Wednesday, September 27, 2006
Fleksibilitas Pengupahan, Bukan Jawaban!
Salah satu temuan penting dalam pendataan dampak Labour Market Flexibility yang dilakukan FPBN pada tahun 2004 adalah adanya kecenderungan membuat upah menjadi lebih fleksibel. Fleksibilitas dalam pengupahan ini berpengaruh bukan hanya pada jumlah upah yang semakin kecil, tetapi juga semakin kecilnya peluang-peluang untuk mendapatkan tunjangan-tunjangan pendamping upah.
Sejauh ini ada anggapan bahwa upah yang saat ini cenderung turun disebabkan oleh gerakan yang dibangun beberapa pihak untuk penciptaan kondisi yang kondusif terhadap investasi. Upah yang kompetitif dianggap menjadi daya tarik tersendiri bagi investasi. Ini bisa dimaklumi. Upah secara umum masuk dalam biaya produksi. Dengan upah rendah maka biaya produksi juga bisa ditekan. Produk yang dihasilkan akan menjadi produk dengan harga yang kompetitif karena bisa menjadi lebih murah. Dengan demikian produk akan laku di pasaran, perusahaan akan mendapatkan keuntungan. Jika kondisinya terus membaik investor akan berdatangan dan lapangan kerja akan tersedia sehingga angka pengangguran akan semakin kecil. Begitulah logikanya.
Namun apakah yang terjadi akan seperti itu? Apakah menerapkan fleksibilitas di bidang pengupahan bisa membantu menciptakan iklim yang kondusif bagi investasi? Ini adalah pertanyaaan besar yang harus diajukan untuk menguji apakah fleksibilitas pengupahan bisa menjadi jawaban akan carut marutnya iklim investasi Indonesia saat ini.
Selain masalah tenaga kerja, ada lima hal lain yang oleh kalangan pengusaha dirasa sangat membebani dunia usaha justru karena hal-hal tersebut membuat biaya produksi menjadi sangat tinggi:
- Bahan mentah
- Layanan umum
- Infrastruktur
- Transportasi
- Keamanan
Bahan mentah. Salah satu ironi terbesar dunia usaha Indonesia adalah bahwa kelimpahan sumberdaya alam Indonesia tidak cukup mampu memenuhi pasokan bahan mentah untuk industri. Bahkan Indonesia yang sebenarnya masih dalam kelompok masyarakat agraris harus mengimpor beras, gula, susu, kedelai dan daging dari negara lain. Jika kebutuhan dasar ini pun harus tergantung dari import lalu bagaimana dengan bahn baku untuk industri elektronik, otomotif, kimia dan farmasi? Tentu perlu dipertanyakan keseriusan pemerintah dalam peningkatan sektor pertanian dan iptek yang berbasis pada teknologi penyediaan bahan baku. Jika bahan mentah itu bisa dicukupi dari dalam negeri, tentu biaya yang harus dikeluarkan untuk bahan baku akan lebih murah dibandingkan bila harus import.
Layanan Umum (public service). Layanan umum juga dirasakan sebagai bagian yang membuat biaya bertambah dan karenanya memunculkan keengganan pada dunia usaha untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Dalam hal ini perijinan yang berbelit-belit dan uang siluman yang harus dibayarkan pada sejumlah instansi bila ingin usahanya lancar dan mulus adalah contohnya. Menurut Kadinda Ciamis, uang pelicin bisa mencapai 25% dari total proyek. Dari segi prosedur, untuk dapat menanamkan modal, perlu 12 prosedur sementara di negara tetangga, Australia, Cuma perlu 2 prosedur. Banyaknya prosedur ini juga berpengaruh pada besarnya biaya yang harus ditanggung. Kalau di Vietnam hanya memerlukan 136,07 US$, di Indonesia jauh lebih besar yaitu 1.163.31 US$. Ini adalah gambaran buram wajah birokrasi pemerintahan. Akankah ini dibiarkan terus? Bukankah reformasi birokrasi sudah didengung-dengungkan? Buktinya?
