Thursday, October 26, 2006

Labour Market Flexibility : Fleksibel Bagi Siapa?*

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi I

Oleh: Bagus M (SPIS - Jakarta)

Awal Juni 2004. Siang itu begitu terik. Antrian di depan Puskemas Balaraja cukup panjang. Seorang anak perempuan berusia sekitar 2 tahun menangis dalam gendongan sang ibu. Dari kedua lubang hidungnya meler cairan ingus dan di kepala mungilnya ada beberapa benjolan bisul cukup besar. Terasa sakit sekali. Sementara sang ibu berusaha menghibur anaknya supaya diam. Kelelahan tergambar jelas diwajahnya.

Sang Ibu adalah salah satu dari buruh perempuan di PT Sarasa Nugraha Tbk. Unit Balaraja. Berkat upaya dari berbagai pihak, hari itu Puskemas Balaraja kembali melayani para buruh setelah 4 bulan lalu PT. Sarasa menutup pabrik sekaligus memutus pelayanan kesehatan yang selama ini diterima oleh para buruh.

Sejak pengusaha/pemilik modal menghentikan operasional pabrik, gaji dan fasilitas lain yang menjadi hak buruh PT. Sarasa Nugraha (termasuk pelayanan kesehatan) juga dihentikan. Akibatnya sebanyak 1652 orang buruh, 1084 diantaranya buruh perempuan, dan keluarganya kehilangan sumber nafkahnya, 46 buruh perempuan yang hamil dan 961 anak balita terancam kekurangan gizi, 558 anak terancam putus sekolah. Selain itu 50 keluarga buruh terusir dari rumah kontrakan karena sudah tidak mampu membayar uang sewa rumah. Tragisnya ada 2 orang buruh meninggal dunia akibat tidak mampu lagi menyediakan biaya untuk berobat.

Masalah yang dihadapi oleh buruh-buruh PT Sarasa Nugraha Tbk karena pengusaha ingkar janji untuk memenuhi kenaikan gaji tahunan seperti yang sudah tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama. Alasan yang dipakai sangat klasik, perusahaan dalam kondisi merugi. Buruh-buruh PT Sarasa Nugraha Tbk sudah terbiasa dengan alasan tersebut, itu sebabnya buruh tidak begitu saja percaya pada apa yang dikemukakan oleh pengusaha. Sebelumnya pengusaha mengeluhkan tentang tingginya komponen biaya untuk buruh bila dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis, lalu pengusaha berusaha (ngakali) mengubah sistem hubungan kerja agar komponen biaya buruh dapat bersaing dengan perusahaan lain. Rupanya pengusaha gagal ngakali buruh dengan cara ini, lalu keputusan menutup pabrik dilakukan dengan alasan perusahaan merugi dalam beberapa tahun ini.

Perlu dicatat, keputusan pengusaha PT. Sarasa Nugraha Tbk untuk menutup operasional pabrik unit Balaraja tersebut, berlangsung ditengah maraknya industri sejenis melakukan hal yang sama. Berdasarkan investigasi dan advokasi yang dilakukan oleh Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) dan Komite Buruh Cisadane (KBC) motivasi utama pemilik modal adalah mengubah status buruh Tetap menjadi buruh Kontrak (KKWT). Modus yang dilakukan berbagai macam, ada yang dengan cara menutup pabrik (lalu buruh tetapnya di PHK) kemudian membuka pabrik baru, dengan merekrut buruh baru dengan status Kontrak (KKWT); atau menawarkan sejumlah uang kepada buruh yang bersedia status hubungan kerjanya dirubah dari tetap menjadi kontrak (buruh mengenalnya sebagai pemutihan masa kerja). Dengan demikian jelas rupanya apa yang sedang direncanakan oleh manajemen PT Sarasa Nugraha Tbk, namun sungguh tidak jelas seperti apa kiranya masa depan buruh dan keluarganya.

Ketidakpastian dan keterpurukan

Kisah di atas adalah sepenggal pengalaman yang sedang dijalani oleh buruh di PT. Sarasa Nugraha Tbk, Balaraja - Tangerang, mereka tidak tahu pasti nasibnya akan berujung seperti apa. Ketidakpastian seperti ini juga yang mereka alami tentang kapan Depnakertrans mampu menyelesaikan masalah yang mereka dihadapi. Mereka betul-betul khawatir, karena apabila terlalu lama masalah ini tidak kunjung selesai mereka sudah tidak tahu lagi dari mana harus memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk tempat berteduh, belum lagi kebutuhan anak-anak dll. Sungguh tidak ada yang menduga akhirnya mereka harus mengalami nasib seperti ini, tidak ada tanda-tanda sebelumnya, selain keluhan perusahan merugi nyanyian klise yang ‘biasa’ mereka dengar selama bertahun-tahun.

Ratusan ribu bahkan jutaan buruh kehilangan kepastian masa depannya, nasib mereka berada jauh diluar jangkauan rencana mereka. Buruh tak kuasa menentukan masa depannya sendiri. Mereka kehilangan pekerjaan pertama-tama bukan karena mereka malas bekerja atau tidak perform dalam menjalankan tugas pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, tetapi pasar tidak menghendaki mereka tetap mengerjakan pekerjaannya. Pasar menghendaki orang lain yang dinilai lebih efisien yang lebih cocok mengerjakan pekerjaan itu. Karena dengan demikian pasar dapat melipatgandakan nilai barang yang dihasilkan buruh sehingga akumulasi keuntungan yang dikumpulkan oleh pemilik modal menjadi lebih banyak Nasib buruh dan keluarganya ditentukan oleh seberapa banyak buruh bisa memberikan keuntungan bagi pemilik modal, tidak penting buruh mendapat keuntungan apa dalam relasi antara buruh dengan pemilik modal yang seperti itu.

Yang penting bagi setiap pemilik modal dibutuhkan kepastian bahwa modal yang ditanamkan harus dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa jaminan itu mereka enggan menanamkan modalnya. Kalau toh modal sudah keburu ditanamkan dalam bentuk usaha, pemilik modal tidak segan-segan untuk menutup usahanya kalau dirasakan sudah tidak menguntungkan lagi.

Demi laba, mereka bisa berbuat apa saja (yang terpuji maupun yang tercela) kepada siapa saja, termasuk membeli birokrasi pemerintah agar menuruti kehendaknya. Dalam hal ini mereka dapat melakukannya dengan cara yang sangat vulgar (mem-PHK, menipu, manipulasi) sampai cara yang sekilas nampak elegan, melalui cara-cara konstitusional (pembuatan kebijakan negara). Misalnya, antara 1991-1995, untuk mengungkit dividen serta harga sahamnya, IBM memotong 33% anggaran gaji, dan memberhentikan 122.000 pekerjanya.1.

Apapun caranya, mereka melakukan dengan perhitungan untung/rugi, karena setiap biaya yang keluar akan tetap diperhitungkan sebagai pengeluaran dalam rencana investasi mereka. Para pemilik modal begitu concern dengan setiap pos pengeluaran/biaya, karena setiap pengeluaran berarti berkurangnya keuntungan mereka.

Jelas sudah, tidak ada pemilik modal/investor yang bersedia menanamkan modal hanya karena prihatin melihat begitu banyak pengangguran, tetapi sebaliknya mereka tidak segan-segan untuk menutup pabriknya ataupun usahanya, walaupun mengancam buruh yang akan kehilangan pekerjaanya. Semakin jelas, tujuan utama pemilik modal adalah bagaimana memperbesar sekaligus mempercepat akumulasi modalnya. Bahwa dalam mengejar tujuan itu, ribuan lapangan kerja dibuka bukanlah tujuan, melainkan ‘akibat’ di luar tujuan utama. Istilahnya: an unintended consequence. Sedang laba dan akumulasi modal adalah the intended consequence (akibat yang dimaksud).2.

Dalam konteks ini posisi buruh hanya memiliki nilai instrumental sejauh bisa memperbesar akumulasi modal, dan tidak berhubungan langsung dengan besarnya modal itu sendiri. Jadi kalau akumulasi modal yang menjadi target pemilik modal (investor) sudah tercapai sama sekali tidak ada jaminan bagi buruh untuk tetap dipertahankan bekerja di perusahaan tersebut. Karena keberadaan buruh di perusahaan akan diterima dan hanya akan diterima demi penggelembungan modal, kalau tidak dia akan dianggap sebagai beban (inefisien). Oleh karena itu harus dihilangkan. Dengan lebih lugas bisa dikatakan, karena buruh dihargai sejauh nilai instrumentalnya, maka buruh dipandang setara dengan faktor produksi lainnya seperti gedung, tanah, mesin atau alat-alat produksi lainnya. Karena sekedar alat, maka dihargai bila masih bisa dimanfaatkan.

Dalam konteks ini pada 2003 FPBN membuat catatan sbb :

Manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang melekat dipreteli dan diubah menjadi barang dagangan atau komoditas. Buruh tak beda dengan faktor produksi lain seperti bahan baku, bahan bakar maupun modal lainnya tanpa diindahkan kemanusiaannya. Sistem kerja kontrak membuka jalan bagi lembaga outsourcing untuk melabeli buruh dengan harga lengkap dengan masa pakai lantas menjual kepada para pemilik modal. Silahkan para pemilik modal memakai seenak dan sepuas hati. Bila ada barang rusak, lembaga outsourcing siap mengganti. Stok masih melimpah-ruah. Akankah kita tega menghancurkan harkat dan martabat manusia demi keuntungan yang secuil.

