Tuesday, April 17, 2007

PRINSIP HUKUM ADIL

Artikel Pilar Vol 6 Tahun IV April - Mei 2007

PRINSIP HUKUM ADIL

(Percikan panoramik etis-filosofis)

Oleh:

Rm. DR. Armada Riyanto, CM

Ketua STFT Widya Sasana, Malang

Keadilan merupakan salah satu perkara etis-politis paling aktual sepanjang peradaban hidup manusia.

Dalam opini seorang Cephalus (salah satu tokoh dalam dialog Republic yang ditulis oleh Plato), keadilan tampil sebagai aktivitas speaking the truth and repaying what one has borrowed (Plato, Republic, 331c-d). Atau, aktivitas “bicara yang benar dan mengembalikan apa yang menjadi hak orang”.

Gagasan keadilan ini memberikan paling sedikit dua elemen penting bagi kita mengenai konsep keadilan, yaitu “rightness” (kebenaran) dan “sincerity” (kejujuran). Kelanjutan dari kedua pengertian ini berarti: Siapakah orang yang adil? Yang tak pernah berbohong (speaking the truth) dan yang tidak koruptif (repaying what one has borrowed). Inilah salah satu ide paling tua tentang keadilan.

Ide Cephalus jika dikaitkan dengan hukum memiliki konsekuensi langsung demikian. Yaitu, hukum adil adalah hukum yang mengatakan poin-poin kebenaran. Hukum yang menuliskan sebuah kebohongan, kepalsuan, ketentuan yang naif merupakan hukum yang tidak adil. Di samping itu, hukum adil adalah hukum yang menjamin perlindungan hak-hak manusiawi. Sebuah pengaturan perundang-undangan yang tidak menampilkan penjaminan prinsip hak-hak manusia berada pada level paling rendah.

***

Sementara itu, Thrasymachus, salah satu teman bicara (interlocutor) dari Sokrates mengajukan definisi mengejutkan mengenai keadilan. Keadilan ialah the advantage of the stronger (336c) atau, “keuntungan dari yang lebih kuat”. Dengan “yang lebih kuat” dimaksudkan sang penguasa. Ide Thrasymachus tidak biasa kita dengar, walaupun dimana-mana kerap terjadi. Elemen pengertian keadilan semacam ini ialah, pertama, keadilan itu berupa sebuah keuntungan; kedua, keuntungan itu milik penguasa.

Bagaimana Thrasymachus melansir gagasan keadilan seperti itu? Dia berpandangan demikian. Keadilan itu selalu berhubungan dengan hukum. Hukum itu buatan sang penguasa. Dan, penguasa itu selalu merupakan orang yang tidak pernah ingin salah dalam memegang/menjalankan kekuasaannya. Penguasa yang “ingin tidak pernah salah” artinya penguasa yang selalu ingin mengedepankan kepentingannya sendiri. Karena hukum dibuat untuk kepentingan sang penguasa, maka keadilan adalah keuntungan dari sang penguasa.

Untuk mendukung opininya, Thrasymachus mengajukan dalil art of shepherding (seni menggembala) sebagai bukti validitas argumentasinya. Keadilan hukum itu bagaikan “seni menggembala”. Seni menggembala adalah aktivitas yang berkaitan dengan penggembalaan demi keuntungan sang gembala itu sendiri. Gembala yang baik selalu menggiring domba atau sapinya ke tempat yang baik dengan satu tujuan: agar piaraannya tambun. Untuk siapa sapi atau domba yang tambun? Tidak ada lain kecuali untuk sang gembala itu sendiri.

Opini Thrasymachus adalah bias mengenai makna keadilan hukum. Seharusnya hukum itu tidak dibuat oleh penguasa, melainkan ditarik dari kepentingan rakyat kendati pada akhirnya diberlakukan oleh penguasa. Hakikat sebuah hukum tidak pernah dimaksudkan untuk diri sendiri, untuk penguasa. Bila ada hukum yang demikian, seperti beberapa hukum yang berlaku di pemerintahan diktatorial atau totaliter, jelas harus disebut sebagai hukum tidak adil.

Konsep Thrasymachus jelas keliru. Tetapi, tanpa disadari, ada sekian hukum di tanah air yang kurang lebih berada dalam koridor yang sama. Hukum yang mengatur perburuhan dan tenaga kerja kerap menjadi ajang persaingan kepentingan antara rakyat dan penguasa. Tidak mudah menguji keadilan hukum, tetapi Thrasymachus memberikan indikasi bias yang mungkin dengan mudah terjadi. Yaitu, apabila sebuah peraturan perundang-undang tidak makin membuat nasib pekerja lebih baik, dan malah memprovokasi kelesuan dalam bekerja dalam skala besar, peraturan tersebut pasti mengajukan bias keadilan.

