Friday, October 06, 2006

Memburu Revisi UU 13/2003:

Selamat tinggal proteksi, selamat datang liberalisasi

Oleh M. Sumartono

PJ FPBN wilayah Jabotabek dan Batam

Aktivis perburuhan Lembaga Daya Dharma Keuskupan Agung Jakarta

Sejak 8 Februari 2006 lalu, seakan mendung kelabu bagi sebagian besar kaum buruh di Indonesia. Pasalnya, tanggal tersebut tertera cap pada draft revisi UU 13/2003. Berbagai reaksi muncul sesudah draft tersebut tersebar di masyarakat. Komisi IX pun kaget, kenapa draft revisi sudah duluan muncul di publik. Serangkaian hearing terjadi, tanggal 27-28 Februari lalu antara Komisi IX DPR dengan FSBSI & KSPSI. Reaksi setelahnya menolak seluruh draft revisi itu. Sesudah itu, gelombang demonstrasi buruh terjadi di berbagai kota industri. Bahkan kota Magelang yang skala industrinya kecil pun tak luput dari gejolak demontrasi penolakan revisi UU 13/2003. Hampir tiap hari, Bundaran HI & Istana Negara tak pernah sepi dari aksi penolakan revisi, hingga puncaknya Rabu, 4 April lalu puluhan ribu buruh berdomentrasi, hingga dapat menembus istana Wapres dan 10 perwakilannya diterima Yusup Kalla. Lalu, Jumat 7 April, Presiden mengundang perwakilan SB, Apindo dan dari pihak pemerintah sendiri. Presiden mengatakan bahwa soal revisi UU 13/2003 ini perlu mulai dari nol lagi dengan melibatkan tripartite dan pihak eksternal. Presiden juga ingin menggandeng 5 PT negeri untuk mengkaji secara komprehensif soal UU ketenagakerjaan ini.

Pertanyaan yang muncul sekaligus kegelisahan buat kita semua adalah kemana kira-kira arah dari UU ketenagakerjaan kita ini? Semakin protektif atau semakin liberal kah bagi buruh? Di depan sana ada sebuah dilemma bagi pengusaha maupun tenaga kerja, di mana peran negara? Dan tertanggal 23 Maret 2006 lalu, muncul lagi draft revisi yang memuat 3 versi; versi asli rumusan UU 13/2003, versi pemerintah yang kontroversial dan versi Apindo. Akankah berlaku siapa cepat, siapa dapat pada UU ketenagakerjaan ini?

Revisi UU ketenagakerjaan: demi iklim investasi?

Melalui Kepres No.3/2006 yang terbit bulan Februari lalu, pemerintah mengeluarkan paket kebijakan perbaikan iklim investasi. Paket kebijakan tersebut memuat beberapa poin yang berkaitan dengan iklim investasi, antara lain; kepabeanan dan cukai, perpajakan, UKM/koperasi dan ketenagakerjaan. Bidang ketenagakerjaan sendiri secara tegas dikatakan soal perubahan UU 13/2003. poin-poin yang hendak diubah dari UU tersebut antara lain; PHK & pesangon, PKB, PKWT, Outsourcing, pengupahan, tenagakerja asing dan ketentuan mengenai hak istirahat panjang. Alasan klasik pemerintah diterbitkannya paket kebijakan ini adalah untuk menggenjot pertumbuhan, menarik investasi, menciptakan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan. Secara teoritis, tidak ada yang keliru dari argument tersebut dan memang angka pengangguran mencapai 11,6 juta jiwa. Persoalan etisnya adalah apa dan siapa yang menjadi faktor penyebab utama dari rendahnya investasi, pengangguran dan kemiskinan? Dalam konteks perburuhan, relevankah bila buruh dipandang sebagai faktor penghambat investasi dan dipandang pantas menjadi korban demi investasi? Hasil studi yang pro-bisnis/pengusaha pun, sebagaimana dilakukan oleh Bank Pembangunan Asia menyatakan bahwa ternyata banyak faktor yang menyebabkan iklim investasi di Indonesia lemah. Ternyata aturan ketenagakerjaan bukan menjadi faktor yang utama. Berikut cuplikan hasil studi tersebut;

