Wednesday, October 18, 2006

Gerakan Buruh Dalam Perspektif Gender

Oleh: L. Gathot Widyanata[1]

Pengantar

Pasar tenaga kerja saat ini didominasi oleh buruh perempuan. Peluang kerja bagi perempuan lebih memungkinkan ketimbang laki-laki. Pilihan strategi industrialisasi di Indonesia tampaknya masih memperlihatkan lebih suka menggunakan tenaga kerja perempuan ketimbang buruh laki-laki. Sepintas, hal ini merupakan kemajuan bagi perempuan, karena akses buruh perempuan lebih besar. Apakah demikian? Atau ketidakadilan gender baru muncul?

Sejarah memperlihatkan bahwa karakteristik dan kenyataan bahwa perempuan merupakan tenaga kerja yang biasa dibayar lebih murah dan memiliki kualitas-kualitas seperti: mudah tunduk, gampang dikendalikan dan mudah diintimidasi. Karakteristik yang demikian, dianggap daya tarik utama mereka untuk diterima bekerja sebagai buruh.

Kebijakan Labour Market Flexibility (LMF) yang ditawarkan oleh International Monetary Fund (IMF) untuk menciptakan lapangan kerja di republik ini, pada gilirannya memperendah upah dan menghapus jaminan pekerjaan. Disinilah letak ketidakadilan gender, ketika LMF melibas sektor industri padat karya yang didominasi oleh buruh perempuan.

Pilihan perlawanan buruh perempuan harus berangkat dari dirinya. Dialah aktor perubahan. Dari merubah diri, merebut kekuasaan ditingkat SB dan masuk ke lingkar politik.

Buruh Perempuan Menghadapi Pemodal

Ibu Andre, begitu nama panggilan seorang buruh perempuan. Bagaikan selibritis, sepanjang gang tak seorangpun tidak mengenal Ibu Andre. Andre adalah nama anak sulungnya yang sekarang duduk di kelas II Sekolah Dasar Negeri, jauh dari hiruk-pikuk keramaian kota.

Ibu Andre bekerja di perusahaan padat karya yang menghasilkan produk sepatu olah raga bermerek. PT. Koryo yang terletak di kawasan industri desa Gembor Tangerang adalah satu-satunya gantungan hidupnya. Upah yang didapat tidak jauh berbeda dengan teman-teman buruh padat karya lainnya, yakni sebesar UMK (Upah Minimum Kabupaten).

Seringkali ia bekerja lembur dengan imbalan upah lembur mati. Upah lembur mati artinya walaupun bekerja lembur tiga jam namun hanya dibayar lembur satu jam.Tak jarang ia pulang jam 20.00 hanya memenuhi kerja target produksi. Ia harus bekerja tak kenal lelah untuk menghidupi lima orang: yaitu diri sendiri, ketiga anaknya yang masih kecil dan suaminya yang sudah lama menganggur.

Ketika ibu Andre tiba di rumah, sang suami siap-siap untuk keluar rumah. Semula suami diharapkan dapat terlibat menyelesaikan kerja domestik. Belakangan ia menuntut selembar uang untuk judi, pulang ke rumah ketika subuh tiba.

Suatu ketika kedua anaknya yang masih balita jatuh sakit. Ia tidak mampu membiayai pengobatan anak-anaknya. Ia tak tahan lagi menanggung beban hidup yang terlalu berat. Ibu Andre memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ia berharap mendapat pesangon dari perusahaannya. Ia dan anak-anaknya memutuskan pulang ke tanah kelahirannya.

Pengalaman ibu Andre memperlihatkan kondisi yang membanggakan sekaligus mengenaskan. Membanggakan bahwa ia tampil di ruang publik: bekerja di pabrik. Dengan bekerja ia dapat mempertahankan hidup dan memperoleh pengakuan sosial dari masyarakat. Mengenaskan, karena ia mendapat upah yang rendah dan terpaksa kerja lembur untuk menambah penghasilannya. Upah buruh rendah sebagai strategi untuk meningkatkan produksi. Bila ingin mendapat upah lebih, kerja lembur yang ditawarkan pada buruh. Di berbagai perusahaan besar, jam kerja yang terentang antara 10-15 jam sehari bukanlah sebuah perkecualiaan. Upah lembur pun tidak adil sebab menganut jam mati. Sepulang kerja ia terpaksa terlibat keras dalam kerja domestik.

