Tuesday, September 12, 2006

PANDANGAN GEREJA KATOLIK TENTANG KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Oleh : Ignatius L. Madya Utama, S.J.[1]

Kerap dikatakan bahwa di hadapan Allah baik perempuan maupun laki-laki adalah setara, namun di dalam institusi-institusi manusiawi kesetaraan tersebut hanyalah sebuah wacana. Benarkah demikian? Untuk mencari jawab atas pertanyaan tersebut –atau lebih tepat, untuk mewujudkan cita-cita kesetaraan tersebut– mungkin ada manfaatnya untuk melihat apakah yang diajarkan oleh Gereja Katolik mengenai hal ini.

Pada bagian pertama dari tulisan ini, Anda kami ajak untuk melihat apakah yang dimaksudkan dengan kesetaraan dalam pandangan Gereja Katolik. Pada bagian kedua, akan kami sajikan “tindakan-tindakan” yang dapat merusak kesetaraan tersebut dan bagaimana –menurut Gereja Katolik– hal itu harus diatasi. Beberapa bahan bacaan pilihan akan kami sajikan pada akhir tulisan ini bagi Anda semua yang masih ingin memperdalam persoalan ini.

I. KESETARAAN ANTARA PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI

Untuk mengerti apa yang diajarkan oleh Gereja Katolik tentang keseta-raan antara perempuan dan laki-laki, paling sedikit ada tiga dokumen penting yang perlu kita lihat: Alkitab, dokumen Konsili Vatikan II dan beberapa dokumen yang ditulis oleh almarhum Paus Yohanes Paulus II.

1. Pemahaman Alkitabiah

Kitab Suci pertama yang berbicara tentang kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah kitab Kejadian, dalam kisah penciptaan. Dalam Kitab Kejadian bab 1 (yang ditulis sekitar abad ke-5 seb. Mas.) diungkapkan bahwa manusia –laki-laki dan perempuan– diciptakan oleh Allah sebagai “gambar dan rupa-Nya” sendiri (Kej 1:27). Karena perempuan dan laki-laki diciptakan dalam “keserupaan” dengan Allah, maka mereka memiliki martabat yang sama dalam segala aspeknya. Versi lain dari kisah penciptaan manusia terdapat dalam bab 2 dari kitab yang sama (yang ditulis sekitar 3 abad lebih awal dari pada bab 1). Dikisahkan bahwa laki-laki diciptakan oleh Allah lebih dahulu dan diambil dari tanah (‘adamah); sedangkan perempuan diciptakan setelah laki-laki dan diambil dari tulang rusuk laki-laki, agar perempuan menjadi “penolong” yang sepadan dengan laki-laki. Menyadari bahwa perempuan yang dibawa oleh Allah ke hadapannya, ternyata setara dengan dirinya, maka laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya untuk dapat bersatu dengan perempuan.

Mengikuti pendapat Stefania Cantore, dari kedua kisah tersebut dapat disimpulkan bahwa selain menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempu-an dengan martabat yang sama, Allah juga membuat mereka mampu untuk berelasi dalam kesetaraan, kesalingan dan ketimbal-balikan, serta dalam suasana yang harmonis (bdk. Kej 2:8-25) (Cantore, 1992: 35). Sedangkan Susan Niditch mengatakan bahwa dengan menciptakan manusia sebagai perempuan dan laki-laki sebagai cermin bagi dirinya sendiri, Allah tidak membuat pembedaan martabat maupun derajat di antara keduanya. Dengan kata lain, kendati perempuan diciptakan sesudah laki-laki, tidak ada maksud untuk menempatkan perempuan sebagai makhluk ciptaan kelas dua atau lebih rendah derajatnya dari pada laki-laki (Niditch, 1995: 16).