Relasi antara pemilik modal dengan buruh yang begitu eksploitatif bukanlah relasi manusiawi, karena baik bagi buruh maupun pemilik modal keduanya mengalami proses dehumanisasi yang sistematis. Pengingkaran atas harkat kemanusiaan masing-masing. Kata kunci yang bisa menjelaskan hal ini barangkali adalah serakah / rakus. Buruh menjadi korban kerakusan pemilik modal sedangkan pemilik modal menjadi monster bagi buruh demi memuaskan hasrat kerakusannya.

Pada titik ini negara tidak boleh absen berperan sebagai penjaga dan pelindung nilai-nilai kemanusiaan bagi seluruh warganya, baik buruh maupun pemilik modal. Negara harus melakukan intervensi agar tidak terjadi relasi yang eksploitatif antara pemilik modal dan buruh, sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan kepadanya oleh seluruh warga bangsa. Nafsu keserakahan dan kerakusan hanya bisa dihentikan dengan intervensi oleh negara melalui berbagai kebijakan perundang-undangan dan peraturan yang secara tegas membatasi kekuasaan modal. Kalau kekuasaan politik dikendalikan dengan demokrasi – melalui parlemen dan pemilu - lantas bagaimana dengan kekuasaan modal. Sementara sama-sama sebagai kekuasaan baik politik maupun modal sangat menentukan hidup mati umat manusia di muka bumi. Entahlah modal tampaknya masih terlalu cerdik untuk dengan mudah bersedia dikontrol dan dibatasi kekuasaannya demi kesejahteraan umat manusia.

LMF dan Pengabdian Kepada Pasar Bebas

Kebutuhan akan ‘kepastian mendapat untung setinggi-tingginya’ bagi pemilik modal/investor dalam uraian sebelumnya, kini diterjemahkan dengan sangat halus menjadi ‘iklim investasi yang kondusif’. Pokok inilah yang ditawarkan untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia, dokumen SPKN (Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional) hal III-7 menyatakan :

Upaya mengatasi masalah pengangguran harus dilakukan dengan merumuskan dan menetapkan kebijakan terpadu yang diarahkan pada penciptaan iklim investasi yang kondusif, pengaturan ketenagakerjaan yang tidak terlalu memberatkan para penanam modal tetapi seimbang antara pekerja dan pemberi kerja. ………….. Beberapa penyempurnaan kibijakan dan program ketenagakerjaan yang perlu dilakukan antara lain, adalah; (a) memudahkan persyaratan tanpa menghilangkan hak-hak pengusaha untuk memperoleh izin dalam pengurangan tenaga kerja dan PHK; (b) menyesuaikan besaran angka pesangon; dan (c) menyusun skema pesangon atas dasar kontribusi dari tenaga kerja’.3.

Upaya mengatasi masalah pengangguran diserahkan kepada ‘nafsu’ pemilik modal yang hanya bertujuan memperbesar akumulasi laba dan modal. Tanpa kejelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pengaturan ketenagakerjaan yang seimbang antara pekerja dan pemberi kerja /pemilik modal. Kalimat berikutnya justru menjelaskan banyak hal ketika menyebutkan; menyempurnakan kebijakan dan program ketenagakerjaan dengan memberi kemudahan kepada pengusaha untuk melakukan efisiensi /memecat/mem-PHK buruh dan mengurangi kewajiban pengusaha atas biaya pesangon serta membiarkan buruh sendiri yang harus memikirkan pesangonnya apabila dia dipecat oleh pengusaha.

Arah kebijakan seperti inilah yang ditawarkan kepada pemilik modal / investor - dalam tujuannya mencari ‘iklim investasi yang sehat dan kondusif’ serta memberikan kepastian memperoleh laba yang optimal – agar bersedia melakukan investasi. karena dengan demikian menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya dapat mengurangi angka pengangguran.

Kalau dokumen SPKN (kantor Menko Kesra) menawarkan kebijakan seperti tersebut di atas, lain lagi dengan Depnakertrans dengan Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009. Dalam Pendahuluannya butir 5. ketika berbicara mengenai masalah pengangguran :

Secara teoritis, ada tiga cara pokok untuk menciptakan kesempatan kerja atau berusaha dalam jangka panjang. Cara pertama adalah dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi penawaran tenaga kerja. Tetapi seperti dikemukakan di atas, cara ini tidak memadai bagi Indonesia karena angka kelahiran memang tidak relatif rendah dan dampaknya terhadap pertumbuhan tenaga kerja kurang signifikan dalam jangka pendek. Cara kedua adalah dengan meningkatkan intensitas pekerja dalam menghasilkan output (labour intensity of output). Tetapi dalam jangka panjang, cara ini tidak selalu berhasil karena tidak selalu kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Cara ketiga adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Cara ini bukan tanpa kualifikasi karena secara empiris terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak terdapat hubungan otomatis atau niscaya, tetapi justru tantangannya menjadi riil, karena hubungan yang tidak otomatis itu, maka peranan pemerintah menjadi strategis dan crucial untuk merancang strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga "ramah" terhadap ketenagakerjaan (employment – friendlygrowth).4.

Yang menarik, cara ketiga mengenai usulan upaya penciptaan kesempatan kerja yang diletakkan pada pertumbuhan ekonomi, Depnakertrans memberi catatan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berjalan seiring dengan penciptaan lapangan kerja; kecuali ada intervensi negara. Secara tersirat dokumen SPKN juga mengandaikan bahwa pengangguran hanya bisa diatasi dengan pertumbuhan ekonomi, itu sebabnya ‘iklim investasi yang kondusif’ harus diciptakan, karena hanya dengan penanaman modal, pertumbuhan ekonomi bisa diharapkan. Yang berbeda diantara keduanya, dokumen SPKN percaya pertumbuhan ekonomi otomatis akan menciptakan lapangan kerja baru, tanpa secara jelas mengandaikan adanya intervensi negara.

Namun Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2005 dalam Kebijakan Umum-nya butir 1, menyatakan sbb :

…….. Masalah ketenagakerjaan yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang lentur (labour market flexibility). Melalui kebijakan itu, pihak pengusaha diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketenagakerjaan internal melalui penyelesaian tingkat upah, bukan melalui pemutusan hubungan kerja yang berdampak sangat luas. Kebijakan semacam itu diharapkan dapat mempersempit tingkat kesenjangan upah antara lapangan usaha formal dan sektor informal, menekan laju kenaikan pengangguran terbuka, serta menurunkan angka kemiskinan5.

Depnakertrans di bidang ketenagakerjaan dimasa mendatang akan mengedepankan situasi yang ‘kondusif’ bagi pemilik modal melalui kebijakan yang umumnya disebut pasar kerja yang lentur (Labour Market Flexibility). Bentuknya memberi kelonggaran dalam mengaplikasikan sistim pengupahan (tanpa harus melakukan PHK) yang sesuai dengan kemampuan pengusaha. Karena kebijakan ini dipercaya dapat mengurangi kesenjangan perbedaan upah real antara sektor formal dan sektor informal, mengurangi angka pengangguran dan dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Karena prespektif yang dipakai adalah prespektif pengusaha/pemilik modal, maka dapat ditebak kearah mana sebenarnya yang dimaksud penyelesaian tingkat upah. Tidak mungkin berharap pengusaha akan mengimplementasikan sistim pengupahan yang memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup buruh. Lebih-lebih konteksnya adalah mempersempit kesenjangan upah antara sektor formal dan informal. Kita tahu angka upah real di sektor formal versi Bappenas jauh lebih tinggi dibandingkan upah real di sektor informal.

Dengan kata lain Depnakertrans melalui Rencana Tenaga Kerja 2004-2009, telah memperkenalkan kebijakan yang fleksibel di bidang pengupahan kepada pengusaha/pemilik modal, untuk menghindari PHK. Upah Buruh boleh diturunkan atau tidak naik, daripada melakukan PHK yang dianggap dapat menimbulkan masalah sosial baru. Sekarang memjadi semakin konkrit, kalau Depnakertrans dalam upayanya menarik investor melalui fleksibelitas masalah upah, dokumen SPKN melalui kemudahan (fleksibilitas) mem-PHK buruh dengan pasangon yang murah. Dapat dipastikan, bagi buruh akan sulit mengerti, bagaimana mungkin upah yang fleksibel, kemudahan terkena PHK dan kecilnya pesangon apabila kena PHK dapat menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan.

