakin bahwa dengan meningkatkan upah, kinerja buruh akan semakin baik dan di situ letak daya tariknya. Apakah dengan demikian Singapura ditinggalkan investor? Tidak, bahkan saat ini Singapura menjadi seperti mesin investasi.

Sudah saatnya pemerintah jeli melihat persoalan dan tidak tergesa-gesa mempercayai isu yang digulirkan kalangan usaha yang menuntut fleksibilisasi di semua sektor jika Indonesia ingin terbebas dari masalah pengangguran, investasi dan kemiskinan pada umumnya. Pemerintah harus bisa bersikap tegas terhadap kecenderungan pasar yang semakin mengerdilkan peran negara dalam melindungi warganya. Sikap yang demikian itu sangat diperlukan karena pasar selalu mempunyai cara dan kekuatan untuk terus mengembangkan dirinya bahkan dengan mengkerdilkan peran negara yang seharusnya memiliki kekuatan untuk mengatur pasar. Jika pemerintah kerdil, buruhpun akan terus dikerdilkan dan dunia yang pantas didiami untuk masyarakat yang seperti itu adalah dunia kurcaci.

Apindo, paper, Ketenagakerjaan Indonesia (problem dan Solusinya); Panduan KHL dalam penerapan UMP/UMK 2006

Bali Post [13/05/03]Pengusaha Harus Berani Hapus ''Uang Siluman''; [01/06/05] Sistem Pengupahan Baru di Singapura

Bisnis Indonesia Jum'at, 24 Maret 2006 Ketidakpastian Hukum Hambat Investasi Asing Masuk ke Indonesia [22/10/05] Pemerintah Usulkan Sistem Pengupahan Baru

Depnakertrans, [12/06/04] berita Upah Minimum

FPBN, Antisipasi Rencana Revisi UU 13/2003, Positiom Paper 2006

Herianto, Bambang; Aksi Massa dan Penyebabnya, paper,2005

Hilmar Farid, Razif, Sentot Setyosiswanto: Jalan Neoliberal Bagi Indonesia Tim (Media Kerja Budaya)

Informasi Hukum Vol. 5 Tahun VI, 2004 Reformasi Sistem Pengupahan Nasional

Jawa Pos, [11/08/04] UMK Kota di Bawah KHL [15/11/05] UMK Malang 2006 Ngambang; Harapkan UMK Naik 13 Persen

Kompas [19/09/05] Hidup Layak dan Upah Minimum Positif bagi Dunia Usaha dan Pekerja [04/10/05] Ribuan Buruh Demo Tuntut Kenaikan Upah [12/10/05] Sulit Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen pada Tahun 2006; [27/10/05] Buruh Demo untuk Tuntut Kenaikan Upah [29/10/05] Dalam Cengkeraman Pasar [15/11/05] Upah Buruh Habis untuk Biaya Transportasi Kerja Keras dan Berhemat Belum Mengatasi Masalah [16/11/05] Pekerja Harapkan Upah Minimum Naik; Pengusaha Siasati Upah Buruh, Menteri Diminta Turun ke Lapangan; Sudah Kerja Rangkap, Upah Tetap Tak Cukup; [29/12/05] Ubah sistem pengupahan nasional; [04/03/06] Banyak yang Merugi akibat Biaya Tinggi [8/3/06] Aliansi Buruh Menggugat Revisi UU Ketenagakerjaan [28/02/06] Para Buruh Ajukan Tuntutan Baru; Upah Buruh Maspion agar Diselesaikan Kekeluargaan [16/03/06] Buruh Rokok Unjuk Rasa, Mereka Tidak Diantar dan Dijemput Lagi

Kominfo-Newsroom [3/02/2006] Pelaku Usaha Minta UU NO. 13/2003 Segera Disempurnakan

Koran Tempo [19/11/01] IMF dan Pemulihan Ekonomi Indonesia

Nakertrans, Pentingnya Upah Minimum, Paper 2003

Suara Pembaruan [12/06/05] Buruh Cimahi Kembali Datangi Gedung Sate Tuntut Kenaikan Upah 130 Persen; [08/11/05] UMP Bengkulu Tahun 2006 Naik 20 Persen [14/11/05] Pemerintah Harus Beri Kepastian pada Dunia Usaha [15/11/05] Buruh Tangerang dan Bogor Tuntut Upah di Atas Rp 1 Juta [07/12/05] Tuntut Upah Naik; [12/12/05] Tolak Upah Murah; [11/10/05] 53 Persen Tenaga Kerja Indonesia Dibayar di Bawah Standar Gaji; TKI, Victoria Park, dan Gaji di Bawah Standar [23/11/05] Demo Buruh [27/02/06] Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Masih Terkendala [09/03/06] UMR: Mengapa Harus Ditentukan Pemerintah?

Tempo Interaktif, [22/10/05] Pemerintah Usulkan Sistem Pengupahan Baru [15/11/05] Serikat Buruh Tolak Upah Rp 819.100; Kenaikan Gaji Tak Bisa Mengejar Kenaikan Kebutuhan

Waspada [23/01/06] Mencermati Dilema Upah Minimum; Pekerja Dan Upah Rendah


Thursday, September 21, 2006

Melawan Upah Murah

Peran Serikat Buruh Dalam

Menyikapi Upah Dari Tahun ke Tahun

(Perjuangan Buruh melawan Upah Murah)

Oleh

Andy Irfan J.

Sekjend. Komite Pusat SPBI

‘Dulu pada tahun 1963, ketika saya masih menjadi anggota SOBSI upah saya dalam sehari 9 rupiah sehari, dan waktu itu 1 rupiah dapat 2 kilogram beras. Dan sekarang (tahun 2005) upah saya dalam sehari 21.000 rupiah, dan harga beras Rp 3.000 sekilonya’

Ibu Ti’ah Buruh Pabrik Rokok Oepet Malang

(Telah bekerja selama 45 tahun, sekarang berusia 65 tahun, berhenti kerja pada pertengahan 2005)