Ibu Andre sebagai buruh perempuan mengalami praktek kekerasan (eksploitasi) di tempat kerja dan di dalam keluarga. Pertama, ketika negara berselingkuh dengan kaum kapitalis memanfaatkan buruh perempuan sebagai strategi industrial yang menguntungkan segelintir orang. Kedua, ia mengalami tindak kekerasan (penindasan) didalam keluarga, sebagai buntut terhapusnya jaminan pekerjaan”. Ia harus memikul beban ganda: tanggung jawab ekonomi dan domestik.

Pengalaman ibu Andre adalah potret ketidakadilan industri terhadap buruh perempuan. Dalam mainstream gender dikenal sebagai ketidakadilan gender. Bagaimana pengalaman ibu Andre yang sarat dengan ketidakadilan gender dijelaskan? Ketidakadilan yang dialami oleh ibu Andre juga banyak dirasa oleh jutaan buruh perempuan.

Buruh Perempuan & Ketidakadilan Gender

1. Strategi Industrialisasi & Eksploitasi Buruh Perempuan

Realita ruang kerja padat karya di republik ini didominasi oleh buruh perempuan baik berstatus buruh tetap atau buruh kontrak. Sepintas hal ini merupakan kemajuan bagi perempuan, karena akses ke pasar tenaga kerja lebih besar ketimbang laki-laki.

Kerja merupakan cara manusia untuk membentuk dunia sekelilingnya lewat proses produksi. Akses perempuan ke pekerjaan dan nafkah juga sangat mendasarkan untuk memastikan pertahanan hidup persoalannya serta untuk memperoleh pengakuan sosial. Tetapi apakah demikian?

Perusahaan-perusahaan yang dikembangkan di Indonesia banyak menggunakan tenaga kerja perempuan. Kinerja produksi dirancang hanya mampu dilakukan oleh tenaga perempuan; yakni perusahaan manufaktur. Jenis industri manufacturing membutuhkan karakter tenaga kerja yang unskill serta upah murah. Misalnya: industri garmen, konveksi, sepatu dan makanan.

Dalam dekade sejarah 1980-an pertumbuhan industrialisasi di Indonesia berjalan seiring dengan kenaikan jumlah perempuan yang bekerja di sektor ini. Oleh sebab itu, pasar tenaga kerja didominasi oleh tenaga perempuan. Pada masa awal Orde Baru berkuasa, politik perburuhan dirancang sebagai bagian dari depolitisasi kehidupan politik. Fase industrialisasi pada waktu itu, berorientasi ekspor pada gilirannya memperkukuh pola pengaturan politik perburuhan melalui pendekatan korporatisme negara dan represi. Kibijakan demikian untuk menyediakan kondisi umum bagi akumulasi modal dalam bentuk buruh murah dan patuh secara politik, sesuai dengan politik ekonomi Orde Baru. Pada fase ini dan berikutnya, pemerintah RI pun sangat gencar mempromosikan upah murah sebagai keunggulan komparatif guna menarik investasi demi pertumbuhan ekspor dan memperluas kesempatan kerja.

Jaman rezim reformasi mengetrapkan kebijakan fleksibilitas kerja. Fleksibilitas kerja diperlukan agar dapat terjadi penyerapan tenaga kerja lebih tinggi”. Melalui berbagai bentuk, fleksibilitas kerja melahirkan model kerja kontrak dan outsourcing. UU no. 13/2003 merupakan materi iklan bagi pasar dunia bahwa buruh(perempuan) Indonesia telah berada dalam keadaan fleksibel. UU no. 13/2003 merupakan simbol kebijakan neoliberal yang ditujukan untuk menjual buruh (perempuan) di dalam kompetisi pasar dunia.