Impian Allah seperti diungkapkan dalam Kitab Kejadian tersebut dalam perjalanan waktu –khususnya karena pola hidup patriarkal baik dalam keluarga, agama maupun masyarakat– mengalami kehancuran. Adalah Yesus –sebagai wujud kehadiran Allah yang membebaskan (di tengah) umat-Nya– mencoba memulihkan dan mewujudkan impian tersebut dalam hidup dan karya-Nya. Di kala tradisi Yudaisme hanya memperbolehkan orang laki-laki dewasa menjadi murid seorang Rabbi untuk mempelajari Kitab Taurat, Yesus juga memberi hak yang sama kepada para perempuan untuk menjadi murid-murid-Nya (bdk. Injil Lukas 10:38-42). Dan ketika masyarakat menganggap bahwa kaum perempuan tidak dapat berpikir jernih, dan karenanya suara mereka tidak perlu didengar-kan, Yesus justru belajar dari seorang perempuan “kafir” sehingga Ia mamahami bahwa tugas pengutusan-Nya untuk mewartakan karya keselamatan Allah diperuntukkan bagi semua orang (bdk. Injil Matius 15:21-28; Injil Markus 7:24-30). Dan di dalam masyarakat di mana kaum perempuan tidak diperbolehkan memberikan kesaksian di muka pengadilan (karena, katanya, mereka itu tidak dapat dipercaya!), setelah kebangkitan-Nya, Yesus justru mempercayakan kepada para perempuan untuk mewartakan dan memberikan kesaksian akan peristiwa agung dan sangat penting dalam sejarah keselamatan kepada para murid lainnya: kebangkitan-Nya dari kematian (bdk. Mt 28:7-10; Mk 16:7-8; Lk 23:9-10; Yoh 20:17-18).

Apa yang dicita-citakan oleh Allah dan diwujudkan oleh Yesus menjadi keyakinan dasar para pengikut Yesus. Hal ini nampak dalam kidung upacara pembaptisan yang mengungkapkan identitas mereka sebagai para pengikut Kristus. Dalam surat Santo Paulus kepada jemaat di Galatia tertulis:

Sebab kamu semua adalah anak-anak Allah karena iman di dalam Yesus Kristus. Karena kamu semua, yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus. Dalam hal ini tidak ada orang Yahudi atau orang Yunani, tidak ada hamba atau orang merdeka, tidak ada laki-laki dan perempuan, karena kamu semua adalah satu di dalam Yesus Kristus (Galatia 3:26-28).

Apa yang terungkap dalam kutipan di atas merupakan pola hidup dan pola berelasi alternatif, yang sangat kontras dengan praktik-praktik dalam masyarakat Yahudi, Romawi, maupun Yunani yang begitu patriarkal. Di dalam jemaat-jemaat Kristiani semua praktik patriarkal –entah itu pembedaan berdasarkan previlese religius, status sosial maupun gender– tidak dapat diterima lagi. Ungkapan “tidak ada lagi laki-laki dan perempuan” (Galatia 3:28) juga mengacu pada Kitab Kejadian 1:27 yang mengatakan: “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka.” Hal ini penting, sebab pada zaman Paulus –selain sudah ada praktik-praktik ketidakadilan berdasarkan previlese religius, status sosial dan gender– juga ada seorang teolog besar, Philo dari Alexandria, yang mulai menafsirkan ungkapan dalam Kitab Kejadian 1:27 itu dalam kerangka pemikiran helenistik. Menurut Philo, kisah penciptaan itu merupakan metafor tentang adanya dua unsur di dalam diri manusia: rasionali-tas (yang digambarkan dengan figur laki-laki) dan rasa-perasaan (yang dilam-bangkan dengan figur perempuan). Tafsir ini segera menimbulkan perpecahan di kalangan jemaat Kristiani. Dengan latar belakang seperti ini, bagian dari pernyataan baptisan “tidak ada laki-laki dan perempuan” merupakan ungkapan iman bahwa segala macam konflik, keterpecahan dan pembedaan dapat disem-buhkan dan diatasi dalam Yesus Kristus.

2. Ajaran Konsili Vatikan II

Konsili Vatikan II, dalam dokumennya Konstitusi Pastoral Tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini –atau lebih dikenal dengan Gaudium et Spes (=GS)– mengatakan bahwa semua orang diciptakan dalam citra Allah. Mereka memiliki kodrat dan asal-usul yang sama. Mereka memiliki kesetaraan dasariah. Kesetaraan tersebut harus semakin diakui. Oleh karenanya, “segala bentuk diskriminasi yang me-nyangkut hak-hak asasi manusia, entah yang bersifat sosial atau budaya, berdasarkan jenis kelamin, suku, warna kulit, kondisi sosial, bahasa atau agama, harus diatasi dan disingkirkan, karena bertentangan dengan rencana Allah” (GS, 29).