Infrastruktur. Tak pelak lagi, ruas jalan tol amblas dan terputus, setiap hujan jalan-jalan tergenang air, pelabuhan yang semrawut dan perlu berhari-hari menunggu agar kapal bisa bersandar, adalah pemandangan harian yang bisa dilihat dengan kasat. Sistem satu jalur telah diterapkan dibeberapa pelabuhan, tetapi faktanya keluhan tetap bermunculan.
Transportasi. Tranportasi sangat berperan dalam dunia usaha. Bila bidang ini mengalami gangguan, tak terbayang lagi berapa kerugian yang harus ditanggung dunia usaha. Namun akhir-akhir ini biaya transportasi yang dikeluarkan oleh perusahaan membengkak lantaran ada kenaikan harga bahan bakar minyak.
Keamanan. Investasi akan aman bila berada dalam lingkungan yang aman pula. Sementara ini, Indonesia masih bergelut dengan isu-isu stabilitas karena terorisme, gerakan sparatisme dan isu SARA yang seakan tak menemukan ujung penyelesaian. Banyak pengusaha harus mengeluarkan sejumlah dana tambahan untuk membayar jasa keamanan baik dengan menyewa polisi atau preman.
Lima hal yang dirasa memberatkan masuknya investasi ini justru dirasa kurang disentuh. Sementara masalah ketenagakerjaan senantiasa menjadi bagian yang terus menerus dipaksakan untuk difleksibelkan. Bisa jadi, bagian inilah yang dirasa lebih aman justru karena paling mudah dan mengingat potensi buruh untuk melakukan gerakan-gerakan penolakan, dari pengalaman, terbukti selalu bisa dipatahkan.
Namun, sekali lagi, perlu dikaji lebih dulu apakah fleksibilisasi bidang ketenagakerjaan khususnya masalah pengupahan akan menjadi semudah yang dipikirkan dan berdampak besar pada pertumbuhan laju investasi?
Upah dari segi hidup buruh, adalah bagian tak terpisahkan dari tujuan buruh bekerja di satu sisi dan kebutuhan yang terus meningkat di sisi lain. Buruh akan mengalami masalah serius saat buruh bekerja dan mendapatkan upah lebih rendah dari keutuhan hidupnya. Saat ini buruh mengalami hal itu. Sekurang-kurangnya fakta seperti itulah yang tergambar jelas dalam Seminar Perburuhan yang dilakukan FPBN bersama beberapa aliansi di wilayah barat pada awal tahun 2006 lalu. Intinya buruh terpaksa melakukan penurunan kualitas hidup agar bisa bertahan hidup. Memilukan memang saat melihat buruh tidak mampu lagi membeli susu untuk bayinya, tinggal di kontrakan yang jauh dari layak, mengurangi kualitas dan porsi makan, serta hidup serba kekurangan karena upah yang diterima sebenarnya hanya cukup untuk memenuhi 40% kebutuhan dengan standar minimum sekalipun.
Penurunan kualitas hidup ini telah memunculkan sentimen kemanusiaan dalam tuduhan yang dilontarkan buruh bahwa telah terjadi konspirasi antara pemerintah dan pemodal untuk menjadikan buruh sebagai budak. Buruh diletakkan dalam situasi terjepit diantara tekanan pengusaha dan pemerintah. Struktur yang semakin meminggirkan kaum lemah adalah bukti kuat konspirasi itu.
Dari waktu ke waktu buruh merasa posisi tawarnya kian turun. Model diplomasi yang masih diyakini oleh buruh sebagai sarana penyelesaian persoalan tidaklah terbukti. Dan, satu-satunya yang dimiliki buruh hanyalah kekuatan massa. Meskipun faktanya, kekuatan itu juga sudah sangat berkurang, namun intensitas perlawanannya justru mengalami peningkatan.