Maria A. Sardjono, novelis, dalam artikelnya “Ketidakadilan Gender Dalam Media Massa” yang dimuat dalam bunga rampai “Budaya Adil, Membangun Habitus Baru” terbit 2005, oleh PSE KAJ, mengingatkan bahwa ada pergeseran telak dalam dunia bisnis dimana fungsi tubuh manusia telah berubah ke arah fungsi ekonomi dan politik dagang, masuk ke jaringan kapitalisme patriarkhi yang hanya menguntungkan pemilik modal yang kebanyakan laki-laki. Dalam keramaian persaingan bisnis, manusia terutama perempuan, menjadi rentan terhadap dominasi dunia perdagangan dan mudah tergelincir menjadi obyek atau bagian dari alat produksi.

2. Kebijakan Labour Market Flexibility & Peminggiran Buruh Perempuan

Proses “gladiator” perusahaan terus tak dapat dibendung. Perusahaan terus menggerus buruh sambil meraup keuntungan yang sebesar-besarnya dengan menekan negara untuk menerima kebijakan LMF. Kebijakan LMF sengaja dibawa oleh IMF kepada negara-negara miskin yang berhutang kepadanya (termasuk Indonesia) dalam rangka reformasi ekonomi. LMF merupakan anak kandung mobilitas modal dalam globalisasi yang memburu tingkat laba paling tinggi, yang pada gilirannya mensyaratkan tingkat produktifitas kerja yang tinggi pula (Tempo, Desember 2004).

LMF beranak- pinak menjadi tipe-tipe fleksibilitas; Pertama, flesibilitas proses dan organisasi produksi. Artinya ada upaya perampingan struktur organisasi produksi dan memperkecil skala perusahaan. Proses fleksibilitas macam ini menghasilkan perusahaan sub kontrak dan hubungan kerja individual. Dari hasil pendataan di Jawa Timur terdapat 48 pabrik yang memperkerjakan 34.234 orang buruh. Dari jumlah tersebut 32% (L:4919 + P:6546) berstatus tetap; 48% (L: 7686+ P:8882) berstatus kontrak dan 20% (L: 1946 + P: 4255) berstatus harian lepas (sumber: hasil pendataan lapangan SB-SB&FPBN wilayah Timur, Sep-Okt 2004). Sedangkan di wilayah Barat, dari 91 perusahaan yang terdata, terdapat 57 perusahaan atau 62,6% sudah mempraktekan sistem kerja kontrak (sumber: hasil pendataan lapangan SB-SB&FPBN wilayah Barat, Sep-Okt 2004).

Kedua, Fleksibilitas pada sistem pengupahan: hendak mengubah struktur upah. Yakni memperkecil skala upah tetap, baik yang berdasarkan jam kerja atau hasil kerja. Dengan kata lain, upah disesuaikan dengan produktifitas dan kondisi pasar. Di Jawa Timur ditemukan 17 perusahaan yang memberikan upah buruh dengan status kontrak dan harian lepas dibawah UMK; 16 perusahaan memberikan upah sesuai dengan UMK. Di barat juga ditemukan bahwa 87 perusahaan memberi upah buruh kontrak hanya sebatas UMK tanpa ada tunjangan lain.

Ketiga, Feksibilitas terjadi pada labour cost. Artinya ada pengurangan biaya-biaya yang menyangkut subsidi-subsidi yang dikeluarkan untuk buruh. Buruh tidak lagi menikmati fasilitas subsidi kesehatan, pajak, training, perlindungan dan birokrasi.

Keempat, fleksibilitas diberlakukan pada tenaga kerja dari sisi supply. Jumlah tenaga kerja disesuaikan dengan kebutuhan pemberi kerja, kapasitas produksi dan jenis pekerjaannya. Permintaan yang demikian, membuka bisnis perekrut tenaga kerja (outsourcing tenaga kerja). Perekrut tenaga kerja bisa berbentuk CV, Yayasan, tidak jarang memakai oknum. Agen-agen tenaga kerja kontrak biasanya memungut uang dari calon tenaga kerja sebesar: Rp. 300.000,- (untuk kontrak 1-3 bulan); Rp. 600.000,-(untuk kontrak 1 tahun). Kalau kelurahan pungutannya Rp. 300.000 keatas per kepala (hasil pendataan lapangan bersama SB-SB &FPBN wialayah barat Sept-Okt 2004).