***

Sokrates melawan gagasan Thrasymachus. Pertama-tama Sokrates menyoal makna “seni” (art) dalam ungkapan art of shepherding. Dalam arti kamus, kata “seni” menunjuk pada makna ketrampilan, kepandaian, kecerdasan. Menurut Sokrates seni dokter, misalnya, jelas tak pernah dimaksudkan untuk dokternya sendiri. Seni (kepandaian) dokter pasti dimaksudkan untuk pasien, untuk menyembuhkan si sakit. Apakah tidak merupakan suatu penyimpangan jika “seni menggembala” dimaksudkan untuk sang gembalanya, dan bukan domba-domba? Dengan kata lain, apakah bukan merupakan sesuatu yang menyimpang dan keliru apabila sang penguasa berpikir mengenai kepentingannya sendiri dan bukan mengenai kepentingan dari warganya? Dari sebab itu juga, apakah masih bisa dikatakan sebagai sebuah hukum yang adil jika hukum itu tunduk pada sang penguasa? Dengan kata lain, apakah keadilan berada dalam ruang lingkup penyalahgunaan kekuasaan/penyimpangan semacam ini? Pertanyaan-pertanyaan Sokrates dari sendirinya menyangkal argumentasi keadilan versi Thrasymachus.

Sokrates menggagas keadilan sebagai harmony (keselarasan). Harmoni hendak mengatakan keterpaduan. Sebuah keadilan hukum akan benar-benar tampak bila hukum itu mengindikasikan prinsip-prinsip keselarasan. Yang dimaksud di sini bukan semata-mata bahwa hukum mesti akomodatif atau produk kompromi pihak-pihak yang berkepentingan. Tidak sekedar itu. Hukum yang adil dalam makna sebagaimana dimaksudkan oleh filosof Sokrates adalah hukum yang memungkinkan masing-masing subjek berkembang, berpadu, bekerja bersama-sama meraih kesejahteraan bersama.

Dalam opini Sokrates praktek pemberlakuan hukum yang adil mesti memungkinkan setiap pribadi manusia maju bersama sedemikian rupa hingga terciptanya suasana yang kondusif untuk meraih dan mengejar virtue masing-masing. Jadi, keadilan hukum juga mengungkapkan bahwa masyarakat polis menjadi virtuous people.

Indikasi virtuous people adalah masyarakat yang tidak jatuh dalam sikap-sikap mementingkan diri sendiri. Masyarakat yang mengenakan baju “keutamaan” di sini bukanlah semata religius, tetapi juga terutama yang memegang teguh prinsip-prinsip pembelaan harmonisnya kehidupan manusiawi.

***

Aristoteles mengkaitkan keadilan, dalam buku V dari Nicomachean Ethics, dengan actus humanus. Keadilan adalah keutamaan lengkap, dalam arti menjangkau dan mencakup banyak elemen tindakan manusia yang kurang lebih lengkap. Keadilan tidak hanya berkaitan dengan tindakan (misalnya tindakan memberi makan seorang yang lapar), melainkan juga motivasi (misalnya saya memberi makan yang lapar karena mereka berhak; jika alasan tindakan memberi makan karena saya tidak mau diganggu olehnya, jelas itu bukan suatu tindakan keadilan!).

Menurut Aristoteles, keadilan adalah keutamaan related to other (keutamaan yang terarah/terkait dengan orang lain). Dengan kata lain, keadilan adalah keutamaan dalam ruang lingkup hidup bersama dengan yang lain.

Jalan pikiran Aristoteles mengingatkan kita pada sikap-sikap selfish anggota DPR yang menganggap diri seharusnya layak melengkapi diri dengan laptop atau aneka ketentuan rapelan berdasarkan PP No. 37/2006 yang sudah usang itu. Anggota-anggota DPR menganggap adil segala ketentuan itu bagi dirinya.

Konsep keadilan tak pernah diberlakukan bagi diri sendiri. Rigoritas gagasan Aristoteles ini membantu kita mengerti dengan cepat, sederhana dan baik bahwa setiap ketentuan yang hanya dimaksudkan bagi kebaikan diri para penguasa adalah ketentuan yang melawan keadilan.

Aristoteles juga menggagas adanya keadilan universal, atau natural justice dalam hukum. Apa maksudnya? Maksudnya, tidak seperti Thrasymachus yang mengaitkan keadilan dengan hukum positif/sipil yang dibuat penguasa, Aristoteles mengajukan tesis bahwa akal budi kita mampu memproduksi keadilan yang tidak tunduk pada tata aturan hukum yang berlaku. Artinya, keadilan itu mengatasi aneka macam hukum-hukum positif yang ada dan semata-mata tunduk pada gagasan Natura yang universal.