Tidak heran bahwa masyarakat tiba-tiba dikejutkan berita bahwa akhir-akhir ini tentang aksi massa buruh sering terjadi dan terlihat sangat brutal.. Dalam bulan Maret 2006 saja misalnya, ada lebih dari 20 kali aksi massa di depan gedung Pemprov Jawa Timur. Aksi demi aksi yang dilakukan untuk menuntut perbaikan upah itu telah melumpuhkan kota Surabaya sekurangnya 4 jam atau lebih dari separoh waktu efektif kegiatan ekonomi harian tiap aksi massa terjadi. Sehingga wajar jika pelaku ekonomi di Surabaya mengunggkapkan kegusarannya karena maraknya aksi masa yang digelar buruh telah membuat mereka rugi. Lebih-lebih aksi-aksi itu tidak hanya terjadi di Jatim tetapi merata di kota-kota di jawa dan sumatera.
Keadaan yang seperti inikah yang disebut sebagai kondusif terhadap investasi? Jika fleksibilitas pengupahan ini terus dipaksakan, maka bukan mustahil aksi masa buruh juga akan terus menerus terjadi. Dan mengingat kerugian yang diderita pelaku usaha atas aksi-aksi tersebut, masih adakah investor yang mau berbuat bodoh dengan nekat menanamkan modalnya di Indonesia?
Meski penerapan fleksibilitas pengupahan ini telah lama diterapkan, toh tidak menampakkan dampak yang signifikan terhadap investasi. Investasi Amerika misalnya, dari tahun 2003 tidak ada peningkatan signifikan, hanya berkisar antara 2,4 – 2,6 miliar dolar. Memang, arus modal asing yang masuk saat ini mencapai Rp338,9 triliun. Namun dari jumlah itu, hanya Rp165,6 triliun atau 48, 86% yang berupa investasi langsung. Sisanya adalah hot money berupa portofolio yang berjangka pendek dan sangat rentan terhadap gejolak. Investasi yang rentan itukah yang diinginkan pemerintah? Ataukah seperti dikatakan JP Mogan, naiknya investasi ke Indonesia lebih-lebih bukan karena buruh murah tetapi karena mulai berkurangnya biaya dan prosedur investasi?
Maka saat ini hendaknya pemerintah berpikir ulang untuk mengkambinghitamkan tingginya upah sebagai bagian dari penghambat investasi. Selain karena dari dulu upah memang tidak pernah tinggi, pernahkan pemerintah secara serius memperbaiki bagian-bagian inti dari persoalan investasi di Indonesia yaitu problem korupsi, pembenahan infrastruktur, transportasi, dan keamanan nasional.? Negara tetangga kita yaitu Singapura tidak sedikitpun mengutak-atik masalah pengupahan. Justru Singapura merasa yakin bahwa dengan meningkatkan upah, kinerja buruh akan semakin baik dan di situ letak daya tariknya. Apakah dengan demikian Singapura ditinggalkan investor? Tidak, bahkan saat ini Singapura menjadi seperti mesin investasi.
Sudah saatnya pemerintah jeli melihat persoalan dan tidak tergesa-gesa mempercayai isu yang digulirkan kalangan usaha yang menuntut fleksibilisasi di semua sektor jika Indonesia ingin terbebas dari masalah pengangguran, investasi dan kemiskinan pada umumnya. Pemerintah harus bisa bersikap tegas terhadap kecenderungan pasar yang semakin mengerdilkan peran negara dalam melindungi warganya. Sikap yang demikian itu sangat diperlukan karena pasar selalu mempunyai cara dan kekuatan untuk terus mengembangkan dirinya bahkan dengan mengkerdilkan peran negara yang seharusnya memiliki kekuatan untuk mengatur pasar. Jika pemerintah kerdil, buruhpun akan terus dikerdilkan dan dunia yang pantas didiami untuk masyarakat yang seperti itu adalah dunia kurcaci.