Tabel 1: Hambatan-hambatan usaha di Indonesia

Jenis hambatan usaha

Urutan

Ketidakstabilan makro-ekonomi

1

Ketidakpastian kebijakan ekonomi

2

Korupsi di tingkat lokal

3

Korupsi di tingkat nasional

4

Tingkat pajak

5

Biaya finansial

6

Aturan ketenagakerjaan regional/daerah

7

Administrasi pajak

8

Hukum dan penyelesaian konflik

9

Peraturan ketenagakerjaan nasional

10

Kriminalitas

11

Listrik & energi

12

Ketrampilan & pendidikan tenaga kerja

13

Ijin usaha dan operasi tk regional/daerah

14

Transportasi

15

Pabean regional/daerah

16

Pabean nasional

17

Telekomunikasi

18

Pengadaan tanah

19

Sumber: Jalan Menuju Pemulihan: memperbaiki iklim investasi di Indonesia: Asian Development Bank, 2005 (working paper versi Bhs Indonesia)

Dari gambaran di atas menunjukkan bahwa banyak pekerjaan rumah pemerintah dalam memperbaiki iklim investasi untuk mendongkrak pertumbuhan dan lapangan kerja. Jelas bahwa masalah ketenagakerjaan bukan satu-satunya faktor penyebab rendahnya investasi. Bahkan, dari 19 poin hambatan usaha, sebagian besar ada pada internal birokrasi pemerintah. Pada konteks birokrasi, maka bisa diduga semua itu mencakup kompetensi, implementasi kebijakan dan kelembagaannya. Fakta lain menunjukkan bahwa menurut transparansi Internasional, index persepsi korupsi di Indonesia menempati angka 134 (2003) dan 137 di tahun 2005 (CPI report, Desember 2005). Angka tersebut menunjukkan bahwa inefisiensi birokrasi lah yang sebetulnya menjadi penghambat usaha dan bukan pihak lain.

Data yang dikeluarkan oleh World Investment Report, 2005 juga menyebutkan bahwa risiko investasi di negara-negara berkembang secara berututan sebagai berikut: 1) Ketidakstabilan finansial, 2) berubah-ubahnya harga minya dan bahan baku, 3) Ketidakstabilan politik & perang sipil, 3) rendahnya pertumbuhan ekonomi negara-negara industri baru 4) Ancaman terorisme global 5) naik-turun nilai tukar mata uang lokal 7) proteksionisme. Survey yang melibatkan 3 kelompok yakni Agen Promosi Investasi (IPAs), para ahli dan TNC itu tidak menyebutkan satu katapun soal ketenagakerjaan sebagai salah satu risiko investasi (WIR, 2005, hal 35)

Sementara itu, munculnya draft revisi UU 13/2003 yang menuai protes hampir seluruh serikat buruh di Indonesia yang menggendong klaim argumen bahwa masalah ketenagakerjaan sebagai penghambat utama masuknya investasi asing di Indonesia. Secara spesifik masalah ketenagakerjaan yang menjadi basis argumen adalah soal rigiditas aturan. Argumen ini dengan sendirinya menempatkan modal/investasi dengan buruh pada posisi yang asimetris. Penempatan yang asimetris ini kemudian berimplikasi pada memproteksi yang satu dan mengabaikan yang lain. Investasi lebih diproteksi, karena punya nilai ekonomi pada birokrasi, sementara buruh diabaikan karena dianggap liability bagi neraca pemerintah maupun investasi. Posisi ini amat jelas pada pasal-pasal kontroversial revisi UU 13/2003 yang sementara ini dibatalkan itu.

Liberalisasi kebijakan perburuhan: solusi atau petaka bagi buruh?

Salah satu motif utama yang diusung pemerintah pada rencana revisi UU 13/2003 ini adalah menarik investasi dan menciptakan lapangan kerja demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan mengurangi angka kemiskinan. Benarkah klaim itu? Barangkali klaim itu akan benar bila rigiditas dan proteksionisme UU ketenagakerjaan menjadi satu-satunya penyebab minimnya investasi. Tetapi pada kenyataannya masalah ketenagakerjaan ternyata bukan menjadi risiko utama pun oleh para investor. Justru persoalan birokrasi pemerintahlah sumber penyebabnya. Berbagai studi telah menunjukkan pokok ini.