Pengertian mengenai pasar kerja yang fleksibel atau fleksibilitas pasar kerja yang paling jelas mencerminkan maksudnya adalah yang dikemukakan Bappenas dalam Ringkasan Ekskutif mengenai Kebijakan Pasar Kerja untuk memperluas Pasar Kerja pada akhir 2003 yang lalu, Bappenas mengemukakan :

Flesibilitas pasar kerja diartikan sebagai kemudahan upah riil dan tingkat kesempatan kerja untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi dan gejolak dalam perekonomian (baca : pasar bebas). Hal ini bergantung pada kemampuan perusahaan untuk merekrut dan memecat pekerja dengan biaya yang relatif rendah, dan pada kemampuan untuk menyesuaikan upah. Dimensi lain dari fleksibilitas pasar kerja adalah kemudahan yang memungkinkan bagi pekerja untuk pindah dari satu perusahan ke perusahaan yang lain, dari satu industri ke industri yang lain, dari satu sector ke sector yang lain, dan dari satu daerah ke daerah yang lain. Hal tersebut ditentukan oleh akses terhadap informasi mengenai alternatif-alternatif kesempatan kerja, biaya perpindahan, fleksibelitas upah, dan tingkat pendidikan pekerja.6

Pasar kerja diarahkan sedemikian rupa supaya mampu mengakomodasi kepentingan pelaku bisnis/pengusaha/pemilik modal dalam menghadapi persaingan bisnis/pasar. Sehingga dalam hubungannya dengan buruh, pelaku bisnis/pemilik modal membutuhkan relasi yang fleksibel seturut fluktuasi persaingan bisnis/pasar/gejolak perekonomian. Buruh harus bersedia bersikap fleksibel dalam relasinya dengan pengusaha/pemilik modal, karena kalau tidak pengusaha akan kesulitan dalam melakukan persaingan bisnis di pasar. Tentu saja pengusaha/pemilik modal tidak bersedia sampai mengalami kekalahan dalam persaingan bisnis, untuk itu dimulai dari tingkat perencanaan investasi mereka berusaha sedapat mungkin mengendalikan semua factor yang mungkin menyebabkan kekalahan dalam bersaing di pasar. Karena itu lebih jauh Bappenas dalam penilaiannya terhadap UUK 13/2003, mengemukakan :

Namun, nuansa ikut campur pemerintah tampaknya masih terlihat pada bidang-bidang yang biasanya akan lebih baik bila dipecahkan melalui negosiasi bipartite antara pemberi kerja dan pekerja. Ini terlihat dari keinginan untuk mengatur secara rinci berbagai ketentuan mengenai kondisi kerja yang sebetulnya akan jauh lebih baik bila dihasilkan melalui perundingan kolektif. Di samping itu, pemerintah masih banyak ikut campur dalam proses pemutusab hubungan kerja (PHK) dan penyelesaian perselisihan, padahal saat ini praktek international lebih meendorong pelaksanaan proses-proses tersebut pada tingkat perusahaan.7.

Jadi fleksibelitas pasar kerja harus berarti minimnya peran negara untuk ikut campur tangan dalam urusan hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha/pemilik modal.

Karena dengan minimnya regulasi negara (di bidang perburuhan ) akan semakin mudah mencapai tingkat efisiensi seperti yang dikehendaki oleh pasar, atau setidaknya pelaku bisnis akan mempunyai cukup fleksibelitas dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar tanpa dibebani oleh kewajiban-kewajiban (regulasi) yang muncul akibat adanya hubungan kerja dengan buruh.

Modal akan bekerja optimal dalam menghasilkan akumulasi laba membutuhkan prasyarat kebebasan dalam berbagai hal, bebas dari kontrol negara atas praktek bisnis yang mereka lakukan, bebas dari kontrol serikat buruh atas praktek penggunaan tenaga buruh dalam ruang-ruang produksi mereka dan bebas dari kontrol masyarakat apakah keberadaannya lebih membawa manfaat ketimbang mudharatnya.. Bahkan kalau kebebasan itu tidak mereka dapatkan dari negara, mereka mampu mengatur (membeli) aparat negara agar membuat kebijakan seperti yang mereka butuhkan. Kekuasaan modal sudah setara bahkan melebihi kekuasaan negara dalam menentukan nasib mayoritas bangsa manusia.

Kalau ditingkat nasional institusi negara seperti Bappenas dan Depnakertrans maupun perangkat kebijakan seperti SPKN percaya bahwa penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja dibidang perburuhan dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan pasar kerja yang fleksibel, maka ditingkat global institusi seperti Bank Dunia, IMF dan WTO memiliki agenda ‘perubahan struktural’ bagi semua negara yang membutuhkan ‘jasanya’. Paket-paket bantuan yang disediakan bagi negara-negara yang membutuhkan jasa IMF biasanya disertai kewajiban menjalankan program reformasi ekonomi berupa liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Semua peran negara yang ditengarai masih berpotensi mendistorsi bekerjanya kepentingan pasar harus dirombak (deregulasi), dan disesuaikan dengan kepentingan pasar, kalau ada kepentingan negara yang harus dilindungi demi kepentingan rakyat, diserahkan saja ke pasar karena pasar akan bisa mengatasi masalah itu. Itu sebabnya berbagai bentuk subsidi untuk rakyat dihapuskan karena dinilai membebani neraca keuangan negara. Toh kalau pasar bisa bekerja optimal dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang pada akhirnya bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyat banyak.

Perusahaan-perusahaan milik negara karena dinilai tidak efisien dan menjadi sarang koruptor, maka harus diserahkan (privatisasi) pengelolaannya kepada swasta (pelaku bisnis/pemilik modal) agar efisien, sehingga pada akhirnya akan mampu menyumbang pada pertumbuhan ekonomi nasional. Negara sebaiknya hanya berperan menyediakan perangkat kebijakan yang hanya bertujuan memperlancar bekerjanya pasar bebas secara maksimal tanpa gangguan dari siapa saja. Kebijakan ketenagakerjaan mesti bersahabat dengan pasar yaitu pasar tenaga kerja yang fleksibel, modal asing boleh beroperasi sampai pelosok-pelosok negeri, boleh melakukan kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung dlsb.

Demikian juga semua hambatan perdagangan baik subsidi maupun tarif harus dihilangkan supaya melancarkan aliran arus barang, jasa dan modal kemana saja di berbagai belahan dunia, karena hanya dengan begitu pasar bisa bekerja dengan baik dan pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan.

Begitulah, kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel (LMF) tidak datang begitu saja, hanya karena negara menganggap kebijakan yang seperti inilah yang baik; akan tetapi begitu banyak kepentingan dibelakangnya yang terus menerus melakukan penekanan kepada negara. Mereka adalah para pelaku bisnis international (MNC/TNC), negara-negara maju (kaya) melalui institusi global (Bank Dunia, ADB, IMF, WTO), dan kelompok-kelompok pro pasar bebas lainnya (pelaku bisnis local, birokrat, partai, akademisi, LSM dll).

Buruh dan Agenda ke Depan

Akibat dari kebijakan pasar kerja yang fleksibel, sudah meluas menimpa buruh diberbagai sektor pekerjaan baik manufaktur, jasa, keuangan, pendidikan dan birokrasi negara. Hal ini diperparah dengan mentalitas birokrasi negara yang tidak kompeten dan korup, sehingga sulit sekali berharap mereka dapat melihat gentingnya persoalan ini.

Sudah tidak memadai lagi strategi gerakan buruh kalau masih mengacu pada pola hubungan industrial yang lalu, karena hubungan industrial itu sendiri yang sekarang mengalami perubahan mendasar. Basis pengorganisasian buruh mengalami perubahan karena organisasi produksi telah dirubah oleh pemilik modal mengikuti tuntutan pasar bebas. Basis persoalan buruh tidak lagi semata-mata berada di pabrik (pengusaha lokal), tapi sudah berbelit dengan persoalan-persoalan kebijakan politik ekonomi global.

Ketika masalah perusakan terhadap pekerjaan (buruh tetap diubah menjadi buruh kontrak) gencar berlangsung di mana-mana, pada saat itu basis pengorganisasian buruh harus digeser. Basis keanggotaan serikat buruh tidak lagi efektif kalau mengambil basis pabrik, tetapi harus dirubah menjadi berbasis komunitas. Model advokasinyapun harus juga disesuaikan dengan kebutuhan basis komunitas.

Kampanye sebagai bagian strategi advokasi makin diperlukan sebagai alat untuk membangun opini mengenai bahaya praktek LMF, sehingga ke depan buruh dapat bersama-sama dengan masyarakat sipil lainnya melawan dampak buruk dari praktek LMF.

Catatan:

*) Disampaikan pada Sosialisasi dan Konsultasi Publik SPKN, Yayasan AREK; Surabaya. 3-5 Agustus 2004.

1) Herry Priyono, dalam Buruh dan Negara : Dalam Tawanan Pemodal.

2) Herry Priyono, dalam Buruh dan Negara : Dalam Tawanan Pemodal

3) Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulanagn Kemiskinan (TKP3KPK), Kementrian Bid. Kesra dalam Strategi Penanggulanagn Kemiskinan Nasional, Mei 2004

4) Depnakertrans, Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009.

5) Depnakertrans, Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009

6) Direktorat Ketenagakerjaan Dan Analisa Ekonomi, Bappenas; dalam Ringkasan Eksekutif ‘ Kebijakan Pasar Kerja Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, hal 3.

7) Direktorat Ketenagakerjaan Dan Analisa Ekonomi, Bappenas; dalam Ringkasan Eksekutif ‘ Kebijakan Pasar Kerja Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, hal 5.


Wednesday, October 18, 2006

Gerakan Buruh Dalam Perspektif Gender

Oleh: L. Gathot Widyanata[1]

Pengantar

Pasar tenaga kerja saat ini didominasi oleh buruh perempuan. Peluang kerja bagi perempuan lebih memungkinkan ketimbang laki-laki. Pilihan strategi industrialisasi di Indonesia tampaknya masih memperlihatkan lebih suka menggunakan tenaga kerja perempuan ketimbang buruh laki-laki. Sepintas, hal ini merupakan kemajuan bagi perempuan, karena akses buruh perempuan lebih besar. Apakah demikian? Atau ketidakadilan gender baru muncul?