Apindo, paper, Ketenagakerjaan Indonesia (problem dan Solusinya); Panduan KHL dalam penerapan UMP/UMK 2006
Bali Post [13/05/03]Pengusaha Harus Berani Hapus ''Uang Siluman''; [01/06/05] Sistem Pengupahan Baru di Singapura
Bisnis Indonesia Jum'at, 24 Maret 2006 Ketidakpastian Hukum Hambat Investasi Asing Masuk ke Indonesia [22/10/05] Pemerintah Usulkan Sistem Pengupahan Baru
Depnakertrans, [12/06/04] berita Upah Minimum
FPBN, Antisipasi Rencana Revisi UU 13/2003, Positiom Paper 2006
Herianto, Bambang; Aksi Massa dan Penyebabnya, paper,2005
Hilmar Farid, Razif, Sentot Setyosiswanto: Jalan Neoliberal Bagi Indonesia Tim (Media Kerja Budaya)
Informasi Hukum Vol. 5 Tahun VI, 2004 Reformasi Sistem Pengupahan Nasional
Jawa Pos, [11/08/04] UMK Kota di Bawah KHL [15/11/05] UMK Malang 2006 Ngambang; Harapkan UMK Naik 13 Persen
Kompas [19/09/05] Hidup Layak dan Upah Minimum Positif bagi Dunia Usaha dan Pekerja [04/10/05] Ribuan Buruh Demo Tuntut Kenaikan Upah [12/10/05] Sulit Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 6 Persen pada Tahun 2006; [27/10/05] Buruh Demo untuk Tuntut Kenaikan Upah [29/10/05] Dalam Cengkeraman Pasar [15/11/05] Upah Buruh Habis untuk Biaya Transportasi Kerja Keras dan Berhemat Belum Mengatasi Masalah [16/11/05] Pekerja Harapkan Upah Minimum Naik; Pengusaha Siasati Upah Buruh, Menteri Diminta Turun ke Lapangan; Sudah Kerja Rangkap, Upah Tetap Tak Cukup; [29/12/05] Ubah sistem pengupahan nasional; [04/03/06] Banyak yang Merugi akibat Biaya Tinggi [8/3/06] Aliansi Buruh Menggugat Revisi UU Ketenagakerjaan [28/02/06] Para Buruh Ajukan Tuntutan Baru; Upah Buruh Maspion agar Diselesaikan Kekeluargaan [16/03/06] Buruh Rokok Unjuk Rasa, Mereka Tidak Diantar dan Dijemput Lagi
Kominfo-Newsroom [3/02/2006] Pelaku Usaha Minta UU NO. 13/2003 Segera Disempurnakan
Koran Tempo [19/11/01] IMF dan Pemulihan Ekonomi Indonesia
Nakertrans, Pentingnya Upah Minimum, Paper 2003
Suara Pembaruan [12/06/05] Buruh Cimahi Kembali Datangi Gedung Sate Tuntut Kenaikan Upah 130 Persen; [08/11/05] UMP Bengkulu Tahun 2006 Naik 20 Persen [14/11/05] Pemerintah Harus Beri Kepastian pada Dunia Usaha [15/11/05] Buruh Tangerang dan Bogor Tuntut Upah di Atas Rp 1 Juta [07/12/05] Tuntut Upah Naik; [12/12/05] Tolak Upah Murah; [11/10/05] 53 Persen Tenaga Kerja Indonesia Dibayar di Bawah Standar Gaji; TKI, Victoria Park, dan Gaji di Bawah Standar [23/11/05] Demo Buruh [27/02/06] Penerapan Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Masih Terkendala [09/03/06] UMR: Mengapa Harus Ditentukan Pemerintah?
Tempo Interaktif, [22/10/05] Pemerintah Usulkan Sistem Pengupahan Baru [15/11/05] Serikat Buruh Tolak Upah Rp 819.100; Kenaikan Gaji Tak Bisa Mengejar Kenaikan Kebutuhan
Waspada [23/01/06] Mencermati Dilema Upah Minimum; Pekerja Dan Upah Rendah