Kelima, fleksibilitas terjadi pada tingkat fungsional. Jenis pekerjaan disesuaikan dengan kebutuhan pengusaha untuk menyesuaikan diri pada fluktuasi pasar produksinya. Dalam konteks jenis pekerjaan maka muncul istilah “multi skilling” dan “multi tasking”. Buruh dituntut memiliki lebih dari satu ketrampilan, bisa mengerjakan berbagai jenis pekerjaan.

Keenam, fleksibilitas pada struktur pekerjaan: lebih tiadanya promosi atau peningkatan profesional, baik dalam jenis pekerjaan atau tingkat upah. Buruh diposisikan pada tingkat pekerjaan dan upah yang sama dalam jangka waktu tertentu.

Fleksibilitas dicapai dengan menyerap sebanyak-banyaknya buruh perempuan ke pasar kerja untuk melakukan kerja-kerja yang sederhana, rutin-manual, dan relatif tidak trampil. Untuk mendorong fleksibilitas lebih jauh, maka masuknya perempuan ke pasar kerja adalah melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing. Dengan sistem kerja kontrak dan outsourcingkontrak dan outsourcing merupakan alat para pengusaha untuk memasukan buruh-buruh perempuan yang tak trampil ke pasar kerja. ke 6 fleksibilitas tercapai. Jadi jelas sistem kerja

Penerapan LMF di Indonesia menurut para pakar ekonom kontra neoliberal adalah situasi yang berpotensi semakin menurunkan kualitas hidup sebagian besar kelompok buruh. Praktek LMF secara faktual sudah terjadi sejak lama. Kebijakan pemerintahan yang mengadopsi prinsip fleksibilitas tersebut hanya akan membenarkan sebuah mekanisme yang cenderung meminggirkan keberadaan tenaga kerja, khususnya tenaga kerja kasar (blue-collar worker). Kebijakan LMF telah melibas perusahaan – perusahaan pada tkarya di mana buruhnya didominasi oleh buruh perempuan. Maka korban peminggiran yang paling besar adalah buruh perempuan.

Fakta menunjukan nilai upah yang ada seringkali tidak sesuai dengan jam kerja dan beban kerja buruh. Disisi lain ada persoalan minimnya upah dan tunjangan kesejahteraan bagi buruh berjenis kelamin perempuan. Terlebih bagi perusahaan yang bergerak di sektor garmen dan tekstil, yang banyak menyerap buruh tanpa ketrampilan khusus. Pekerjaan demikian dianggap cocok untuk perempuan, sehingga dianggap pula untuk diupah rendah (Lembur- Edisi 4- Januari 2005).

Muji Kartika Rahayu, wakil direktur bidang operasional dan advokasi LBH Surabaya, dalam kesempatan lokakarya FPBN ke VII mengatakan bahwa: “upah minimum propinsi jauh bagi kebutuhan layak buruh. Apalagi bagi buruh perempuan yang memiliki kebutuhan khas perempuan (yang tidak dibutuhkan oleh laki-laki). Apalagi bagi buruh kontrak yang juga lebih rendah dari buruh tetap. Disisi lain tidak ada pilihan yang lebih baik.”. Buruh perempuan yang sudah bersuami (dari kalangan buruh juga) semakin rumit. Karena peluang bagi buruh laki-laki semakin kecil misalnya pasca PHK sangat sulit kerja lagi. Dengan upah yang jauh dari kebutuhan bujang tadi, semakin mencekik.

Upah yang menjadi gantungan kehidupan buruh (perempuan) ternyata justru memiskinkan. Bagaimana tidak? Mereka bekerja dan menghasilkan produk yang banyak, namun upahnya justru tidak seimbang dengan tenaga dan waktu yang dikeluarkan. Meskipun telah ada ratifikasi Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 tentang pengupahan yang sama bagi buruh perempuan dan laki-laki, tetapi sampai tahun ini tak ada kebijakan negara yang lahir untuk memperbaiki kondisi riil kesenjangan upah tersebut. Misalnya saja kebijakan negara yang tidak berpihak pada buruh perempuan; UU no. 13/2003 tidak melindungi buruh perempuan. Buruh perempuan dibiarkan melakukan negosiasi sendiri dengan pengusaha dalam menentukan kondisi-kondisi kerjanya, terutama pelaksanaan cuti haid dan upah yang diperolehnya.