Sejarah memperlihatkan bahwa karakteristik dan kenyataan bahwa perempuan merupakan tenaga kerja yang biasa dibayar lebih murah dan memiliki kualitas-kualitas seperti: mudah tunduk, gampang dikendalikan dan mudah diintimidasi. Karakteristik yang demikian, dianggap daya tarik utama mereka untuk diterima bekerja sebagai buruh.

Kebijakan Labour Market Flexibility (LMF) yang ditawarkan oleh International Monetary Fund (IMF) untuk menciptakan lapangan kerja di republik ini, pada gilirannya memperendah upah dan menghapus jaminan pekerjaan. Disinilah letak ketidakadilan gender, ketika LMF melibas sektor industri padat karya yang didominasi oleh buruh perempuan.

Pilihan perlawanan buruh perempuan harus berangkat dari dirinya. Dialah aktor perubahan. Dari merubah diri, merebut kekuasaan ditingkat SB dan masuk ke lingkar politik.

Buruh Perempuan Menghadapi Pemodal

Ibu Andre, begitu nama panggilan seorang buruh perempuan. Bagaikan selibritis, sepanjang gang tak seorangpun tidak mengenal Ibu Andre. Andre adalah nama anak sulungnya yang sekarang duduk di kelas II Sekolah Dasar Negeri, jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota.

Ibu Andre bekerja di perusahaan padat karya yang menghasilkan produk sepatu olah raga bermerek. PT. Koryo yang terletak di kawasan industri desa Gembor Tangerang adalah satu-satunya gantungan hidupnya. Upah yang didapat tidak jauh berbeda dengan teman-teman buruh padat karya lainnya, yakni sebesar UMK (Upah Minimum Kabupaten).

Seringkali ia bekerja lembur dengan imbalan upah lembur mati. Upah lembur mati artinya walaupun bekerja lembur tiga jam namun hanya dibayar lembur satu jam.Tak jarang ia pulang jam 20.00 hanya memenuhi kerja target produksi. Ia harus bekerja tak kenal lelah untuk menghidupi lima orang: yaitu diri sendiri, ketiga anaknya yang masih kecil dan suaminya yang sudah lama menganggur.

Ketika ibu Andre tiba di rumah, sang suami siap-siap untuk keluar rumah. Semula suami diharapkan dapat terlibat menyelesaikan kerja domestik. Belakangan ia menuntut selembar uang untuk judi, pulang ke rumah ketika subuh tiba.

Suatu ketika kedua anaknya yang masih balita jatuh sakit. Ia tidak mampu membiayai pengobatan anak-anaknya. Ia tak tahan lagi menanggung beban hidup yang terlalu berat. Ibu Andre memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ia berharap mendapat pesangon dari perusahaannya. Ia dan anak-anaknya memutuskan pulang ke tanah kelahirannya.

Pengalaman ibu Andre memperlihatkan kondisi yang membanggakan sekaligus mengenaskan. Membanggakan bahwa ia tampil di ruang publik: bekerja di pabrik. Dengan bekerja ia dapat mempertahankan hidup dan memperoleh pengakuan sosial dari masyarakat. Mengenaskan, karena ia mendapat upah yang rendah dan terpaksa kerja lembur untuk menambah penghasilannya. Upah buruh rendah sebagai strategi untuk meningkatkan produksi. Bila ingin mendapat upah lebih, kerja lembur yang ditawarkan pada buruh. Di berbagai perusahaan besar, jam kerja yang terentang antara 10-15 jam sehari bukanlah sebuah perkecualiaan. Upah lembur pun tidak adil sebab menganut jam mati. Sepulang kerja ia terpaksa terlibat keras dalam kerja domestik.

Ibu Andre sebagai buruh perempuan mengalami praktek kekerasan (eksploitasi) di tempat kerja dan di dalam keluarga. Pertama, ketika negara berselingkuh dengan kaum kapitalis memanfaatkan buruh perempuan sebagai strategi industrial yang menguntungkan segelintir orang. Kedua, ia mengalami tindak kekerasan (penindasan) didalam keluarga, sebagai buntut terhapusnya jaminan pekerjaan”. Ia harus memikul beban ganda: tanggung jawab ekonomi dan domestik.

Pengalaman ibu Andre adalah potret ketidakadilan industri terhadap buruh perempuan. Dalam mainstream gender dikenal sebagai ketidakadilan gender. Bagaimana pengalaman ibu Andre yang sarat dengan ketidakadilan gender dijelaskan? Ketidakadilan yang dialami oleh ibu Andre juga banyak dirasa oleh jutaan buruh perempuan.

Buruh Perempuan & Ketidakadilan Gender

1. Strategi Industrialisasi & Eksploitasi Buruh Perempuan

Realita ruang kerja padat karya di republik ini didominasi oleh buruh perempuan baik berstatus buruh tetap atau buruh kontrak. Sepintas hal ini merupakan kemajuan bagi perempuan, karena akses ke pasar tenaga kerja lebih besar ketimbang laki-laki.

Kerja merupakan cara manusia untuk membentuk dunia sekelilingnya lewat proses produksi. Akses perempuan ke pekerjaan dan nafkah juga sangat mendasarkan untuk memastikan pertahanan hidup persoalannya serta untuk memperoleh pengakuan sosial. Tetapi apakah demikian?

Perusahaan-perusahaan yang dikembangkan di Indonesia banyak menggunakan tenaga kerja perempuan. Kinerja produksi dirancang hanya mampu dilakukan oleh tenaga perempuan; yakni perusahaan manufaktur. Jenis industri manufacturing membutuhkan karakter tenaga kerja yang unskill serta upah murah. Misalnya: industri garmen, konveksi, sepatu dan makanan.

Dalam dekade sejarah 1980-an pertumbuhan industrialisasi di Indonesia berjalan seiring dengan kenaikan jumlah perempuan yang bekerja di sektor ini. Oleh sebab itu, pasar tenaga kerja didominasi oleh tenaga perempuan. Pada masa awal Orde Baru berkuasa, politik perburuhan dirancang sebagai bagian dari depolitisasi kehidupan politik. Fase industrialisasi pada waktu itu, berorientasi ekspor pada gilirannya memperkukuh pola pengaturan politik perburuhan melalui pendekatan korporatisme negara dan represi. Kibijakan demikian untuk menyediakan kondisi umum bagi akumulasi modal dalam bentuk buruh murah dan patuh secara politik, sesuai dengan politik ekonomi Orde Baru. Pada fase ini dan berikutnya, pemerintah RI pun sangat gencar mempromosikan upah murah sebagai keunggulan komparatif guna menarik investasi demi pertumbuhan ekspor dan memperluas kesempatan kerja.

Jaman rezim reformasi mengetrapkan kebijakan fleksibilitas kerja. Fleksibilitas kerja diperlukan agar dapat terjadi penyerapan tenaga kerja lebih tinggi”. Melalui berbagai bentuk, fleksibilitas kerja melahirkan model kerja kontrak dan outsourcing. UU no. 13/2003 merupakan materi iklan bagi pasar dunia bahwa buruh(perempuan) Indonesia telah berada dalam keadaan fleksibel. UU no. 13/2003 merupakan simbol kebijakan neoliberal yang ditujukan untuk menjual buruh (perempuan) di dalam kompetisi pasar dunia.

Maria A. Sardjono, novelis, dalam artikelnya “Ketidakadilan Gender Dalam Media Massa” yang dimuat dalam bunga rampai “Budaya Adil, Membangun Habitus Baru” terbit 2005, oleh PSE KAJ, mengingatkan bahwa ada pergeseran telak dalam dunia bisnis dimana fungsi tubuh manusia telah berubah ke arah fungsi ekonomi dan politik dagang, masuk ke jaringan kapitalisme patriarkhi yang hanya menguntungkan pemilik modal yang kebanyakan laki-laki. Dalam keramaian persaingan bisnis, manusia terutama perempuan, menjadi rentan terhadap dominasi dunia perdagangan dan mudah tergelincir menjadi obyek atau bagian dari alat produksi.

2. Kebijakan Labour Market Flexibility & Peminggiran Buruh Perempuan

Proses “gladiator” perusahaan terus tak dapat dibendung. Perusahaan terus menggerus buruh sambil meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menekan negara untuk menerima kebijakan LMF. Kebijakan LMF sengaja dibawa oleh IMF kepada negara-negara miskin yang berhutang kepadanya (termasuk Indonesia) dalam rangka reformasi ekonomi. LMF merupakan anak kandung mobilitas modal dalam globalisasi yang memburu tingkat laba paling tinggi, yang pada gilirannya mensyaratkan tingkat produktifitas kerja yang tinggi pula (Tempo, Desember 2004).

LMF beranak- pinak menjadi tipe-tipe fleksibilitas; Pertama, flesibilitas proses dan organisasi produksi. Artinya ada upaya perampingan struktur organisasi produksi dan memperkecil skala perusahaan. Proses fleksibilitas macam ini menghasilkan perusahaan sub kontrak dan hubungan kerja individual. Dari hasil pendataan di Jawa Timur terdapat 48 pabrik yang memperkerjakan 34.234 orang buruh. Dari jumlah tersebut 32% (L:4919 + P:6546) berstatus tetap; 48% (L: 7686+ P:8882) berstatus kontrak dan 20% (L: 1946 + P: 4255) berstatus harian lepas (sumber: hasil pendataan lapangan SB-SB&FPBN wilayah Timur, Sep-Okt 2004). Sedangkan di wilayah Barat, dari 91 perusahaan yang terdata, terdapat 57 perusahaan atau 62,6% sudah mempraktekan sistem kerja kontrak (sumber: hasil pendataan lapangan SB-SB&FPBN wilayah Barat, Sep-Okt 2004).