Lebih lanjut Konsili Vatikan II mengatakan bahwa kendati terdapat perbedaan-perbedaan yang wajar antara laki-laki dan perempuan, namun martabat mereka yang sama sebagai pribadi menuntut agar kita berusaha untuk mewujudkan kondisi hidup yang lebih fair dan lebih manusiawi (GS, 29). Akibatnya, Konsili Vatikan II memandang “kesenjangan ekonomi dan sosial yang berlebihan antara individu dan bangsa-bangsa merupakan sumber skandal dan bertentangan dengan keadilan sosial, keadilan, martabat manusia, serta perdamaian sosial dan internasional” (GS, 29).

Selanjutnya Konsili Vatikan II menegaskan bahwa bila kaum perempuan masih belum diakui wewenangnya untuk dengan bebas memilih suaminya, menentukan jalan hidupnya, atau untuk menempuh pendidikan dan meraih kebudayaan seperti yang mereka inginkan (GS, 29), wajarlah kalau “Kaum perempuan menuntut kesetaraan dengan kaum laki-laki berdasarkan hukum dan keadilan (equity) maupun dalam kenyataan, bila kesetaraan itu belum mereka peroleh” (GS, 9).

3. Ajaran Almarhum Paus Yohanes Paulus II

Almarhum Paus Yohanes Paulus II (selanjutnya disingkat JP II) sungguh meyakini bahwa perempuan memiliki martabat yang sederajat dengan laki-laki. Kesetaraan martabat antara laki-laki dan perempuan ini dilandaskan pada kenyataan bahwa mereka diciptakan oleh Allah sendiri menurut citra dan keserupaan dengan diri-Nya (bdk. Kej 1:26-27). Apa yang ditandaskan oleh JP II ini sangat penting, sebab selama berabad-abad Gereja mengikuti pandangan Thomas Aquinas (1225-1274) dalam melihat perempuan. Dengan mengadopsi pandangan Aristoteles (384/3-322 seb. Mas.), Aquinas meyakini bahwa perem-puan adalah seorang “misbegotten male” yang keberadaannya hanya dibutuh-kan demi membantu laki-laki untuk melahirkan anak-anak.

Berdasarkan kesetaraan martabat sebagai citra Allah ini, baik perempuan maupun laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut hidup berkeluarga, menggereja, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Sekaligus JP II mengingatkan bahwa “kesetaraan martabat” tidak identik dengan “kesamaan dengan” laki-laki. Kesetaraan martabat ini akan mencapai kepenuhannya ketika perempuan dan laki-laki mampu untuk hidup dalam komunio dengan satu sama lain, dengan saling menerima dan saling memberikan diri, dengan saling membantu dan bekerjasama untuk mewujudkan kesejah-teraan bersama bagi seluruh ciptaan Allah. JP II mengatakan bahwa dengan diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan menurut citra dan keserupaan dengan Allah mereka dipanggil untuk hidup bagi satu sama lain secara timbal balik. Lebih lajut JP II mengatakan bahwa dalam diri perempuan, laki-laki memperoleh mitra, dengannya ia dapat berdialog dalam kesetaraan yang lengkap.

JP II juga menandaskan bahwa kesetaraan ini harus benar-benar diusaha-kan menjadi sebuah pengalaman nyata dalam segala bidang kehidupan; antara lain, mendapatkan gaji sama untuk pekerjaan yang sama, perlindungan bagi para ibu yang bekerja, fairness dalam hal kenaikan jenjang karier, kesetaraan suami-istri menyangkut hak-hak dalam hidup keluarga, serta pengakuan terhadap segala sesuatu yang menyangkut hak dan kuajiban warga negara dalam negara yang demokratis, mempunyai akses untuk memiliki harta serta mengelola aset-aset yang dimilikinya, dan dapat ikut ambil bagian dalam pengambilan keputusan berkaitan dengan proses-proses untuk mengarahkan kehidupan masyarakat.