B. Herry Priyono, dalam artikelnya mengatakan bahwa: “Upah buruh tergantung bukan lagi pada kontrak tetap yang seperti dulu, melainkan pada tingkat produktifitas kerja buruh, di pabrik atau perusahaan. Pada muaranya buruh dipaksa menemukan strategi survival seperti yang dilakukan oleh manajer, yaitu membuat diri menjadi bagian dari risiko finansial perusahaan dengan stock options dan semacamnya (Tempo, Desember 2004). Tentu itu terlalu berat bagi buruh. Sebab ada kesenjangan upah tinggi antara buruh dan manajer.”

Kebijakan Industrialisasi “Gender Biased

Dari uraian diatas ada fakta ketidakadilan gender terhadap buruh perempuan. Kalau terjadi ketidakadilan gender dalam hubungan industrial, siapa musuh besar buruh perempuan? Musuh dari gender defender bukan laki-laki tetapi ketidakadilan: kebijakan hubungan industrial yang tidak adil (Lokakarya FPBN VII, Februari 2005). Sehingga tujuan akhir dari analis dan gerakan adalah mewujudkan keadilan, baik laki-laki maupun perempuan. Pemenuhan hak buruh perempuan tidak mengurangi pemenuhan buruh laki-laki, justru sebaliknya. Jika kebijakan perburuhan didasarkan pada kepentingan perempuan, upah seharusnya jauh lebih besar sehingga bisa memenuhi standard kebutuhan layak.

Mengapa kebijakan industrialisasi gender biased? Arah dan kebijakan industrialisasi dikendalikan oleh kekuatan kelompok dominan dalam parlemen dan dengan sendirinya mengabdi pada kepentingan kelompok tersebut. Kelompok dominan memiliki cukup banyak wakil maupun tangan-tangan lain yang berpengaruh dalam parlemen. Itu berarti kepentingan mereka akan cukup terjamin dan terlindungi dalam tiap-tiap keputusan kebijakan yang diproduksi oleh parlemen. Parlemen sendiri secara umum dikuasai oleh laki-laki yang terbingkai dalam masyarakat feudalistik ataupun kapitalistik. Sebagai laki-laki mereka tentu akan melihat, memahami serta memaknai keadilan dalam perspektif laki-laki (patriach) yaitu mendahulukan laki-laki. Misal; UU no 13/2003, pasal 81 ayat 1 memperlihatkan produk hukum yang mencerminkan perspektif laki-laki bahwa buruh perempuan yang hendak mengambil hak cuti haid memiliki kewajiban untuk membuktikan bahwa dirinya merasakan sakit”.

“Pilihan” Perlawanan Buruh Perempuan

“Pilihan”(option) berarti putusan dan komitmen yang bebas. Pilihan atau opsi adalah sebuah solidaritas sukarela, mendalam terus menerus dalam dunia perburuhan. Secara konkrit, opsi berarti masuk dalam sebuah dunia yang tak dikenal (insignifikan). Namun opsi tidak hanya dilakukan oleh pihak eksternal tetapi harus dilaksanakan juga oleh pihak internal sendiri, yakni buruh perempuan.

1. Buruh perempuan menjadi fokus perubahan sebelum merubah kebijakan perburuhan yang tidak berkeadilan gender. Buruh perempuan menjadi aktor perubahan. Maka perubahan harus berangkat dari diri buruh perempuan yang akan melakukan perubahan. Menarik apa yang dikatakan oleh Nurul Arifin, artis dan aktivis perempuan dalam kolom wawancara bulletin “Lembur”, edisi 4 Desember 2004: “Buruh perempuan ayo belajar!” Tentang “belajar” ia menjelaskan: “Belajar, kapan dan dimanapun…akan membuat manusia maju. Belajar membentuk serikat buruh, belajar berorganisasi, belajar hukum perburuhan, belajar soal hak dan kewajiban buruh, belajar mendampingi kasus-kasus di pabrik, belajar bahasa Inggris, belajar komputer, dan lain sebagainya.”