Kedua, Fleksibilitas pada sistem pengupahan: hendak mengubah struktur upah. Yakni memperkecil skala upah tetap, baik yang berdasarkan jam kerja atau hasil kerja. Dengan kata lain, upah disesuaikan dengan produktifitas dan kondisi pasar. Di Jawa Timur ditemukan 17 perusahaan yang memberikan upah buruh dengan status kontrak dan harian lepas dibawah UMK; 16 perusahaan memberikan upah sesuai dengan UMK. Di barat juga ditemukan bahwa 87 perusahaan memberi upah buruh kontrak hanya sebatas UMK tanpa ada tunjangan lain.

Ketiga, Feksibilitas terjadi pada labour cost. Artinya ada pengurangan biaya-biaya yang menyangkut subsidi-subsidi yang dikeluarkan untuk buruh. Buruh tidak lagi menikmati fasilitas subsidi kesehatan, pajak, training, perlindungan dan birokrasi.

Keempat, fleksibilitas diberlakukan pada tenaga kerja dari sisi supply. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja, kapasitas produksi dan jenis pekerjaannya. Permintaan yang demikian, membuka bisnis perekrut tenaga kerja (outsourcing tenaga kerja). Perekrut tenaga kerja bisa berbentuk CV, Yayasan, tidak jarang memakai oknum. Agen-agen tenaga kerja kontrak biasanya memungut uang dari calon tenaga kerja sebesar: Rp. 300.000,- (untuk kontrak 1-3 bulan); Rp. 600.000,-(untuk kontrak 1 tahun). Kalau kelurahan pungutannya Rp. 300.000 keatas per kepala (hasil pendataan lapangan bersama SB-SB &FPBN wialayah barat Sept-Okt 2004).

Kelima, fleksibilitas terjadi pada tingkat fungsional. Jenis pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha untuk menyesuaikan diri pada fluktuasi pasar produksinya. Dalam konteks jenis pekerjaan maka muncul istilah “multi skilling” dan “multi tasking”. Buruh dituntut memiliki lebih dari satu ketrampilan, bisa mengerjakan berbagai jenis pekerjaan.

Keenam, fleksibilitas pada struktur pekerjaan: lebih tiadanya promosi atau peningkatan profesional, baik dalam jenis pekerjaan atau tingkat upah. Buruh diposisikan pada tingkat pekerjaan dan upah yang sama dalam jangka waktu tertentu.

Fleksibilitas dicapai dengan menyerap sebanyak-banyaknya buruh perempuan ke pasar kerja untuk melakukan kerja-kerja yang sederhana, rutin-manual, dan relatif tidak trampil. Untuk mendorong fleksibilitas lebih jauh, maka masuknya perempuan ke pasar kerja adalah melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dengan sistem kerja kontrak dan outsourcingkontrak dan outsourcing merupakan alat para pengusaha untuk memasukan buruh-buruh perempuan yang tak trampil ke pasar kerja. ke 6 fleksibilitas tercapai. Jadi jelas sistem kerja

Penerapan LMF di Indonesia menurut para pakar ekonom kontra neoliberal adalah situasi yang berpotensi semakin menurunkan kualitas hidup sebagian besar kelompok buruh. Praktek LMF secara faktual sudah terjadi sejak lama. Kebijakan pemerintahan yang mengadopsi prinsip fleksibilitas tersebut hanya akan membenarkan sebuah mekanisme yang cenderung meminggirkan keberadaan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kasar (blue-collar worker). Kebijakan LMF telah melibas perusahaan – perusahaan pada tkarya di mana buruhnya didominasi oleh buruh perempuan. Maka korban peminggiran yang paling besar adalah buruh perempuan.

Fakta menunjukan nilai upah yang ada seringkali tidak sesuai dengan jam kerja dan beban kerja buruh. Disisi lain ada persoalan minimnya upah dan tunjangan kesejahteraan bagi buruh berjenis kelamin perempuan. Terlebih bagi perusahaan yang bergerak di sektor garmen dan tekstil, yang banyak menyerap buruh tanpa ketrampilan khusus. Pekerjaan demikian dianggap cocok untuk perempuan, sehingga dianggap pula untuk diupah rendah (Lembur- Edisi 4- Januari 2005).

Muji Kartika Rahayu, wakil direktur bidang operasional dan advokasi LBH Surabaya, dalam kesempatan lokakarya FPBN ke VII mengatakan bahwa: “upah minimum propinsi jauh bagi kebutuhan layak buruh. Apalagi bagi buruh perempuan yang memiliki kebutuhan khas perempuan (yang tidak dibutuhkan oleh laki-laki). Apalagi bagi buruh kontrak yang juga lebih rendah dari buruh tetap. Disisi lain tidak ada pilihan yang lebih baik.”. Buruh perempuan yang sudah bersuami (dari kalangan buruh juga) semakin rumit. Karena peluang bagi buruh laki-laki semakin kecil misalnya pasca PHK sangat sulit kerja lagi. Dengan upah yang jauh dari kebutuhan bujang tadi, semakin mencekik.

Upah yang menjadi gantungan kehidupan buruh (perempuan) ternyata justru memiskinkan. Bagaimana tidak? Mereka bekerja dan menghasilkan produk yang banyak, namun upahnya justru tidak seimbang dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan. Meskipun telah ada ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 tentang pengupahan yang sama bagi buruh perempuan dan laki-laki, tetapi sampai tahun ini tak ada kebijakan negara yang lahir untuk memperbaiki kondisi riil kesenjangan upah tersebut. Misalnya saja kebijakan negara yang tidak berpihak pada buruh perempuan; UU no. 13/2003 tidak melindungi buruh perempuan. Buruh perempuan dibiarkan melakukan negosiasi sendiri dengan pengusaha dalam menentukan kondisi-kondisi kerjanya, terutama pelaksanaan cuti haid dan upah yang diperolehnya.

B. Herry Priyono, dalam artikelnya mengatakan bahwa: “Upah buruh tergantung bukan lagi pada kontrak tetap yang seperti dulu, melainkan pada tingkat produktifitas kerja buruh, di pabrik atau perusahaan. Pada muaranya buruh dipaksa menemukan strategi survival seperti yang dilakukan oleh manajer, yaitu membuat diri menjadi bagian dari risiko finansial perusahaan dengan stock options dan semacamnya (Tempo, Desember 2004). Tentu itu terlalu berat bagi buruh. Sebab ada kesenjangan upah tinggi antara buruh dan manajer.”

Kebijakan Industrialisasi “Gender Biased

Dari uraian diatas ada fakta ketidakadilan gender terhadap buruh perempuan. Kalau terjadi ketidakadilan gender dalam hubungan industrial, siapa musuh besar buruh perempuan? Musuh dari gender defender bukan laki-laki tetapi ketidakadilan: kebijakan hubungan industrial yang tidak adil (Lokakarya FPBN VII, Februari 2005). Sehingga tujuan akhir dari analis dan gerakan adalah mewujudkan keadilan, baik laki-laki maupun perempuan. Pemenuhan hak buruh perempuan tidak mengurangi pemenuhan buruh laki-laki, justru sebaliknya. Jika kebijakan perburuhan didasarkan pada kepentingan perempuan, upah seharusnya jauh lebih besar sehingga bisa memenuhi standard kebutuhan layak.

Mengapa kebijakan industrialisasi gender biased? Arah dan kebijakan industrialisasi dikendalikan oleh kekuatan kelompok dominan dalam parlemen dan dengan sendirinya mengabdi pada kepentingan kelompok tersebut. Kelompok dominan memiliki cukup banyak wakil maupun tangan-tangan lain yang berpengaruh dalam parlemen. Itu berarti kepentingan mereka akan cukup terjamin dan terlindungi dalam tiap-tiap keputusan kebijakan yang diproduksi oleh parlemen. Parlemen sendiri secara umum dikuasai oleh laki-laki yang terbingkai dalam masyarakat feudalistik ataupun kapitalistik. Sebagai laki-laki mereka tentu akan melihat, memahami serta memaknai keadilan dalam perspektif laki-laki (patriach) yaitu mendahulukan laki-laki. Misal; UU no 13/2003, pasal 81 ayat 1 memperlihatkan produk hukum yang mencerminkan perspektif laki-laki bahwa buruh perempuan yang hendak mengambil hak cuti haid memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya merasakan sakit”.

“Pilihan” Perlawanan Buruh Perempuan

“Pilihan”(option) berarti putusan dan komitmen yang bebas. Pilihan atau opsi adalah sebuah solidaritas sukarela, mendalam terus menerus dalam dunia perburuhan. Secara konkrit, opsi berarti masuk dalam sebuah dunia yang tak dikenal (insignifikan). Namun opsi tidak hanya dilakukan oleh pihak eksternal tetapi harus dilaksanakan juga oleh pihak internal sendiri, yakni buruh perempuan.