II. PENGRUSAKAN MARTABAT KAUM PEREMPUAN

Almarhum Yohanes Paulus II juga mengakui bahwa dalam kenyataannya martabat kaum perempuan kerap tidak diakui dan bahkan diinjak-injak. Sebagai akibat dari pengkondisian sosial dan kultural, banyak perempuan tidak dapat menya-dari sepenuhnya martabat mereka. Tidak jarang kaum perempuan justru dipinggirkan dari kehidupan masyarakat dan bahkan direduksikan kedalam perbudakan. Kerapkali mereka tidak mendapatkan kesempatan yang sama (dengan laki-laki) untuk memperoleh pendidikan, direndahkan, dan sumbangan intelektual mereka tidak dipedulikan atau tidak dihargai. Martabat perempuan juga dilanggar oleh mentalitas yang memandang mereka bukan sebagai pribadi melainkan sebagai barang, sebagai objek perdagangan. Demikian pula berbagai macam bentuk diskriminasi terhadap parempuan –khususnya diskriminasi terhadap para istri yang tidak mempunyai anak, para janda, para perempuan yang diceraikan oleh suami mereka, serta para ibu yang tidak dinikahi– sungguh merendahkan martabat perempuan. Mereka juga masih mengalami banyak diskriminasi di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan maupun pekerjaan. Martabat perempuan juga direndahkan ketika perempuan (dewasa maupun anak-anak) dipaksa untuk bekerja hanya dengan upah kecil atau bahkan tanpa upah sama sekali, tanpa hak-hak perburuhan, tanpa jaminan keamanan. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan hanya dihargai karena penampilan fisik mereka dan bukan karena skill, profesionalisme, kemampuan intelektual maupun kepekaan hati mereka yang sangat dalam. Demikian pula martabat mereka direndahkan lewat eksploitasi seksual, dan ketika mereka –karena kengawuran dan tidak adanya tanggungjawab seksual– dipaksa untuk mengakhiri hidup janin yang tidak mereka kehendaki. Martabat mereka juga direndahkan ketika para perempuan (khususnya yang masih muda) dipaksa atau “ditarik” oleh organisasi-organisasi yang tidak bertanggungjawab kedalam emigrasi klasdestin, sehingga tidak sedikit dari mereka yang terdampar dalam situasi yang sungguh merendahkan martabat: pelacuran.

Berhadapan dengan seluruh situasi seperti ini, almarhum mengatakan bahwa tidaklah mudah untuk menunjuk siapa yang paling bertanggungjawab dalam hal ini, sebab sudah berabad-abad berbagai macam pengkondisian sosio-kultural telah membentuk cara berpikir dan bertindak secara demikian. Namun, kalau dalam konteks historis tertentu ternyata tidak sedikit anggota Gereja yang terlibat dalam tindakan ini, dengan tulus hati JP II mohon maaf.

Mengalami kondisi dan perlakuan seperti itu, menurut JP II, kaum perempuan memiliki hak untuk mendesak agar martabat mereka dihormati. Dan dalam waktu yang bersamaan mereka juga mempunyai kuajiban untuk memper-juangkan agar martabat semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, ditegakkan. Sekaligus JP II mengingatkan kaum perempuan agar dalam mengusahakan pembebasan diri dari semuanya itu, jangan sampai mereka membiarkan diri mengalami “maskulinisasi terhadap perempuan”; sebaliknya mereka perlu menegakkan “feminisme baru” dengan menolak model dominasi yang selama ini dilakukan oleh kaum laki-laki dan tidak menjadikannya sebagai cara bertindak mereka.

Selanjutnya JP II meminta agar pemerintah dan organisasi-organisasi lainnya bekerja lebih efektif untuk memberikan jaminan legal bagi terwujudnya martabat dan hak-hak perempuan. Demikian pula negara-negara perlu mengatasi berbagai macam situasi yang merintangi dilakukannya pengakuan, penghormatan serta penghargaan terhadap martabat serta kompetensi kaum perempuan. Beliau juga mengimbau agar semua negara serta institusi-institusi internasional mengusahakan semua cara agar kaum perempuan memperoleh kembali perhargaan yang penuh atas martabat dan peran mereka. Imbauan juga ditujukan kepada komunitas-komunitas gerejawi agar para migran beserta dengan keluarga mereka mendapatkan tempat sebagai rumah mereka.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa JP II sungguh meyakini bahwa martabat [dan panggilan] perempuan –maupun laki-laki– berakar pada hati Allah sendiri, dan dalam kondisi keberadaan manusia martabat tersebut erat terkait dengan “kesatuan dari dua pribadi.” Sebagai konsekuensinya, setiap laki-laki mesti bertanya diri apakah setiap perempuan telah diperlakukan sebagai co-subject dari keberadaannya di dunia ini dan tidak dijadikan objek bagi kenikmat-an dan eksploitasi. Demikian pula dominasi tidak dibenarkan karena merupa-kan ancaman yang dapat menghancurkan baik kesetaraan martabat antara perempuan dan laki-laki maupun martabat mereka masing-masing. Khususnya dalam hidup perkawinan, JP II mengatakan bahwa perempuan tidak dapat menjadi ‘objek’ dari ‘dominasi’ dan ‘milik’ laki-laki.