Untuk memperjuangkan keadilan gender, buruh perempuan dituntut untuk sadar gender. Tidak sendirinya buruh perempuan memiliki sadar gender mengingat perspektif patriarkhis mengepungnya. Hanya dengan kemauan belajar untuk membongkar bekukan kekuatan patriarkhis buruh perempuan terbebaskan. Analisa gender merupakan piranti yang harus dimiliki oleh buruh perempuan untuk membongkar ketidakadilan gender. Buruh perempuan harus memiliki perspektif yang adil gender sehingga mampu melihat kepentingan gender perempuan bukan sebagai bagian dari kepentingan gender laki-laki.

2. Serikat buruh menjadi ujung tombak perubahan. Buruh perempuan berani merebut untuk duduk di kepengurusan serikat buruh. Bagaimana mungkin, serikat buruh yang didominasi oleh laki-laki akan tanggap terhadap kondisi buruh perempuan. Menjadikan serikat buruh yang ada sensitif gender- menjadi prasyarat utama dalam memperjuangkan kesejahteraan dan keadilan kolektif buruh Indonesia. Melibatkan partisipasi aktif buruh perempuan dalam kancah organisasi serikat buruh.

3. Pilihan strategi perlawan lainnya adalah masuk dalam lingkar politik atau menjadi oposisi yang diperhitungkan. Gerakan dengan masuk dalam lingkar politik sangat dibutuhkan karena di situlah kebijakan dibuat. Lingkar politik butuh orang-orang yang memiliki perspektif yang adil gender sehingga kebijakan yang dihasilkan oleh lingkar politik dapat dimaknai keadilan dalam perspektif yang adil gender. Posisi buruh perempuan sebagai obyek politik dan aktor pinggiran demokrasi harus digeser menjadi aktor sentral, dengan membuka akses yang sebesar-besarnya.(***)

Daftar Acuan dan Bacaan Terpilih

  1. Andang L Binawan, Al & Prasetyantoko, A, 2004, “Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia”, Jakarta, Buku Kompas.
  2. Bunga Rampai XI, 2005, “Budaya Adil Membangun Habitus Baru”, Jakarta, Sekertariat Komisi PSE/APP KAJ, LDD KAJ, Komisi PSE KWI.
  3. Chatib Basri, Mohammad, “Bekerja, tetapi Pekerjaan Tetapnya Mencari Pekerjaan…”. Dalam Kompas-Minggu , September 2003.
  4. FPBN, “Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja: Solusi untuk Siapa?”, rekaman proses Seminar Nasional, JMC Jakarta, 15 Desember 2004.
  5. Jurnal FPBN, no. I Mei-Oktober 2004, “LMF: Pasar Tenaga Kerja Pasar Karet”, Jakarta, Forum Pendamping Buruh Nasional.
  6. Kartika Rahayu, Puji, “FLM dalam Perspektif Gender” dalam makalah Lokakarya FPBN ke VII, Batu-Malang, Februari 2005.
  7. Rita Ruwiastuti Suyaalam, Maria, SH, “Hukum dan Keadilan Gender”, dalam makalah Lokakarya Persiapan Moot Court Berperspektif Keadilan Gender, Yogyakarta, Februari 2005.
  8. Suryomenggolo, Jafar, 2003, “Apakah Buruh Kontrak Terlindungi?”, Jakarta, Biro Pelayanan Buruh –LDD KAJ.
  9. Suryomenggolo, Jafar, 2003, “Tentang: Buruh Perempuan”, Jakarta, Biro Pelayanan Buruh-LDD KAJ.
  10. Suryomenggolo, Jafar, “ Menjual Buruh Perempuan di Pasar Dunia Lewat Hukum Perburuhan”, dalam makalah, 2003.
  11. YLBHI, 1998, “Pokok-Pokok Pikiran YLBHI Tentang: Reformasi Politik Perburuhan Nasional”, Jakarta, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.

[1] Penulis: bekerja di Biro Pelayanan Buruh Keuskupan Agung Jakarta, aktif di jaringan LSM perburuhan.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?