Tema inilah yang nantinya menjadi semacam sumber dan cikal bakal bagi gagasan tentang hak-hak asasi manusia. Hak-hak asasi manusia pada prinsipnya adalah gagasan tentang keadilan yang harus diakui dalam diri manusia sebagai manusia, tak perduli atribut apa pun yang ia miliki. Dan, tidak hanya itu, tetapi juga mengatasi segala ketentuan yang dituliskan oleh sebuah hukum. Jika hukum tidak memberi ruang pada pengembangan hak-hak asasi untuk hidup layak, hukum tersebut melawan prinsip keadilan.

***

Thomas Aquinas memiliki konsep keadilan hukum yang mempesona. Bagi Thomas hukum adalah soal perintah dan larangan. Tetapi, apa yang bisa diperintahkan dan dilarang. Yang diperintahkan hanyalah yang baik. Yang dilarang hanyalah yang buruk.

Soalnya: apakah kebaikan, apakah keburukan? Siapa yang dapat menentukan bahwa tindakan ini sebagai baik sehingga layak diperintahkan, dan ini buruk sehingga harus dilarang? Apakah penguasa atau anggota Dewan Perwakilan Rakyat?

Menurut Thomas Aquinas baik penguasa maupun anggota Dewan adalah pribadi-pribadi manusia yang memiliki self-interests. Mereka masih menginginkan banyak hal untuk diri sendiri sehingga dalam mendefinisikan apa yang baik dan apa yang buruk – dalam hukum – kemungkinan besar gandeng dan tumpang tindih dengan interests sendiri.

Maka, Thomas Aquinas berkata bahwa hukum itu ordo rationis atau ordinance of reason (tatanan akal budi). Yang dimaksud dengan akal budi, oleh Aquinas, ialah recta ratio atau right reason. Manusia sejauh manusia memiliki akal budi sehat, artinya memiliki segala apa yang perlu untuk berpikir dan menghendaki yang benar dan baik bagi dirinya (kesadaran bahwa dirinya adalah citra Allah) dan bagi sesamanya yang lain (kesadaran akan kodrat sosialitasnya). Hukum itu soal tata akal budi, artinya, daya ikat/wajib dari hukum didasarkan pada kebenaran sejauh akal budi manusia dapat memikirkannya dalam kebenaran.

Konsekuensinya? Tidak setiap peraturan hukum yang diperintahkan/ diberlakukan mengikat/mewajibkan (secara moral). Misalnya, perintah untuk membunuh orang Yahudi pada jaman Nazi Hitler, dalam jalan pikiran Aquinas, jelas tidak memiliki daya ikat apa pun (artinya, apabila dilanggar, orang tidak melakukan kesalahan/pelanggaran moral apa pun). Bahwa dia akan dihukum oleh pemerintah Nazi Jerman, itu soal lain. Hukum perintah membunuh orang Yahudi itu jelas tidak masuk akal. Dalam hidup sehari-hari ada banyak perkara yang di-hukum-kan, tetapi tidak semua mengatakan kewajiban yang harus ditaati.

Kemudian, tatanan akal budi ini (hukum) dimaksudkan untuk mengejar bonum commune (atau the common good) atau kesejahteraan umum. Hukum tak pernah untuk kepentingan pribadi atau penguasa atau golongan (beberapa orang), melainkan untuk kesejahteraan umum. Peraturan tidak pernah untuk peraturan. Peraturan itu untuk manusia. Peraturan harus menjadikan manusia baik, sejahtera, damai.

Akhirnya, hukum itu mesti memiliki kepastian. Kepastian pertama yang dimaksudkan

ialah perihal delik-delik ketentuan dalam hukum itu. Pasal yang satu tidak boleh melawan pasal yang lain. Kerancuan pasal-pasal membuat hukum kehilangan daya ikat untuk ditaati. Karena membingungkan.

Kepastian berikutnya dalam hukum yang adil menyangkut prosedur pemberlakuannya. Di Indonesia pemberlakuan hukum benar-benar tidak pasti dalam arti ini. Prosedur hukum seakan langsung mudah diterobos dengan uang dan kekuasaan. Banyak orang kecil masuk penjara. Sementara orang besar, para penguasa, atau sahabat/rekan bisnis dari para penguasa – dengan mudah – dapat “membeli” kebenaran hukum untuk kepentingan mereka.

Prosedur yang pasti dari sebuah keadilan hukum ialah seperti yang ditulis dalam ungkapan bahasa Italia tutti sono uguali davanti alla lege (semua sama di hadapan hukum). Di Indonesia prosedur yang demikian masih terasa sebuah mimpi! Malah kerap mimpi buruk sekali.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?