Pendahuluan
Upah merupakan bentuk dari hasil pertukaran yang terjadi ketika buruh menawarkan tenaga kerjanya dan pengusaha membeli atau menyewanya dengan sejumlah uang. Melalui mekanisme pasar terjadilah hubungan jual-beli antara buruh (selaku penjual) dan pengusaha (selaku pembeli). Bila calon buruh melimpah, harga tenaga kerja akan menjadi murah. Bila sedikit, tingkat upahnya menjadi lebih tinggi. Upah selalu berkaitan dengan nilai upah riil dan nominal. Nilai upah yang diterima buruh disebut nilai nominal (nominal wage). Sedangkan nilai Upah riil (real wage) adalah upah yang telah diperhitungkan dengan daya beli dari upah yang diterima atau upah nominal. Harga barang dan jasa akan mempengaruhi daya beli dari upah buruh ini. Bisa saja upah nominal buruh tahun ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun sebelumnya, tetapi karena biaya hidup naik maka daya beli dari upah buruh bisa lebih rendah dari tahun sebelumnya. Meskipun ada kenaikan upah, tingkat kenaikan upah riil tidak seberapa dibandingkan dengan upah riil tahun sebelumnya. Secara umum, buruh di Indonesia telah terjebak dalam pola hidup subsisten dan berujung pada kemiskinan akut sebagai konsekuensi dari rendahnya upah yang diterima. Hal ini terlihat dari nilai tukar upah buruh yang terus-menerus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Nilai tukar yang menurun ditunjukkan dengan perbandingan upah dan harga barang yang semakin mengecil. Sejak Orde baru hingga hari ini, pemerintah secara konsisten menerapkan orientasi kebijakan upah murah sebagai keunggulan komparatif industrinya. Sepanjang Orde Baru upah riil buruh di Indonesia merupakan yang terendah di Asia, lebih rendah dari Thailand dan Filipina. Bahkan pada saat krisis ekonomi 1998 upah riil buruh menurun hingga sekitar 300 %. Kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) dan Upah Minimum Propinsi (UMP) sepanjang reformasi hingga sekarang sangat tidak berarti apabila dibandingkan kenaikan indeks harga konsumen dan laju inflasi. Kondisi buruh semakin mendekati kearah kemiskinan absolut.Sedangkan senjata buruh untuk menaikkan posisi tawar dan memperjuangkan hak-haknya, yaitu serikat buruh belum juga mampu menunjukkan kekuatannya. Setelah terbebas dari belenggu repressif orde baru, sekarang jatuh dalam cengkeraman neoliberal dengan Labour Market flexibility. Ibaratnya lepas dari harimau jatuh ke mulut buaya.

Represifitas Orde Baru dan Politik Upah Murah

Tumbangnya orde lama mengubah secara drastis sistem ekonomi indonesia dari etatisme menuju pada ekonomi pasar bebas. UUPMA diberlakukan tahun 1967 untuk mengundang modal asing . Sebagian perusahaan Belanda dan asing lain yang dinasionalisasi, kemudian dikembalikn kepada pemilik lama seperti Unilever, BAT, Bir Bintang, Anker Bir dll. Undang-Undang PMDN dipakai untuk merangsang dan memutihkan capital flight di zaman orde lama, yaitu devisa yang disimpan di luar negeri oleh pengusaha indonesia, agar ditanam kembali di Indonesia dengan fasilitas PMDN. Karena pada kenyataannya kontrol ketat yang dilakukan selama orde lama tidak bisa menghentikan sepenuhnya arus devisa keluar negeri. Pengusaha melakukan over invoicing untuk impor dan under invoicing untuk eksport, sehingga selisih dananya bisa disimpan sebagai devisa mereka diluar negeri yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah orde lama.

Dengan pemberlakuan sitem ekonomi pasar bebas pada tahun-tahun pertama orde baru, arus modal asing berjalan sangat kuat dan stabilitas di kalangan elit penyokong orde baru cukup stabil. Peninjauan kembali secara kritis atas kebijakan ini dilakukan ketika beberapa tokoh pendiri orde baru mulai merasa gerah dengan pasar bebas, dan memposisikan diri sebagai oposan dari rezim suharto yang pada tingkat selanjutnya menjadi penggerak dalam meletusnya peristiwa malariri. Rezim Suharto mengambil langkah dua hal sebagai peredam sentimen dan gejolak sosial politik tersebut, yaitu mengharuskan adanya joint venture untuk modal asing serta privilege kredit investasi untuk golongan pribumi. Kebijakan ini kebetulan bisa dilakukan karena indonesia ketiban rejeki besar dengan naiknya harga minyak dalam skala internasional sampai empat kali lipat pada saat meletusnya perang timur tengah pada bulan oktober 1973. Sejak saat ini orde baru pada skala tertentu menerapkan sistem ekonomi etatisme yaitu penguatan sektor Negara dan BUMN serta pembatasan sektor swasta.

Etatisme a la orde baru ini berlangsung selama satu dasawarsa, dan pada fase ini para elit pengusaha indonesia baik dari etnis Cina ataupun pribumi dengan lihai melakukan pendekatan kepada elite Orde Baru untuk memperkuat posisi aset bisnin mereka. Fase etatisme orde baru adalah saat menguatnya posisi para pengusaha besar yang sering disebut sebagai ersatz kapitalis, dimana dengan mengandalkan lisensi politik mereka memperoleh rente ekonomi yang lukratif. Pemerintah sendiri melakukan ekspansi besar-besaran dengan mendirikan banyak BUMN.

Ketika era rejeki minyak telah berakhir, yaitu ketika harga minyak bumi dalam skala internasional anjlok pada tahun 1983 dimana Orde Baru memasuki periode pelita IV (1983-1988) mengadakan beberapa kebijakan yang sering distilahkan oleh Suharto sebagai langkah mengencangan ikat pinggang. Kebijakan tersebut adalah menerapkan program deregulasi ekonomi secara keseluruhan. Pemerintah merubah strategi industri substitusi import (ISI) ke orientasi eksport (IOE). Konsekuensi dari kebijakan ini adalah terciptanya stabilitas politik dan ekonomi, penekanan biaya produksi komoditi manufaktur dan terciptanya pasar tenaga kerja yang memiliki keunggulan komparatif. Katiga hal tersebut adalah strategi untuk menarik investasi modal (baik asing maupun luar negeri).

Dalam konteks inilah upaya restrukturasi organisasi Serikat Buruh yang dilakukan orde baru sejak 1973 menemukan momentumnya yang terutama. Yaitu terciptanya buruh yang patuh secara politik dan pasar tenaga kerja yang murah demi investasi.

Sejak tanggal 20 februari 1973 atas prakarsa penguasa Orde Baru diselenggarakan deklarasi Persatuan Buruh seluruh Indonesia, dan melalui deklarasi ini didirikan satu-satunya organisasi buruh di Indonesia, yaitu Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI). FBSI merupakan peleburan dari serikat – serikat buruh yang sudah ada sejak orde lama.

Dibawah FSBI dibentuk dibawahnya 20 Serikat Buruh Lapangan Pekerja (SBLP). Pada perkembangan selanjutnya PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) yang semula menjadi bagian FBSI melalui konggresnya menetapkan PGRI sebagai organisasi profesi yang berdiri sendiri dan melepaskan diri dari FBSI. Kemudian, Kongres Serikat Buruh Transport yang pertama tahun 1976 memutuskan untuk memecahkan diri menjadi tiga (3) SBLP, yaitu: Serikat Buruh Angkutan Jalan Raya (SB AJR), Serikat Buruh Angkutan Sungai, Danau, dan Fery (SB ASDF), dan Serikat Buruh Transpor Udara (SB TU). Sehingga sampai tahun 1976, SBLP yang menjadi bagian dari FBSI adalah 21 SBLP.