BUKAN KATA AKHIR

Mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan memang tidak mudah; juga –dan mungkin lebih-lebih– dalam Gereja. “Tempat” yang paling tepat untuk memulainya adalah diri kita sendiri serta lingkungan di mana kita hidup. Di “tempat-tempat” itulah kita perlu membuang semua bentuk ketidak-setaraan dan mulai membangun kesetaraan. Dan karena kesetaraan antara perempuan dan laki-laki memiliki banyak segi, maka perwujudannyapun menuntut kerjasama dari berbagai macam pihak dan bidang; oleh karenanya kerjasama dalam jejaring merupakan suatu keharusan.

DAFTAR BACAAN PILIHAN

Børresen, Kari Elisabeth. 1995. Subdordination and Equivalence. The Nature and Role of Woman in Augustine and Thomas Aquinas. Kampen: Kok Pharos Publishing House.

Cantore, Stefania. 1992. “Women in Christianity. A Biblical Approach.” Dalam NN. Women In Society According to Islam dan Christianity. Acts of a Muslim-Christian Colloquium Organized jointly by The Pontifical Council for Interreligious Dialogue (Vatican City) and The Royal Academy for Islamic Civilization Research Al Albait Foundation (Amman). Rome, Italy: 24-26 June 1992, pp. 33-47.

John Paul II. 1994. Amanat Apostolis Familiaris Consortio Paus Yohanes Paulus II tentang Keluarga Kristiani Dalam Dunia Modern. Yogyakarta: Penerbit Kanisius & Komisi Pendampingan Keluarga Keuskupan Agung Semarang.

_________. 1988. “Apostolic Letter on the Dignity and Vocation of Women, Mulieris Dignitatem.” Origins 18 (October 6, 1988): 261, 163-283.

_________. 1988. Post-synodal Apostolic Exhortation on the Vocation and the Mission of the Lay Faithful in the Church and in the World, Christifideles Laici. Washington, D.C.: USCC.

Konferensi Waligereja Indonesia. 1996. Pedoman Gereja Katolik Indonesia. Sidang Agung KWI–Umat Katolik 1995. Cetakan Ketiga. Jakarta: Konferensi Waligereja Indonesia.

_________. 2004. Surat Gembala Konferensi Waligereja Indonesia 2004 tentang “Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki sebagai Citra Allah.” Jakarta: Sekretariat Jenderal Konferensi Waligreja Indonesia.

Konsili Vatikan II. 1993. Dokumen Konsili Vatikan II. Terjemahan: R. Hardawiryana. Jakarta: Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI & Obor.

Madya Utama, Ignatius L. 2003. “Memahami Salib dan Keselamatan dari Perspektif Orang Tertindas.” Hidup 57 (20 April 2003): 20-21.

_________. 2005. “Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Agama Kristiani.” Diskursus 4 (April 2005): 59-80.

Marucci, Carl J., ed. 1997. Serving the Human Family. The Holy See at the Major United Nations Conferences. New York City: The Path to Peace Foundation.

Miller, J. Michael, ed. 1996. The Encyclicals of John Paul II. Huntington, Indiana: Our Sunday Visitor Publishing Division Our Sunday Visitor, Inc.

Newsom, Carol A. and Sharon H. Ringe, eds. 1998. Women’s Bible Commentary. Expanded Edition with Apocrypha. Louisville: Westminster John Knox Press.

Radford Ruether, Rosemary. 1993. Sexism and God-Talk. Toward a Feminist Theology. With a New Introduction. Boston: Beacon Press.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth. 1993. Discipleship of Equals. A Critical Feminist Ekklesia-logy of Liberation. New York: Crossroad.

Schüssler Fiorenza, Elizabeth and Mary Shawn Copeland, eds. 1994. Violence Against Women. Concilium 1994/1. London/Maruknoll, N.J.: SCM Press/Orbis Books.

Niditch, Susan. “Genesis.” Dalam Renita J. Weems. 1995. Battered Love. Marriage, Sex, and Violence in the Hebrew Prophets. Minneapolis: Fortress Press.


[1] Penulis adalah Ketua Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyaraka, Jakarta.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?