1. Buruh perempuan menjadi fokus perubahan sebelum merubah kebijakan perburuhan yang tidak berkeadilan gender. Buruh perempuan menjadi aktor perubahan. Maka perubahan harus berangkat dari diri buruh perempuan yang akan melakukan perubahan. Menarik apa yang dikatakan oleh Nurul Arifin, artis dan aktivis perempuan dalam kolom wawancara bulletin “Lembur”, edisi 4 Desember 2004: “Buruh perempuan ayo belajar!” Tentang “belajar” ia menjelaskan: “Belajar, kapan dan dimanapun…akan membuat manusia maju. Belajar membentuk serikat buruh, belajar berorganisasi, belajar hukum perburuhan, belajar soal hak dan kewajiban buruh, belajar mendampingi kasus-kasus di pabrik, belajar bahasa Inggris, belajar komputer, dan lain sebagainya.”

Untuk memperjuangkan keadilan gender, buruh perempuan dituntut untuk sadar gender. Tidak sendirinya buruh perempuan memiliki sadar gender mengingat perspektif patriarkhis mengepungnya. Hanya dengan kemauan belajar untuk membongkar bekukan kekuatan patriarkhis buruh perempuan terbebaskan. Analisa gender merupakan piranti yang harus dimiliki oleh buruh perempuan untuk membongkar ketidakadilan gender. Buruh perempuan harus memiliki perspektif yang adil gender sehingga mampu melihat kepentingan gender perempuan bukan sebagai bagian dari kepentingan gender laki-laki.

2. Serikat buruh menjadi ujung tombak perubahan. Buruh perempuan berani merebut untuk duduk di kepengurusan serikat buruh. Bagaimana mungkin, serikat buruh yang didominasi oleh laki-laki akan tanggap terhadap kondisi buruh perempuan. Menjadikan serikat buruh yang ada sensitif gender- menjadi prasyarat utama dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan kolektif buruh Indonesia. Melibatkan partisipasi aktif buruh perempuan dalam kancah organisasi serikat buruh.

3. Pilihan strategi perlawan lainnya adalah masuk dalam lingkar politik atau menjadi oposisi yang diperhitungkan. Gerakan dengan masuk dalam lingkar politik sangat dibutuhkan karena di situlah kebijakan dibuat. Lingkar politik butuh orang-orang yang memiliki perspektif yang adil gender sehingga kebijakan yang dihasilkan oleh lingkar politik dapat dimaknai keadilan dalam perspektif yang adil gender. Posisi buruh perempuan sebagai obyek politik dan aktor pinggiran demokrasi harus digeser menjadi aktor sentral, dengan membuka akses yang sebesar-besarnya.(***)

Daftar Acuan dan Bacaan Terpilih

  1. Andang L Binawan, Al & Prasetyantoko, A, 2004, “Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia”, Jakarta, Buku Kompas.
  2. Bunga Rampai XI, 2005, “Budaya Adil Membangun Habitus Baru”, Jakarta, Sekertariat Komisi PSE/APP KAJ, LDD KAJ, Komisi PSE KWI.
  3. Chatib Basri, Mohammad, “Bekerja, tetapi Pekerjaan Tetapnya Mencari Pekerjaan…”. Dalam Kompas-Minggu , September 2003.
  4. FPBN, “Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja: Solusi untuk Siapa?”, rekaman proses Seminar Nasional, JMC Jakarta, 15 Desember 2004.
  5. Jurnal FPBN, no. I Mei-Oktober 2004, “LMF: Pasar Tenaga Kerja Pasar Karet”, Jakarta, Forum Pendamping Buruh Nasional.
  6. Kartika Rahayu, Puji, “FLM dalam Perspektif Gender” dalam makalah Lokakarya FPBN ke VII, Batu-Malang, Februari 2005.
  7. Rita Ruwiastuti Suyaalam, Maria, SH, “Hukum dan Keadilan Gender”, dalam makalah Lokakarya Persiapan Moot Court Berperspektif Keadilan Gender, Yogyakarta, Februari 2005.
  8. Suryomenggolo, Jafar, 2003, “Apakah Buruh Kontrak Terlindungi?”, Jakarta, Biro Pelayanan Buruh –LDD KAJ.
  9. Suryomenggolo, Jafar, 2003, “Tentang: Buruh Perempuan”, Jakarta, Biro Pelayanan Buruh-LDD KAJ.
  10. Suryomenggolo, Jafar, “ Menjual Buruh Perempuan di Pasar Dunia Lewat Hukum Perburuhan”, dalam makalah, 2003.
  11. YLBHI, 1998, “Pokok-Pokok Pikiran YLBHI Tentang: Reformasi Politik Perburuhan Nasional”, Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

[1] Penulis: bekerja di Biro Pelayanan Buruh Keuskupan Agung Jakarta, aktif di jaringan LSM perburuhan.


Friday, October 13, 2006

INDUSTRI POST- FORDISME DAN FLEKSIBILISASI HUBUNGAN KERJA

Dimuat dalam Jurnal fpbn edisi I

Oleh : M. Sumartono[i]

"…… betapa susahnya para buruh berjuang keras untuk mendapat pekerjaan yang layak, tetapi IMF bersikeras untuk menawarkan apa yang dengan ungkapan pelembut disebut "labor market flexibility", yang seolah-olah menciptakan pasar kerja berjalan lebih baik, tetapi prakteknya telah disederhanakan menjadi sebuah nama untuk memperendah upah dan hilangnya jaminan pekerjaan"[ii]

Tidak terlalu jelas apakah ungkapan Stiglitz di atas berupa kritik, kekecewaan ataukah pembelaan terhadap buruh. Tetapi, sebagai bentuk kebijakan IMF dan prakteknya di banyak negara, LMF tetap negatif di matanya. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebijakan LMF "dibawa" oleh IMF kepada negara-negara miskin dan pengutang kepadanya. Setidaknya pertama kali diterapkan pada Argentina yang selama 5 tahun terakhir angka pengangguran mendekati 18,6 %. LMF ini menjadi inti "persetujuan" dengan IMF sebagai syarat utang dan reformasi ekonomi yang pro-pasar. Dan pada kenyataannya, LMF menjadi "reformasi generasi kedua" setelah penghapusan subsidi dalam rangka reformasi ekonomi untuk negara-negara pengutang atau negara-negara miskin[iii].

Fordisme: sebuah model produksi dalam industri kapitalisme

Sampai saat ini industrialisasi diyakini sebagai cara sebuah bangsa untuk mencapai kemakmuran. Setidaknya sejak revolusi industri di Inggris pada abad 18, proses industrialisasi menjadi pilihan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan modernisasi negara. Sebab dalam industrialisasilah apa yang disebut kapitalisme mendapat bentuk dan tempat yang pas dalam sejarah.

Adalah Henry Ford (1863-1947) seorang industrialis Amerika yang mendirikan Ford Motor Company pada tahun 1903. Ia memproduksi untuk pertama kalinya motor yang terkenal dengan model T pada Oktober 1908. Selama 19 tahun kemudian, perusahaannya berhasil menjual 15, 5 juta mobil Ford model T di US, 1 juta di Kanada dan 250 ribu di Inggris. Atas dasar apa yang dilakukan Ford dalam perusahaan mobilnya, ditemukanlah model industri yang menggunakan pendekatan modern. Pendekatan itu sampai kini dikenal dengan istilah Fordisme.

Fordisme tidak lain adalah sebuah motode manajemen industri yang berazaskan assembly line atau sering disebut metode ban berjalan dalam proses produksi yang bersifat massal. Konsep tersebut menggambarkan proses ekonomi produksi dengan cara membagi proses produksi ke dalam ratusan atau bahkan ribuan unit kecil. Dengan cara tersebut menurut Ford, ongkos dapat diminimalkan dan keuntungan akan dapat segera dimaksimalkan.

Ia sebetulnya mengadopsi gagasan FW Taylor (1856-1915), orang yang pertama kali menemukan manajemen industri secara keilmuan. Atas dasar gagasan Taylor tentang time dan motion, Ford menerapkannya pada cara produksi masal dengan pembagian kerja yang kompleks dan gerak kerja yang berulang-ulang (repetitive). Hingga saat ini, dipahami bahwa antara Ford dengan Taylor sebetulnya tidak ada kaitan ideologis apapun, kecuali kedekatan metodologis dari segi keilmuan. Akan tetapi, sampai saat ini, terutama dalam disiplin manajemen, orang menyebut Fordisme sekaligus juga menyangkut Taylorisme.

Pertanyaannya, apa yang bisa dipelajari dari paham Fordisme untuk revolusi hubungan perburuhan di jamannya? Pada dasarnya Fordisme ini dialami dalam industri-industri di sekitar kita. Terutama di tingkat pabrik, sebagai sebuah model memproduksi barang. Tetapi warisan Fordisme juga diadopsi oleh negara-negara industri baru, termasuk Indonesia khususnya dalam hal waktu & upah. Warisan Fordisme yang dapat kita lihat di sekitar kita antara lain: pertama, seperti yang disinggung sebelumnya dari sisi proses produksi dikenal spesialisasi kerja, sub-produksi atau sistem line. Ini bisa kita amati di pabrik sepatu, garmen atau bahkan pada produk lain. Menurut teori Ford, dengan cara memecah-mecah proses produksi ini, waktu yang dibutuhkan lebih efisien. Menurut catatan Ford, pada tahun 1913, dengan cara produksi demikian, ia membukukan pengurangan waktu produksi untuk membuat 1 buah sasis mobil dari 728 menit menjadi 93 menit. Kedua, pada tahun 1914 Ford mempopulerkan apa yang disebut upah minimum. Pada waktu itu ia memperkenalkan dengan apa yang dikenal dengan "1 hari 5 US dollar", dua kali lipat dari upah pabrik mobil sejenis. Pada saat yang sama ia juga memberlakukan pengurangan jam kerja dari 9 menjadi 8 jam sehari. Dan dari 8 jam kerja per hari, aktifitas pabrik tetap 24 jam dengan 3 sift kerja. Dari point ini, kiranya masih banyak kita temukan warisan Ford di berbagai tempat di Indonesia. Ketiga, Fordisme sebetulnya menerapkan sisi loyalitas buruh, aturan yang ketat, memata-matai buruh dan menggunakan kekerasan untuk mencegah terbangunnya kekuatan. Dalam konteks ini, tidak ada ruang bagi inovasi dan partisipasi buruh dalam kebijakan perusahaan. Maka dalam tradisi Fordisme, bisa dikatakan sebagai anti-serikat buruh.