FBSI disyahkan oleh rezim Orde Baru melalui SK. Menteri Tenaga Kerja, Transportasi dan Koperasi tertanggal 11 maret 1974 No. 286/A/DD/II/DPHK/74. Dan untuk membatasi kemungkinan terbentuknya serikat atau organisasi buruh di luar FBSI, rezim Orde Baru mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi No. 01 tahun 1975 tentang Pendaftaran Organisasi Buruh, yang sekaligus mencabut Peraturan Menteri Perburuhan No. 90 tahun 1955 tentang Pendaftaran Serikat Buruh. Kalau dalam Permen 90/55 disebutkan bahwa syarat buruh untuk mendirikan serikat buruh adalah dengan hanya : ’10 buruh yang menyatakan membentuk serikat buruh, sudah memenuhi syarat untuk didaftarkan ke Kementrian Perburuhan’, maka dalam Permenakertranskop 01/75 yang dikeluarkan pemerintah orde baru, serikat buruh yang memenuhi syarat untuk memenuhi syarat untuk mendaftarkan ke depnakertrasnkop adalah organisasi buruh yang berbentuk gabungan serikat buruh yang mempunyai pengurus daerah sekurang-kurangnya pada 20 Daerah Tingkat I dan mempunyai anggota sekurang-kurangnya 15 SBLP. Sehingga dengan demikian, sejak tahun 1973 serikat buruh yang sah secara administratif hanyalah FBSI dengan 21 SBLP-nya. Bahkan dalam rangka menguatkan posisi FBSI sebagai satu-satunya serikat buruh yang ada di Indonesia sekaligus mencegah tindakan buruh keluar dari kontrol FBSI, FBSI mengistruksikan apabila buruh ingin mendirikan serikat buruh tingkat perusahaan harus berkonsultasi dahulu dengan pengusaha, dan perangkat FBSI diatasnya.

Lebih lanjut rezim Orde Baru juga melakukan intervensi dalam jalannya roda organisasi FBSI, intervensi tersebut dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung. Tindakan Intervensi tersebut paling terasa dilakukan oleh rezim Orde Baru melalui Kopkamtib, satu institusi yang dibentuk orde baru sebagai penjaga paling terdepan dalam mewujudkan stabilitas keamanan dan politik orde baru.

Secara langsung Rezim Orde Baru melakukan intervensi terhadap keuangan dan pendanaan serikat buruh, yaitu melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja Per-1/Men/1977 tentang Pemungutan Iuran bagi Serikat Buruh melalui pengusaha (check off system) dan dengan kewajiban bagi serikat buruh di tingkat basis pabrik untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan kepada Menakertranskop.

Dalam hal pemogokan, yang pada masa Orde Lama dengan UU No. 22/57 hak mogok diakui sebagai salah satu cara untuk menekan pihak majikan supaya berunding atau memenuhi tuntutan dari buruh, maka pada masa Orde Baru pemogokan adalah tergolong tindakan anarkhi.

Selanjutnya dibuatlah gagasan tentang industrial peace, yaitu terciptanya hubungan harmonis antara pekerja dan pengusaha. Dimana dalam industrial peace, konflik kepentinngan antara buruh dan majikan diselesaikan oleh serikat buruh dalam meja perundingan. Prinsip-prinsip ini kemudian menjadi acuan dalam konsep Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP). Hubungan Perburuhan Pancasila kemudian diubah menjadi Hubungan Industrial Pancasila (HIP) yang diatur dalam Keputusan Mennaker No. Kep: 645/MEN/1985 tentang Pedoman Hubungan Industrial Pancasila. Salah satu azas dalam HIP menyatakan bahwa, hubungan buruh dengan pengusaha bersifat kemitraan, dimana buruh dan majikan merupakan mitra dalam produksi, dalam keuntungan dan dalam tanggung jawab. Hal tersebut diartikan bahwa, buruh berkewajiban meningkatkan produksi terus menerus demi kemajuan perusahaan dan pengusaha berkewajiban membagi keuntungan demi peningkatan kesejahteraan buruh dan keluarganya. Tanggung jawab bersama antara buruh dan pengusaha ini diartikan sebagai tanggung jawab mereka kepada masyarakat , kepentingan negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Artinya, dengan azas kemitraan dalam HIP ini maka hubungan pengusaha dan pekerja yang kontradiktif telah tidak ada lagi. Karena itu satu-satunya cara penyelesaian konflik antara pengusaha dan pekerja harus diselesaikan melalui meja perundingan dan musyawarah mufakat. Karena itu hak mogok bagi buruh dalam HIP jelas tidak mendapatkan tempat, walupun secara legal UU yang mengijinkan mogok sebagaimana disebut siatas masih belum dicabut. Menyangkut hal ini Kaskomkaptib mewakili penguasa orde baru menyampaikan dalam konggres Nasional SBTS/FBSI pada tahun 1981 menegaskan bahwa pemogokan tidak sesuai dengan alam negara Pancasila, karena pengusaha dan buruh sebenarny merupakan keluarga besar, dan setiap perselisihan harus diselesaikan secara musyawarah mufakat. Bahkan lebih lanjut Kaskopkamtib menyampaikan bahwa ada dua permasalahan pokok daam perburuhan yaitu : pertama, masih adanya pemogokan oleh buruh untuk mencapai tujuan , dan kedua masalah susunan P4-D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah) dan P4- P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) yang dianggap masi bercirikn orde lama. Mempertegas sikap tersebut rezim Orde Baru membentuk insitusi baru dalam menanggulangi pemogokan dan perselisihan perburuhan dengan membentuk Team Penanggulangan Krisis Ketenagakerjaan, yang anggotanya terdiri dari Kopkamtip, Mennakertranskop, Dir.Jend. Bina Lindung Depnakertranskop dan FBSI dimana team tersebut diperluas fungsi dan kedudukannya dengan melibatkan aparat pemerintah di tingkat daerah. Sehingga aparat keamanan (polisi atau militer) memiliki peran secara legal untuk memasuki area perusahaan dalam mencegah dan membubarkan pemogokan atau intervensi secara langsung dalam perselisihan perburuhan di dalam perusahaan.

Akhirnya pada tahun 1985, FBSI dalam kongresnya yang ke II melalui intervensi Pangkopkamtib merubah diri menjadi SPSI, berubah dari bentuk federasi menjadi unitaris. Hal ini adalah upaya pemerintah untuk kooptasi yang semakin dalam.

Dalam kondisi semacam inilah Negara Orde Baru mengontrol langsung dinamika buruh, termasuk penentuan upah, baik pada skala luas (nasional, propinsi dan kota) hingga pada skala yang kecil (di tingkat pabrik).

Melalui seperangkat aturan pengupahan, Orde Baru mengendalikan penentuan upah yang mengarah pada prisip liberalisasi upah: no work no pay (tidak bekerja maka tidak dibayar), sentralisasi lembaga pengupahan, dan intervensi negara terhadap penentuan dan pelaksanaan upah.