Sudah bukan rahasia lagi, sejak krisis finansial yang menimpa beberapa negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mulai terengah-engah untuk memulihkan kondisi. Upaya pemulihan tersebut, menjadi berat karena justru melalui beban utang yang pada waktu itu diberi kucuran sebesar 23 milyar US dollar dari pihak IMF. Implikasi langsung sebagai “pasien” IMF adalah bahwa hampir seluruh pemulihan ekonomi harus mengikuti kehendak “dokter”nya. Sebagaimana kita tahu, resep generiknya adalah liberalisasi, deregulasi dan privatisasi. Pemangkasan belanja publik pemerintah, privatisasi layanan dasar hingga penjulan asset-aset negara. Yang terjadi kemudian pemerintah harus menanggung biaya krisis yang cukup besar dengan menyedot sebagian besar APBN. Salah satunya adalah BLBI yang menelan hingga lebih dari 600 triyun rupiah sejak 1998. Itu juga salah satu bentuk subsidi bagi dunia usaha. Warisan yang tertinggal adalah utang pemerintah dan swasta yang masih lebih dari 1000 trilyun rupiah.

Aroma liberalisasi ketenagakerjaan di Indonesia sudah mulai tercium sejak berlakunya UU 13/2003, bahkan bisa dibilang sebelumnya. Setidaknya, perubahan dan atau penggantian UU ketenagakerjaan yang pernah terjadi menunjukkan pemangkasan-pemangkasan isi perlindungan terhadap buruh. Pada draft revisi UU 13/2003 (psl 35) secara eksplisit disebutkan bahwa kewajiban akan perlindungan oleh pemberi kerja dihapus. Jelas bahwa draft revisi ini telah menghilangkan seluruh komponen yang menyangkut perlindungan terhadap buruh. Bentuk-bentuk liberalisasi sebagaimana tercermin dalam draft revisi UU 13/2003 antara lain: perluasan/tidak dibatasinya out-sourcing pekerjaan (psl 59); kemudahan PHK (psl 155); hak atas standar pengupahan, upah menjadi urusan buruh-pengusaha (psl 92); hilangnya hak atas pesangon atau pensiun (psl 167); hilangnya hak atas istirahat panjang (psl 79).

Melihat makin miskinnya perlindungan bagi buruh yang termuat pada beberapa pasal draft revisi UU 13/2003 tersebut sudah dapat diduga bahwa itu semua akan memperparah kondisi kerja buruh. Bila poin-poin liberalisasi itu diterapkan, buruh akan semakin terlempar pada jurang marjinalisasi. Sebagaimana yang tersirat pada filosofinya, fleksibilitas menganggap buruh ibarat sebentuk benda, tanpa nyawa dan harga diri. Temuan pendataan yang dilakukan oleh Aliansi SB Jabotabek dan Serang bersama FPBN Jatam bulan Desember 2005 lalu, menunjukkan bahwa diberlakukannya UU 13/2003 saja semakin menambah ketidakpastian kerja. Setidaknya ada beberapa hal yang menunjukkan temuan tersebut. Pertama, dari sisi internal, bahwa hubungan industrial tidak lagi menjamin hidup pantas dan layak bagi kemanusiaan buruh. Hubungan kerja yang individualistis, terfragmentasi/bertingkat dan kabur secara adminstratif. Kedua, secara eksternal, hidup-matinya buruh dan hubungan industrial semakin ditentukan oleh faktor eksternal; ketidakstabilan harga kebutuhan, distorsi informasi pasar kerja dan ongkos pencarian pekerjaan. Bila 10 tahun lalu, calon buruh mencari kerja dengan melamar, kini berubah menjadi membeli pekerjaan. Ketiga, menghadapi kondisi ketidakpastian kerja, survivalitas buruh hanya mengandalkan topangan hidden subsidy dari informal networking kerabat dan keluarga. Survivalitas juga ditopang oleh kesanggupan buruh yang sangat terpaksa dengan menurunkan kualitas hidup melalui penghematan pengeluaran untuk asupan makan, tempat tinggal, kesehatan, tranportasi dsb. Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tidak ada layanan publik pemerintah yang bisa diakses oleh buruh untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Fleksibilisasi perburuhan: konteks, pola dan motif[1]