Secara lebih sederhana, Fordisme merupakan model industri yang semata-mata menekankan ketrampilan-ritmis fisik dan mengesampingkan aspek intelektual dalam proses produksi. Dari sisi proses lebih mengedepankan mekanisasi, rutinisasi, penyederhanaan pekerjaan, fragmentasi produksi, spesialiasi, kecepatan kerja dan pemaksaan lebih besar dari pada persetujuan dalam hubungan kerja. Bahkan Ford juga menolak adanya otomatisasi dalam proses produksi mobilnya. Ia menyatakan ini dengan kata-kata "robot tidak akan bisa membeli mobil yang diproduksinya sendiri".

Fordisme juga dipandang bukan hanya sebagai sebuah sistem produksi massal, tetapi juga, menjadi model hubungan sosial dalam sejarah kapitalisme. Sebab, setelah dihantam oleh depresi besar tahun 1930, muncullah welfarisme yang diinspirasikan oleh ekonom J.M. Keynes. Berkat Keynes, ada perangkat teoritis untuk membuat kebijakan ekonomi yang intervensionis dengan mengedepankan peran negara yang lebih besar dalam pengelolaan ekonomi. Dan memang pada waktu itu banyak negara-negara Eropa hancur oleh perang. Maka, welfarisme (negara kesejahteraan) yang menganjurkan adanya subsidi, perlindungan dan bantuan negara terhadap warga juga diterapkan dalam konteks industri. Oleh karena itu, kaitannya dengan kebijakan welfarisme, Fordisme memiliki beberapa varian yang diterapkan dalam industri di negara yang berbeda-beda.

Tabel 1: Varian-varian paham Fordisme yang pernah diterapkan

Regim Fordisme
Karakteristik

Contoh negara yang menerapkan

Fordisme klasik

Produksi dan konsumsi massal oleh negara kesejahteraan dan demokrasi-sosial

USA

Fordisme yang lentur

(Flex-Fordism)

Desentraliasi atau negara federal. Kerja sama yang lekat antara finansial dan modal industri, termasuk fasilitas kerja sama antar perusahaan

Jerman Barat

Fordisme yang cacat

Integrasi yang tidak memadai antara finansial dan modal produktif di tingkat negara-bangsa. Sebuah politik kolot dan banyak hambatan

UK

Fordisme negara

Negara memainkan peran utama dalam penciptaan dan syarat-syarat produksi masal, termasuk kontrol negara atas kinerja industri.

Perancis

Fordisme yang terlambat

Buruh murah yang segera didekatkan dengan inti dari Fordisme. Campur tangan pemerintah memiliki peran kunci dalam mempercepat industrialisasi, terutama di tahun 60-an

Italia & Spanyol

Fordisme pinggiran

Produk lokal yang diikuti oleh ekspor barang hasil industri. Struktur negara yang otoriter dan berpasangan dengan gerakan demokratisasi, upaya-upaya untuk menyamai sistem akumulasi Fordisme, tetapi tidak dikaitkan dengan aturan sosialnya.

Mexico & Brasil

Fordisme rasial

Kebijakan tenaga kerja yang dualistik. Memberikan hak lebih pada kaum minoritas dari kulit putih dalam hal kondisi kerja dan pengupahan tetapi mengeksploitasi kaum mayoritas kulit hitam melalui struktur negara yang otoriter

Afrika Selatan

Taylorisme primitif

Proses mempekerjakan secara Tayloris dengan suply tenaga kerja terus menerus. Eksploitasi berdarah, tekanan sosial yang tinggi dan negara yang diktator

Bangladesh, Malaysia & Filipina

Fordisme hibrida

Profit yang didorong oleh ekspansi berdasarkan atas modifikasi dari model Taylorisme. Pasar internal dikerucutkan, segmentasi sosial dan dipadu dengan negara kesejahteraan

Jepang

Sumber: diadaptasi dari Ronaldo Munck, Globalization and Labour: The New Great Transformation, London, Zid Books, 2003; hal. 33.

Hingga saat ini, industri model Fordisme ini sudah mulai ditinggalkan, terutama di negara-negara maju dimana semula model ini dipuja. Tingkat konsumsi massal yang menjadi daya penggeraknya sudah mengalami kejenuhan. Pendeknya Fordisme sudah mengalami krisis, seiring dengan tawaran-tawaran baru yang dihembuskan oleh regim pasar bebas. Masihkah Fordisme bertahan di Indonesia?

Regim post-Fordisme: fleksibilitas dan berbagai variannya

Selamat datang post-Fordisme. Sekurang-kurangnya para pemilik modal akan menyambut demikian. Tetapi, berbeda dengan kaum buruh yang akan segera meratapinya. Rejim post-Fordisme tidak lain adalah regim fleksibilitas hubungan kerja. Hal ini kiranya telah diyakini sebagai perubahan besar dalam hubungan industrial, di mana kelenturan itu juga berarti ketidakpastian. Era Fordisme memang pernah mengalami jaman keemasannya, setidaknya sampai akhir tahun 70-an. Tetapi, dengan kembalinya pemujaan keramat terhadap pasar bebas, fleksibilitas seolah mendapat penegasan. Dan sekarang, telah menjadi kredo baru dalam ekonomi ketenagakerjaan yang segera dipuja-puja para pengusaha. Tetapi menjadi bencana baru bagi buruh.

Sebagai sebuah rejim baru dalam hubungan industrial, konsep fleksibilitas diterapkan dalam berbagai variasi. Dalam konteks industri, varian proses dari fleksibilitas ini sebagai berikut:

Pertama, finansialisasi, yakni model investasi atau industri yang ditanam dalam bentuk finansial. Apabila ada kata-kata gerakan buruh tidak selincah gerak modal, maka industri yang lebih diminati adalah sektor yang punya fleksibilitas tinggi dan seminimal mungkin membutuhkan tenaga kerja. Sektor finansial menjadi pilihan bisnis di jaman pasar bebas seperti ini. Karena, jika dulu uang menjadi alat tukar barang dan jasa, tetapi kini telah menjadi barang dan jasa itu sendiri.

Kedua, informalisasi, yakni proses produksi yang disub-kontrakkan pada rumah tangga. Proses ini juga sering disebut “Brasilianisasi” atau “thirdworldisasi” pola industri. Mengapa disebut demikian, karena proses informalisasi merupakan tipikal yang terjadi di Brasil. Informalisasi proses produksi industri ini kemudian melahirkan apa yang disebut homeworkers, teleworkers, family/unpaid workers. Pola industri tipikal Brasil ini, kemudian diadopsi sebagai pola industri post-fordisme ini. Dalam konteks fleksibilitas, menciptakan jarak hubungan kerja (majikan-buruh) sejauh mungkin dan meloloskan diri dari kontrol regulasi negara segelap mungkin.

Ketiga, feminisasi pasar kerja. Dalam konteks pembagian kerja di sektor industri, angkatan kerja kaum perempuan mengalami perubahan yang cukup drastis. Artinya partisipasi kaum perempuan dalam sektor industri meningkat. Di negara-negara industri maju, hingga tahun 2000, tingkat partisipasi perempuan meningkat rata-rata di atas 50 % dan negara-negara berkembang di atas 30 % (Munck, 2003; 9). Tingkat kenaikan partisipasi ini sebetulnya tidak berkaitan dengan issu keadilan gender dalam sektor industri. Dari sisi fleksibilitas, lebih mengedepankan penggunaan tenaga kerja perempuan untuk sektor industri yang unskilled dengan motif utama buruh murah (cheap labour). Ini sebetulnya berdekatan dengan konteks informalisasi atau brasilianisasi. Dan ini mesti dilihat dalam konteks new international division of labour (NIDL). Maka feminisasi dalam kacamata fleksibilitas hubungan kerja adalah mobilitas territorial yang dijiwai oleh upah murah dalam pembagian kerja internasional. Oleh karena itu antara feminisasi dan thirdworldisasi adalah dua sisi dari mata uang yang sama dalam rejim fleksibilitas.

Keempat, deteritorialisasi yang menunjuk pada tercabutnya kinerja bisnis/industri dari keterkaitan lekat dengan tanggung jawab sosial pada negara atau warga negara di mana sebuah bisnis itu beroperasi. Ini berarti bahwa bisnis, itu punya mekanismenya sendiri yang keramat tanpa harus tunduk pada regulasi negara. Dalam konteks fleksibilitas, bisnis atau industri ada kecenderungan kuat untuk melepaskan diri dari cengkraman kontrol pemerintah.