Melalui Kepres No. 58 tahun 1969, pemerintah membentuk Dewan Penelitian Pengupahan Nasional yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada menteri Tenaga Kerja. Dewan ini bertanggung jawab memberikan pertimbangan-pertimbangan kepada pemerintah tentang kebijaksanaan yang perlu diambil mengenai prinsip-prinsip pengupahan. Dewan ini diketuai oleh Menaker dan beranggotakan 13 orang dari pemerintah (dari berbagai departemen), 1 orang dari akademisi, 3 orang dari buruh, 3 orang dari pengusaha, 1 orang dari Ketua P4 (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan). Lembaga serupa juga dibentuk di timgkat daerah-daerah (Dewan Penelitian Pengupahan Daerah) . Peran pemerintah yang begitu dominan memberi peluang sepenuhnya kepada pemerintah dalam menentukan orientasi pengupahan. Penegasan orientasi orde baru dalam pengupahan tampak pada PP No. 8 Tahun 1981, yaitu prinsip liberalisasi upah yang artinya: upah dibayar ketika buruh bekerja, dan menghilangkan prinsip upah untuk memenuhi kebutuhan hidup buruh secara manusiawi.

Pemberlakuan KFM (Kebutuhan Fisik Minimum) sebagai pedoman penentuan upah yang telah berlaku sejak kabinet Juanda (tahun 1965), dimana dalam pedoman ini buruh (tenaganya) dipandang sebagai alat produksi. Artinya perhitungan upah harus memadai untuk mengganti tenaga yang dikeluarkan. Parahnya KFM tersebut hanya berdasarkan kebutuhan hidup buruh laki-laki lajang. Akibatnya, upah buruh tidak pernah mencukupi untuk kebutuhan hidup manusiawi.

Upah buruh Indonesia walaupun setiap tahun naik, tetapi terus menerus mengalami penurunan secara riil. Perubahan KFM menjadi KHM (Kebutuhan Hidup Minimum) pada tahun 1995 melalui Kepmenaker No. 81 Tahun 1995 dengan menambahkan beberapa item kebutuhan buruh juga tidak banyak merubah keadaan.

Sepanjang Orde Baru upah buruh tetap rendah dengan ketiadaan kekuatan bagi buruh untuk menolaknya.

Tetapi walaupun demikian, perlawanan yang dilakukan oleh buruh atas upah yang rendah telah menjadi entry point lahirnya cikal bakal gerakan buruh. Kontrol negara yang begitu kuat atas organisasi buruh, tidak dapat membendung gejolak perburuhan. Gejolak telah terjadi tanpa dapat dikontrol sejak awal 90-an hingga saat terjadinya krisis ekonomi 97. Dimana hal ini telah dimulai sejak awal dekade 1980-an.

Antara tahun 1978-1982 jumlah pemogokan buruh terus meningkat. Umumnya pemogokan terjadi di daerah pusat industri (free trade zone) seperti Jabotabek, Jawa Barat dan Jawa Timur. Sebagian besar tuntutan yang dilontarkan berkisar soal upah serta jaminan sosial (tunjangan tranport, jabatan, hak cuti, uang makan dll). Sebagian lagi menuntut tentang kebebasan mendirikan organisasi buruh, serta protes tindakan majikan yang sewenang-wenang.

Mayoritas tuntutan buruh yang diperjuangkan melalui pemogokan berkisar soal upah. Dari data resmi Depnaker yang diolah menunjukkan, antara tahun 1985-1991 (420 kasus pemogokan ) rata – rata lebih 54 % aksi mogok disebabkan soal upah dan hanya 10 % berupa tuntutan THR.

Upah nominal yang rendah (secara absolut yang terendah setelah Bangladesh di Asia), jam kerja yang panjang, kondisi kerja yang buruk, merupakan karakteristik umum dari buruh manufaktur di Indonesia, terutama di berbagai sektor kompetitip untuk ekspor. UMR tetap dinaikkan secara berkala tetapi UMR tersebut masih berada jauh dibawah standar upah yang kebutuhan hidup yang wajar.

Pada awal 1990-an, pergerakan buruh semakin menemukan bentuknya. Organisasi buruh yang telah diberangus sejak awal Orde Baru, mulai menggeliat. Lahirnya beberapa organisasi buruh independent semacam SBM-SK (Serikat Buruh Merdeka Setia Kawan) pada tahun 1990 dan SBSI pada tahun 1992, adalah simbol lahirnya gerakan buruh. Dimana nantinya pada pasca reformasi jumlah organisasi buruh meningkat pesat.

Hingga tahun 1997, isu upah murah, buruknya jaminan sosial dan kebebasan berorganisasi adalah tuntutan yang banyak diangkat dalam aksi-aksi buruh.

Adanya krisis 1997 yang berlanjut dengan bergulirnya reformasi membawa angin perubahan bagi gerakan buruh. Tetapi, sesungguhnya sebuah kekuatan yang tak kalah kuat dengan Orde Baru sedang datang mengancam. Kekuatan itu adalah neoliberalisme dalam bentuk yang paling nyata. Walaupun sebenarnya hal ini telah dimulai oleh Orde Baru sejak dekade 80-an.

Flexibilitas Pasar Tenaga Kerja dan Reformasi Sistem Pengupahan

Kelanjutan dari krisis ekonomi 1997 bagi buruh adalah diadopsinya strategi Labour Market Flexibility (LMF) oleh pemerintah yang merupakan respons pengusaha terhadap tekanan pasar yang semakin bebas dan kuatnya persaingan. Menurut para pembela konsep ini (termasuk Bappenas), strategi ini akan menguntungkan buruh karena memberi kesempatan kerja lebih luas dengan menciptakan sistem kerja paruh-waktu (part time jobs), memudahkan negosiasi antara buruh dan perusahaan yang lebih fleksibel menghadapi tuntutan pasar, meningkatkan harkat buruh dengan membiarkan mereka bernegosiasi langsung dengan perusahaan tanpa perantaraan pihak ketiga seperti serikat buruh dan pemerintah, serta memungkinkan adanya kepuasan kerja dengan menyesuaikan jenis dan beban pekerjaan dengan kemampuan buruh.

Namun, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Kondisi kerja dan kehidupan buruh justru semakin merosot. Strategi LMF itu jelas menguntungkan perusahaan semata-mata dan berbagai 'keuntungan' bagi buruh yang disebutkan di atas, tidak pernah terjadi. Bagi buruh, LMF mengandung pengertian hilangnya perlindungan dan keamanan kerja (job security). Dengan diundangkannya UU 13 Tahun 2003 tentang Pokok Ketangakerjaan dan UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, secara terang pemerintah menghilangkan fungsinya dalam perlindungan atas buruh. Diundangkannya UU No.21 tahun 2000 tentang kebebasan beroganisasi bagi buruh, dalam konteks ini menjadi tidak banyak berarti. Pelegalisasian atas sistem kerja kontrak dan out sourcing, kemudahan dalam melakukan PHK, serta pemerdataan kasus perselisihan perburuhan, adalah persoalan mendasar yang harus dihadapi buruh.

Sementara hubungan kerja menjadi semakin fleksibel, dalam soal penentuan upah telah terjadi beberapa perubahan. Pada prinsipnya strategi LMF menghendaki besaran upah disesuaikan dengan jangkauan atau target tertentu dari dunia usaha. Artinya upah harus disesuaikan oleh maju mundurnya dunia usaha bukan oleh kebutuhan buruh untuk hidup secara manusiawi. Walaupun dalam UUK 13/2003 hal ini tidak disebutkan, tetapi secara tersirat UU ini memberi arahan kesana. UU 13/2003 mendorong pengusaha dan buruh untuk menentukan upah secara bipartite (musyawarah mufakat) dan tidak bergantung pada kebijakan upah yang ditentukan oleh UMK/UMP (Upah Minimum Kota / Upah Minimum Propinsi) . Sebuah dorongan yang ironi, mengingat posisi buruh pada umumnya yang tidak memilki posisi tawar seimbang dengan perusahaan.

Dalam penentuan upah minimum (UMK/UMP) terdapat beberapa situasi baru yang sedikit menyegarkan bagi gerakan buruh. Hal ini karena adanya sedikit perubahan dalam sistem penentuan upah. Apabila sebelumnya penentuan upah dilakukan secara sentralistik dengan peran dominan dari pemerintah, sejak lahirnya kebijakan Otonomi Daerah (UU No.22 Tahun 1999), perumusan upah yang semula dilakukan oleh Dewan Penelitian Pengupahan Nasional (DPPN) dan Dewan Penelitian Pengupahan Daerah (DPPD) diambil alih oleh pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota. Institusi pengupahan provinsi dan institusi pengupahan kabupaten/kota merupakan bentuk pelimpahan kewenangan dalam perumusan dan penetapan upah. Selain diberlakukannya Otonomi Daerah, diberlakukannya UU No.21 Tahun 2000 tentang Organisasi Buruh juga memberikan lebih banyak ruang partisipasi kepada Serikat Buruh di tingkat kabupaten/kota untuk terlibat dalam proses perumusan upah.

Pada konteks ini, perjuangan buruh dalam perumusan hingga penentuan upah pada institusi pengupahan mengandung beberapa aspek yang saling terkait. Yaitu, pertama, partisipasi serikat buruh dalam institusi pengupahan, kedua, pembelajaran bagi serikat buruh dalam perjuangan politik.

Dengan keterlibatan serikat buruh dalam institusi pengupahan, peran para wakil serikat buruh menjadi variabel penting dalam penentuan nilai upah. Bahkan ada upaya untuk mendorong perubahan ke arah perluasan peran Dewan Pengupahan Daerah, yaitu kepada peran pengawasan dan penentuan upah. Walaupun hal ini hanya terjadi di beberapa daerah, tetapi hal ini menunjukkan bahwa partisipasi serikat buruh dalam penentuan upah memiliki posisi yang cukup signifikan. Implikasi dari ini adalah munculnya kesadaran di tingkat perwakilan serikat buruh untuk meningkatkan kemampuan dalam soal-soal teknis penentuan upah, dimana hal ini untuk mengimbangi kemampuan serupa yang telah dimiliki oleh pemerintah dan pengusaha. Adanya perbedaan karakter antara serikat buruh ‘progresif’ dan serikat buruh ‘kuning’ dalam institusi pengupahan berimplikasi terhadap munculnya ketegangan antar serikat buruh dalam memperjuangkan kepentingan buruh. Tetapi disini pembelajaran politik telah dimulai, sebuah situasi yang belum pernah dialami oleh serikat buruh pada masa Orde Baru. Proses terbentuknya aliansi atau ketegangan antar serikat buruh dalam menentukan sikap di dewan pengupahan merupakan pembelajaran politik bagi serikat buruh yang sangat berarti. Dalam hal ini, serikat buruh dituntut untuk berjalan sendiri dalam menentukan dan memilih peran dan posisi politik yang harus dimainkan ketika bersinggungan dengan Negara dan pemodal. Sebuah situasi yang tidak mungkin terjadi pada masa Orde Baru. Dalam sebuah penelitian menunjukkan bahwa serikat buruh cukup mampu mengimbangi kapasitas pengusaha dan pemerintah, mempengaruhi jalannya rapat, mengarahkan alur rapat dalam proses perumusan UMK. Bahkan serikat buruh mampu mengarahkan alur rapat hingga menciptakan deadlock dan memasukkan usulan UMK melalui lobby ke komisi E DPRD.

Walaupun kebebasan berorganisasi yang diatur dalam UU 21/2000 berdampak pada terjadinya polarisasi dan fragmentasi pada isu serta ideologi gerakan buruh, tetapi pertemuan dan perseteruan anatar serikat buruh dalam penentuan upah, mendorong munculnya kesadaran di masing-masing organisasi buruh bahwa persatuan (soliditas) dan solidaritas antar organisasi buruh adalah hal yang paling utama untuk menguatkan posisi tawar serikat buruh dihadapan negara dan modal. Dan hal ini adalah situasi yang dibutuhkan untuk memacu kesadaran politik bagi setiap organisasi buruh.

Penulis menyadari, masih terlalu awal untuk menyimpulkan bahwa persoalan upah dan peran serikat buruh dalam institusi pengupahan merupakan realitas yang akan menciptakan energi baru bagi gerakan buruh. Tetapi, catatan penting dari sini adalah, isu upah dan peran serikat buruh dalam institusi pengupahan memiliki kaitan erat pada aspek sosial-ekonomi-politis yaitu posisi organisasi buruh dihadapan Negara dan modal, dan dampaknya yang langsung dirasakan oleh buruh.

Dalam konteks ini, arti penting isu upah dan peran serikat buruh dalam institusi pengupahan harus segera dipertimbangkan dalam grand strategy perjuangan buruh dalam menangkal strategi Labour Market Flexibility.

Penutup

Sesungguhnya isu upah adalah perjuangan ekonomis, sebuah fase awal untuk dilanjutkan pada fase berikutnya yaitu perjuangan politik. Sejak reformasi digulirkan, posisi serikat buruh independent yang konsisten dalam perjuangan buruh masih merupakan serikat buruh minoritas. Dan sebagian besar buruh masih terkooptasi dalam serikat buruh ‘kuning’ tinggalan Orde Baru, serta sebagian yang lain bahkan masih belum berorganisasi. Dalam konteks ini, Labour Markert Flexibility akan menjadi alat penindas baru yang tidak kalah kejam dibanding otoritarian Orde Baru. Karena itu, perjuangan buruh melawan upah murah harus diletakkan sebagai bagian dari serangkaian upaya yang terus menerus dalam membangun kemandirian dan independensi organisasi buruh, memperluas serta memperkuat aliansi dan front-front perjuangan secara luas sehingga akan mendorong laju kesadaran berorganisasi dan berjuang bagi kaum buruh Indonesia secara luas. Dan pada akhirnya menyembuhkan penyakit pragmatisme, fragmentasi, dan floating mass diantara masa buruh dan pergerakan buruh yang merupakan tinggalan Orde Baru.