Tabel 2: Karakteristik regim Fordisme dan post-Fordisme/Fleksibilitas

Kategori

Fordisme

Post-Fordisme/Fleksibilitas

Regulasi ekonomi

Keynesian

Moneterisme

Karakter pasar

Massal

Kecil/berdasarkan tempat

Gaya hidup

Konformisme

Pluralistik

Sistem manajemen

Sentralistik

Desentraliasi dan jaringan

Karakter organisasi

Birokrasi

Non-hierarkhis

Sumber regulasi

Nagara/pemerintah/nasional

Global/market

Sektor yang mendominasi

Konsumsi

Finansial

Tuntutan ketrampilan

De-skilling

Multi skilling/multi-tasking

Karakter buruh

Massal

Kecil

Karakter regulasi

Kaku/rigid

Fleksibel

Sistem produksi

Assembly line

Fleksibel

Karakter masyarakat

Welfarisme

Privatisme

Daya penggerak

Resources/supply

Permintaan/demand

Karakter produksi

Produk standard/maksimal stok

Diferensial/minimal stok

Mobilitas

Integrasi vertikal

Disintegrasi vertikal

Sumber; diadaptasi dari Ronaldo Munck, Globalization and Labour, London: Zid Book, 2003, hal. 94.

Pada table di atas, menunjukkan bahwa perubahan industri yang fleksibel berdampak pada kebijakan yang lain. Dari sisi ini, kita bisa melihat proses pergeseran kekuasaan dalam ketenagakerjaan. Bila di era Fordisme, negara masih banyak campur tangan, tetapi di regim post-Fordisme, pasarlah yang lebih menentukan. Ini artinya bahwa kekuasaan itu telah bergeser dari state ke market. Di dalam konteks kasus-kasus perselisihan perburuhan yang terjadi di sekitar kita, rupanya akan segera terlihat adanya kekuasaan yang bertingkat. Buruh pada akhirnya menjadi korban bulan-bulanan baik oleh negara maupun oleh pasar. Kekuasaan market atas buruh berbentuk PHK, pergantian pemilik/pengelola, relokasi, sub-kontrak dalam hubungan kerja yang fleksibel. Kekuasaan negara atas buruh nampak dalam praktek intimidasi, kekerasan dan pembatasan-pembatasan gerakan. Lengkaplah sudah gerakan buruh harus menghadapi lemahnya aparatus negara dalam perlindungan dan kuatnya sistem pasar yang semakin luas.

Fleksibilitas hubungan industrial menurut OECD

Sejak tahun 70-an negara-negara yang tergabung dalam OECD (Organization of Economic Cooperation and Development) yang sebagian besar anggotanya adalah negara-negara industri maju, mulai memperkenalkan dan mempraktekkan fleksibilitas. Pola-pola fleksibilitas hubungan industrial yang dipraktekkan ini lalu semakin menyebar luas ke negara-negara berkembang. Setidaknya menurut studi yang dibuat oleh Guy Standing (1999) dan Ronaldo Munck (2003) menyatakan hal itu. Tentang fleksibilitas ini juga pernah di gambarkan secara gamblang oleh A. Prasetyantoko dalam berbagai kesempatan.

Menurut Guy Standing dan Ronaldo Munck yang melakukan studi tentang tipe-tipe fleksibilitas hubungan industrial di negara-negara OECD dan juga studi yang dilakukan oleh V. Monastiriotis menyebutkan bahwa fleksibilitas telah menjadi mode baru di negara-negara maju. Tuntutan akan fleksibilitas itu sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh sebagai berikut: pertama, faktor ketidakpastian industri secara eksternal yakni meningkatnya iklim kompetisi, risiko finansial dan ketidakpastian permintaan produk. Kedua, kecenderungan dan menguatnya aturan pasar yang menentukan industri. Ketiga, kecenderungan untuk memperkecil dan melenturkan bentuk dan strategi perusahaan.

Hasil studi Standing & Munck, menyebutkan tipe-tipe fleksibilitas sebagai berikut:

1. Fleksibilitas proses dan organisasi produksi. Ini merupakan upaya untuk merampingkan struktur organisasi produksi dan memperkecil skala perusahaan. Maka sebagaimana disebut sebelumnya fleksibilitas organisasi produksi ditandai dengan adanya sub-kontrak, fragmentasi, informalisasi dan disintegrasi. Dari sini, bentuk perusahaan lebih pada jaringan.

2. Fleksibilitas sistem pengupahan. Fleksibilitas ini lebih pada perubahan struktur upah. Yakni, memperkecil skala upah tetap baik yang berdasarkan jam kerja (time rate) dan atau hasil kerja/produksi (piece rate). Sedang variable upah yang tidak tetap seperti; bonus, insentif, pembagian keuntungan dipakai sebagai acuan, karena ini lebih fleksibel dalam pengalaman OECD. Jadi upah disesuaikan dengan produktifitas yang dihasilkan dan kondisi pasar.

3. Fleksibilitas dalam labour costs. Pada intinya pengurangan biaya-biaya yang menyangkut subsidi-subsidi yang harus dikeluarkan perusahaan untuk buruh. Subsidi-subsidi itu misalnya biaya: kesehatan, pajak, training, perlindungan, birokrasi, dst.

4. Fleksibilitas tenaga kerja dari sisi supply. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja, kapasitas produksi dan jenis pekerjaannya. Fleksibilitas jenis ini dapat dilihat di lapangan berupa: buruh kontrak (kelompok atau individual) dengan berbagai variannya, buruh rumahan, teleworkers, black-workers dan flexi-workers.

5. Fleksibilitas fungsional. Jenis pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha untuk menyesuaikan diri pada fluktuasi pasar produksinya. Dalam konteks jenis pekerjaan maka muncul istilah multi-skilling dan multi-tasking. Buruh dituntut memiliki lebih dari satu ketrampilan supaya bisa mengerjakan berbagai jenis pekerjaan.

6. Fleksibilitas struktur pekerjaan. Hampir sama dengan fleksibilitas fungsional, tetapi lebih menekankan pada tiadanya promosi atau peningkatan profesional baik dalam segi jenis pekerjaan maupun tingkat upah.

Rupa-rupanya tipe-tipe fleksibilitas yang dipraktekkan di negara-negara OECD juga dapat ditemukan di berbagai industri di sekitar kita. V. Monastiriotis menggambarkan bentuk fleksibilitas pasar kerja sebagai berikut:

Skema: Labour Market Flexibility :

Labor Market Flexibility :

1. Fungsional - Produksi

2. Labor Cost

3. Sisi Penawaran

1. Fungsional – Produksi

- Fleksibilitas Jumlah tenaga kerja

- Fleksibilitas Jenis Pekerjaan

2.. Labor Cost

- Ditentukan oleh cadangan upah

- Ditentukan oleh upah rata-rata

- Fleksibilitas Biaya non-upah

3. Sisi Penawaran

- Mobilitas Buruh (teritorial, sektoral)

- Fleksibilitas dalam keahlian/ketrampilan

Sumber; diadaptasi dari V. Monastiriotis, A Panel Regional Indicators of Labour market Flexibility in the UK, 1979-1998, Dept. of Economics-Univ. of London, 2003.

Respon serikat buruh

Sulit memang untuk melacak sejauh mana respon serikat-serikat buruh terhadap perubahan pola fleksibilitas ini. International Conference of Free Trade Union (ICFTU) juga belum terlalu jelas menanggapi ini. Dalam catatan Munck, dalam konferensi ICFTU tahun 1999-2000 menyatakan demikian: ke depan gerakan buruh akan menghadapi persoalan-persoalan: pertama, perubahan pola hubungan industrial yang berpengaruh pada menurunnya keanggotaan serikat buruh oleh karena berkurangnya kelas buruh padat karya. Kedua, perubahan akan hubungan buruh-majikan yang semakin meninggalkan kompromi-kompromi sosial dan jaminan hak-hak buruh oleh modal. Ketiga, status publik serikat buruh yang semakin terbatas karena berkurangnya campur tangan negara atas perlindungan buruh. Keempat, ketidakpastian kondisi ekonomi yang dikuasai oleh cepatnya gerak modal finansial. Kelima, hubungan industrial yang semakin ditentukan oleh regulasi pasar.

Bahan acuan:

Monastiriotis, V, A Panel Regional Indicators of Labour market Flexibility in the UK, 1979-1998, Dept. of Economics-Univ. of London, 2003. ]

Munck, Ronaldo, Globalization and Labour: The New Great Transformation, London: Zid Books, 2003.

Standing, Guy, Global Labour Flexibility: Seeking Distributive Justice, USA: St. Martin,s Press Inc, 1999.

Stiglitz, Joseph E, Globalization and Its Discontents, USA: Penguin Book, 2002.

Di Tilla, Rafael & Robert MacCulloh, The Consequences of LMF, Working Paper : Institute for European Integration Studies, Friedrich Wilhelms Universitat Bonn, 1999.



[i] Aktivis Perburuhan, bekerja di Lembaga Daya Dharma – Keuskupan Agung Jakarta. Tinggal di Tangerang.

[ii] Joseph E. Stiglitz, Globalization and its Discontents, 2002; hal.84.

[iii] Rafael Di Tilla & Robert MacCulloh, The Consequences of LMF", 1999; hal.4.


This page is powered by Blogger. Isn't yours?