.


Daftar Pustaka

Anarita, Popon dan Resmi Setia M.S.. Dewan Pengupahan: Strategiskah Sebagai Media Perjuangan Buruh? Seri Working Paper No.12. Bandung: Yayasan AKATIGA. 2003;

Hadiz, Vedi R. “Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Pasca-Soeharto”, Jakarta LP3ES, 2005;

Hadiz, Vedi R. “Workers and the State in New Order Indonesia , London & New York : Routledge, 1997;

Hadiz, Vedi R. “Globalization, labour and the State : The case of Indonesia” , Asia Pasifik Busines Review, Edisi khusus tentang Globalisasi dan Buruhdi Asia.

Prisma, No. 1 Tahun XXI, 1992

Prisma , No.3 Tahun XXI, 1992

Sudono, A. FBSI: Dahulu, Sekarang dan Yang Akan Datang. Jakarta: FBSI. 1981;

Serikat Pekerja Seluruh Indonesia. Hasil Munas Serikat Pekerja Seluruh Indonesia 1990. Jakarta: Departemen Tenagakerja. 1992.

Simanjuntak, Payaman J. "Perkembangan Hubungan Industrial di Indonesia", Manajeman Bina Darma, No. 45, Juni 1994

Sriwijaya Post : Kamis,  12 Desember 2002

Radjab, Suryadi A.. Ekonomi Politik Kaum Buruh, Labour Education Center, Bandung, 2001

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) “RUU Ketanagakerjaan : Pantas Meresahkan Buruh” Jakarta.1997

 


Tuesday, September 12, 2006

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TENTANG KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Oleh : Ignatius L. Madya Utama, S.J.[1]

Kerap dikatakan bahwa di hadapan Allah baik perempuan maupun laki-laki adalah setara, namun di dalam institusi-institusi manusiawi kesetaraan tersebut hanyalah sebuah wacana. Benarkah demikian? Untuk mencari jawab atas pertanyaan tersebut –atau lebih tepat, untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan tersebut– mungkin ada manfaatnya untuk melihat apakah yang diajarkan oleh Gereja Katolik mengenai hal ini.

Pada bagian pertama dari tulisan ini, Anda kami ajak untuk melihat apakah yang dimaksudkan dengan kesetaraan dalam pandangan Gereja Katolik. Pada bagian kedua, akan kami sajikan “tindakan-tindakan” yang dapat merusak kesetaraan tersebut dan bagaimana –menurut Gereja Katolik– hal itu harus diatasi. Beberapa bahan bacaan pilihan akan kami sajikan pada akhir tulisan ini bagi Anda semua yang masih ingin memperdalam persoalan ini.

I. KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Untuk mengerti apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang keseta-raan antara perempuan dan laki-laki, paling sedikit ada tiga dokumen penting yang perlu kita lihat: Alkitab, dokumen Konsili Vatikan II dan beberapa dokumen yang ditulis oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II.

1. Pemahaman Alkitabiah

Kitab Suci pertama yang berbicara tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah kitab Kejadian, dalam kisah penciptaan. Dalam Kitab Kejadian bab 1 (yang ditulis sekitar abad ke-5 seb. Mas.) diungkapkan bahwa manusia –laki-laki dan perempuan– diciptakan oleh Allah sebagai “gambar dan rupa-Nya” sendiri (Kej 1:27). Karena perempuan dan laki-laki diciptakan dalam “keserupaan” dengan Allah, maka mereka memiliki martabat yang sama dalam segala aspeknya. Versi lain dari kisah penciptaan manusia terdapat dalam bab 2 dari kitab yang sama (yang ditulis sekitar 3 abad lebih awal dari pada bab 1). Dikisahkan bahwa laki-laki diciptakan oleh Allah lebih dahulu dan diambil dari tanah (‘adamah); sedangkan perempuan diciptakan setelah laki-laki dan diambil dari tulang rusuk laki-laki, agar perempuan menjadi “penolong” yang sepadan dengan laki-laki. Menyadari bahwa perempuan yang dibawa oleh Allah ke hadapannya, ternyata setara dengan dirinya, maka laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya untuk dapat bersatu dengan perempuan.

Mengikuti pendapat Stefania Cantore, dari kedua kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa selain menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempu-an dengan martabat yang sama, Allah juga membuat mereka mampu untuk berelasi dalam kesetaraan, kesalingan dan ketimbal-balikan, serta dalam suasana yang harmonis (bdk. Kej 2:8-25) (Cantore, 1992: 35). Sedangkan Susan Niditch mengatakan bahwa dengan menciptakan manusia sebagai perempuan dan laki-laki sebagai cermin bagi dirinya sendiri, Allah tidak membuat pembedaan martabat maupun derajat di antara keduanya. Dengan kata lain, kendati perempuan diciptakan sesudah laki-laki, tidak ada maksud untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk ciptaan kelas dua atau lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki (Niditch, 1995: 16).

Impian Allah seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian tersebut dalam perjalanan waktu –khususnya karena pola hidup patriarkal baik dalam keluarga, agama maupun masyarakat– mengalami kehancuran. Adalah Yesus –sebagai wujud kehadiran Allah yang membebaskan (di tengah) umat-Nya– mencoba memulihkan dan mewujudkan impian tersebut dalam hidup dan karya-Nya. Di kala tradisi Yudaisme hanya memperbolehkan orang laki-laki dewasa menjadi murid seorang Rabbi untuk mempelajari Kitab Taurat, Yesus juga memberi hak yang sama kepada para perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya (bdk. Injil Lukas 10:38-42). Dan ketika masyarakat menganggap bahwa kaum perempuan tidak dapat berpikir jernih, dan karenanya suara mereka tidak perlu didengar-kan, Yesus justru belajar dari seorang perempuan “kafir” sehingga Ia mamahami bahwa tugas pengutusan-Nya untuk mewartakan karya keselamatan Allah diperuntukkan bagi semua orang (bdk. Injil Matius 15:21-28; Injil Markus 7:24-30). Dan di dalam masyarakat di mana kaum perempuan tidak diperbolehkan memberikan kesaksian di muka pengadilan (karena, katanya, mereka itu tidak dapat dipercaya!), setelah kebangkitan-Nya, Yesus justru mempercayakan kepada para perempuan untuk mewartakan dan memberikan kesaksian akan peristiwa agung dan sangat penting dalam sejarah keselamatan kepada para murid lainnya: kebangkitan-Nya dari kematian (bdk. Mt 28:7-10; Mk 16:7-8; Lk 23:9-10; Yoh 20:17-18).

Apa yang dicita-citakan oleh Allah dan diwujudkan oleh Yesus menjadi keyakinan dasar para pengikut Yesus. Hal ini nampak dalam kidung upacara pembaptisan yang mengungkapkan identitas mereka sebagai para pengikut Kristus. Dalam surat Santo Paulus kepada jemaat di Galatia tertulis:

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki dan perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus (Galatia 3:26-28).

Apa yang terungkap dalam kutipan di atas merupakan pola hidup dan pola berelasi alternatif, yang sangat kontras dengan praktik-praktik dalam masyarakat Yahudi, Romawi, maupun Yunani yang begitu patriarkal. Di dalam jemaat-jemaat Kristiani semua praktik patriarkal –entah itu pembedaan berdasarkan previlese religius, status sosial maupun gender– tidak dapat diterima lagi. Ungkapan “tidak ada lagi laki-laki dan perempuan” (Galatia 3:28) juga mengacu pada Kitab Kejadian 1:27 yang mengatakan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Hal ini penting, sebab pada zaman Paulus –selain sudah ada praktik-praktik ketidakadilan berdasarkan previlese religius, status sosial dan gender– juga ada seorang teolog besar, Philo dari Alexandria, yang mulai menafsirkan ungkapan dalam Kitab Kejadian 1:27 itu dalam kerangka pemikiran helenistik. Menurut Philo, kisah penciptaan itu merupakan metafor tentang adanya dua unsur di dalam diri manusia: rasionali-tas (yang digambarkan dengan figur laki-laki) dan rasa-perasaan (yang dilam-bangkan dengan figur perempuan). Tafsir ini segera menimbulkan perpecahan di kalangan jemaat Kristiani. Dengan latar belakang seperti ini, bagian dari pernyataan baptisan “tidak ada laki-laki dan perempuan” merupakan ungkapan iman bahwa segala macam konflik, keterpecahan dan pembedaan dapat disem-buhkan dan diatasi dalam Yesus Kristus.

2. Ajaran Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II, dalam dokumennya Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini –atau lebih dikenal dengan Gaudium et Spes (=GS)– mengatakan bahwa semua orang diciptakan dalam citra Allah. Mereka memiliki kodrat dan asal-usul yang sama. Mereka memiliki kesetaraan dasariah. Kesetaraan tersebut harus semakin diakui. Oleh karenanya, “segala bentuk diskriminasi yang me-nyangkut hak-hak asasi manusia, entah yang bersifat sosial atau budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan rencana Allah” (GS, 29).

Lebih lanjut Konsili Vatikan II mengatakan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar antara laki-laki dan perempuan, namun martabat mereka yang sama sebagai pribadi menuntut agar kita berusaha untuk mewujudkan kondisi hidup yang lebih fair dan lebih manusiawi (GS, 29). Akibatnya, Konsili Vatikan II memandang “kesenjangan ekonomi dan sosial yang berlebihan antara individu dan bangsa-bangsa merupakan sumber skandal dan bertentangan dengan keadilan sosial, keadilan, martabat manusia, serta perdamaian sosial dan internasional” (GS, 29).

Selanjutnya Konsili Vatikan II menegaskan bahwa bila kaum perempuan masih belum diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya, menentukan jalan hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan seperti yang mereka inginkan (GS, 29), wajarlah kalau “Kaum perempuan menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki berdasarkan hukum dan keadilan (equity) maupun dalam kenyataan, bila kesetaraan itu belum mereka peroleh” (GS, 9).

3. Ajaran Almarhum Paus Yohanes Paulus II

Almarhum Paus Yohanes Paulus II (selanjutnya disingkat JP II) sungguh meyakini bahwa perempuan memiliki martabat yang sederajat dengan laki-laki. Kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan ini dilandaskan pada kenyataan bahwa mereka diciptakan oleh Allah sendiri menurut citra dan keserupaan dengan diri-Nya (bdk. Kej 1:26-27). Apa yang ditandaskan oleh JP II ini sangat penting, sebab selama berabad-abad Gereja mengikuti pandangan Thomas Aquinas (1225-1274) dalam melihat perempuan. Dengan mengadopsi pandangan Aristoteles (384/3-322 seb. Mas.), Aquinas meyakini bahwa perem-puan adalah seorang “misbegotten male” yang keberadaannya hanya dibutuh-kan demi membantu laki-laki untuk melahirkan anak-anak.

Berdasarkan kesetaraan martabat sebagai citra Allah ini, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup berkeluarga, menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sekaligus JP II mengingatkan bahwa “kesetaraan martabat” tidak identik dengan “kesamaan dengan” laki-laki. Kesetaraan martabat ini akan mencapai kepenuhannya ketika perempuan dan laki-laki mampu untuk hidup dalam komunio dengan satu sama lain, dengan saling menerima dan saling memberikan diri, dengan saling membantu dan bekerjasama untuk mewujudkan kesejah-teraan bersama bagi seluruh ciptaan Allah. JP II mengatakan bahwa dengan diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan menurut citra dan keserupaan dengan Allah mereka dipanggil untuk hidup bagi satu sama lain secara timbal balik. Lebih lajut JP II mengatakan bahwa dalam diri perempuan, laki-laki memperoleh mitra, dengannya ia dapat berdialog dalam kesetaraan yang lengkap.

JP II juga menandaskan bahwa kesetaraan ini harus benar-benar diusaha-kan menjadi sebuah pengalaman nyata dalam segala bidang kehidupan; antara lain, mendapatkan gaji sama untuk pekerjaan yang sama, perlindungan bagi para ibu yang bekerja, fairness dalam hal kenaikan jenjang karier, kesetaraan suami-istri menyangkut hak-hak dalam hidup keluarga, serta pengakuan terhadap segala sesuatu yang menyangkut hak dan kuajiban warga negara dalam negara yang demokratis, mempunyai akses untuk memiliki harta serta mengelola aset-aset yang dimilikinya, dan dapat ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan proses-proses untuk mengarahkan kehidupan masyarakat.

II. PENGRUSAKAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN

Almarhum Yohanes Paulus II juga mengakui bahwa dalam kenyataannya martabat kaum perempuan kerap tidak diakui dan bahkan diinjak-injak. Sebagai akibat dari pengkondisian sosial dan kultural, banyak perempuan tidak dapat menya-dari sepenuhnya martabat mereka. Tidak jarang kaum perempuan justru dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan kedalam perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, direndahkan, dan sumbangan intelektual mereka tidak dipedulikan atau tidak dihargai. Martabat perempuan juga dilanggar oleh mentalitas yang memandang mereka bukan sebagai pribadi melainkan sebagai barang, sebagai objek perdagangan. Demikian pula berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap parempuan –khususnya diskriminasi terhadap para istri yang tidak mempunyai anak, para janda, para perempuan yang diceraikan oleh suami mereka, serta para ibu yang tidak dinikahi– sungguh merendahkan martabat perempuan. Mereka juga masih mengalami banyak diskriminasi di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan maupun pekerjaan. Martabat perempuan juga direndahkan ketika perempuan (dewasa maupun anak-anak) dipaksa untuk bekerja hanya dengan upah kecil atau bahkan tanpa upah sama sekali, tanpa hak-hak perburuhan, tanpa jaminan keamanan. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan hanya dihargai karena penampilan fisik mereka dan bukan karena skill, profesionalisme, kemampuan intelektual maupun kepekaan hati mereka yang sangat dalam. Demikian pula martabat mereka direndahkan lewat eksploitasi seksual, dan ketika mereka –karena kengawuran dan tidak adanya tanggungjawab seksual– dipaksa untuk mengakhiri hidup janin yang tidak mereka kehendaki. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan (khususnya yang masih muda) dipaksa atau “ditarik” oleh organisasi-organisasi yang tidak bertanggungjawab kedalam emigrasi klasdestin, sehingga tidak sedikit dari mereka yang terdampar dalam situasi yang sungguh merendahkan martabat: pelacuran.

Berhadapan dengan seluruh situasi seperti ini, almarhum mengatakan bahwa tidaklah mudah untuk menunjuk siapa yang paling bertanggungjawab dalam hal ini, sebab sudah berabad-abad berbagai macam pengkondisian sosio-kultural telah membentuk cara berpikir dan bertindak secara demikian. Namun, kalau dalam konteks historis tertentu ternyata tidak sedikit anggota Gereja yang terlibat dalam tindakan ini, dengan tulus hati JP II mohon maaf.

Mengalami kondisi dan perlakuan seperti itu, menurut JP II, kaum perempuan memiliki hak untuk mendesak agar martabat mereka dihormati. Dan dalam waktu yang bersamaan mereka juga mempunyai kuajiban untuk memper-juangkan agar martabat semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, ditegakkan. Sekaligus JP II mengingatkan kaum perempuan agar dalam mengusahakan pembebasan diri dari semuanya itu, jangan sampai mereka membiarkan diri mengalami “maskulinisasi terhadap perempuan”; sebaliknya mereka perlu menegakkan “feminisme baru” dengan menolak model dominasi yang selama ini dilakukan oleh kaum laki-laki dan tidak menjadikannya sebagai cara bertindak mereka.

Selanjutnya JP II meminta agar pemerintah dan organisasi-organisasi lainnya bekerja lebih efektif untuk memberikan jaminan legal bagi terwujudnya martabat dan hak-hak perempuan. Demikian pula negara-negara perlu mengatasi berbagai macam situasi yang merintangi dilakukannya pengakuan, penghormatan serta penghargaan terhadap martabat serta kompetensi kaum perempuan. Beliau juga mengimbau agar semua negara serta institusi-institusi internasional mengusahakan semua cara agar kaum perempuan memperoleh kembali perhargaan yang penuh atas martabat dan peran mereka. Imbauan juga ditujukan kepada komunitas-komunitas gerejawi agar para migran beserta dengan keluarga mereka mendapatkan tempat sebagai rumah mereka.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa JP II sungguh meyakini bahwa martabat [dan panggilan] perempuan –maupun laki-laki– berakar pada hati Allah sendiri, dan dalam kondisi keberadaan manusia martabat tersebut erat terkait dengan “kesatuan dari dua pribadi.” Sebagai konsekuensinya, setiap laki-laki mesti bertanya diri apakah setiap perempuan telah diperlakukan sebagai co-subject dari keberadaannya di dunia ini dan tidak dijadikan objek bagi kenikmat-an dan eksploitasi. Demikian pula dominasi tidak dibenarkan karena merupa-kan ancaman yang dapat menghancurkan baik kesetaraan martabat antara perempuan dan laki-laki maupun martabat mereka masing-masing. Khususnya dalam hidup perkawinan, JP II mengatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi ‘objek’ dari ‘dominasi’ dan ‘milik’ laki-laki.

BUKAN KATA AKHIR

Mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang tidak mudah; juga –dan mungkin lebih-lebih– dalam Gereja. “Tempat” yang paling tepat untuk memulainya adalah diri kita sendiri serta lingkungan di mana kita hidup. Di “tempat-tempat” itulah kita perlu membuang semua bentuk ketidak-setaraan dan mulai membangun kesetaraan. Dan karena kesetaraan antara perempuan dan laki-laki memiliki banyak segi, maka perwujudannyapun menuntut kerjasama dari berbagai macam pihak dan bidang; oleh karenanya kerjasama dalam jejaring merupakan suatu keharusan.

DAFTAR BACAAN PILIHAN

Børresen, Kari Elisabeth. 1995. Subdordination and Equivalence. The Nature and Role of Woman in Augustine and Thomas Aquinas. Kampen: Kok Pharos Publishing House.

Cantore, Stefania. 1992. “Women in Christianity. A Biblical Approach.” Dalam NN. Women In Society According to Islam dan Christianity. Acts of a Muslim-Christian Colloquium Organized jointly by The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (Vatican City) and The Royal Academy for Islamic Civilization Research Al Albait Foundation (Amman). Rome, Italy: 24-26 June 1992, pp. 33-47.

John Paul II. 1994. Amanat Apostolis Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II tentang Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang.

_________. 1988. “Apostolic Letter on the Dignity and Vocation of Women, Mulieris Dignitatem.” Origins 18 (October 6, 1988): 261, 163-283.

_________. 1988. Post-synodal Apostolic Exhortation on the Vocation and the Mission of the Lay Faithful in the Church and in the World, Christifideles Laici. Washington, D.C.: USCC.

Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Pedoman Gereja Katolik Indonesia. Sidang Agung KWI–Umat Katolik 1995. Cetakan Ketiga. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.

_________. 2004. Surat Gembala Konferensi Waligereja Indonesia 2004 tentang “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah.” Jakarta: Sekretariat Jenderal Konferensi Waligreja Indonesia.

Konsili Vatikan II. 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan: R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor.

Madya Utama, Ignatius L. 2003. “Memahami Salib dan Keselamatan dari Perspektif Orang Tertindas.” Hidup 57 (20 April 2003): 20-21.

_________. 2005. “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Kristiani.” Diskursus 4 (April 2005): 59-80.

Marucci, Carl J., ed. 1997. Serving the Human Family. The Holy See at the Major United Nations Conferences. New York City: The Path to Peace Foundation.

Miller, J. Michael, ed. 1996. The Encyclicals of John Paul II. Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Publishing Division Our Sunday Visitor, Inc.

Newsom, Carol A. and Sharon H. Ringe, eds. 1998. Women’s Bible Commentary. Expanded Edition with Apocrypha. Louisville: Westminster John Knox Press.

Radford Ruether, Rosemary. 1993. Sexism and God-Talk. Toward a Feminist Theology. With a New Introduction. Boston: Beacon Press.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth. 1993. Discipleship of Equals. A Critical Feminist Ekklesia-logy of Liberation. New York: Crossroad.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth and Mary Shawn Copeland, eds. 1994. Violence Against Women. Concilium 1994/1. London/Maruknoll, N.J.: SCM Press/Orbis Books.

Niditch, Susan. “Genesis.” Dalam Renita J. Weems. 1995. Battered Love. Marriage, Sex, and Violence in the Hebrew Prophets. Minneapolis: Fortress Press.


[1] Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyaraka, Jakarta.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?