Per definisi, apa yang disebut dengan pasar kerja yang fleksibel kurang lebih sebagai strategi yang mudah dan murah bagi perusahaan dalam menyesuaikan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan, termasuk juga jam kerjanya. Hal itu juga dimaksudkan sebagai minimalisasi variable regulasi ketenagakerjaan, tanpa aturan upah minimum dan minimalisasi peran serikat buruh. Bagi investasi, konsep fleksibilisasi atau liberalisasi seperti ini sebagai stategi pengamanan bisnis (business security). Atau dengan kata lain, sebagai strategi perusahaan dalam menyesuaikan diri kondisi ekonomi eksternal. Beberapa bentuk fleksibilitas dapat dijadikan titik tolak untuk melihat tingkat fleksibilitas pada revisi UU 13/2003:

Pertama, fleksibilitas fungsional yang menunjuk pada elastisitas organisasi produksi dengan perubahan desain pekerjaan dan batas-batasnya. Bentuk ini menuntut adanya kehendak untuk mengadopsi praktek kerja baru dan beberapa jenis pekerjaan sekaligus dengan memberlakukan berbagai jenis ketrampilan.

Kedua, fleksibilitas ketrampilan ini lebih pada tuntutan bagi tenaga kerja untuk dapat menguasai jenis-jenis ketrampilan baru berkaitan dengan produk baru. Ini juga mengandaikan basis pendidikan yang kuat, dimana tenaga kerja mudah untuk menyesuaikan diri dengan teknologi baru yang mengandaikan ketrampilan tertentu. Pola ini dimaksudkan sebagai strategi untuk memenuhi fleksibilitas jenis produksi sebagai akibat dari elastisitas permintaan pasar.

Ketiga, fleksibilitas jumlah tenaga kerja yang merujuk pada kemampuan perusahaan menyesuaikan diri dengan skala pekerjaan. Ini juga lebih disebabkan oleh ketidakpastian gerak pasar. Dalam konteks ini, adanya buruh kontrak jangka pendek, borongan atau rumahan dan juga outsourcing pekerjaan adalah bentuk paling nyata dari variable fleksibilitas ini.

Keempat, fleksibilitas pola-pola kerja ini hampir mirip dengan fleksibilitas sebelumnya. Pokok dari jenis ini adalah strategi perusahaan untuk meminimalkan labour cost untuk memaksimalkan profit. Bentuk konkritnya adalah kerja shift, lembur wajib tanpa dibayar, magang anak-anak sekolah, dan jenis pekerja musiman.

Kelima, fleksibilitas upah yakni sebuah strategi pengupahan yang dipakai perusahaan agar mampu menyesuaikan perubahan kondisi ekonomi. Besaran upah merupakan kompromi antara kinerja keuangan perusahaan dengan produktivitas individu buruh. Strategi ini dilakukan dengan mengurangi komponen upah tetap dan memaksimalkan komponen upah tidak tetap. Perpanjangan jangka waktu review atas besaran upah minimum adalah sal;ah satu motif dari bentuk fleksibilitas upah ini.

Keenam, mobilitas geografis yang merujuk pada penyesuaian pasar kerja terhadap sumber-sumber produksi lainnya seperti, ketersediaan tenaga kerja murah, kedekatan bahan baku, kedekatan pasar dan fasilitas produksi yang lain. Maka relokasi industri antar negara atau antar daerah adalah wajah dari fleksibilitas geografis.

Dari beberapa variabel fleksibilitas di atas, perlu digali lebih dalam faktor-faktor penyebab perubahan-perubahan pasar tenaga kerja tersebut. Beberapa faktor penyebab liberalisasi pasar tenaga kerja di negara-negara berkembang termasuk Indonesia ini antara lain:

Pertama, percepatan kemajuan teknologi produksi, baik sebagai produk maupun sebagai modus produksi, terutama teknologi informasi dan computerized machinery. Implikasinya, dalam proses produksi semakin sedikit penggunaan tenaga kerja manual dan digantikan oleh mesin.

Kedua, Liberalisasi pasar barang dan jasa yang meliputi liberalisasi pasar modal/uang, reformasi dan penurunan tariff bea masuk barang dan jasa diberbagai negara dan peran WTO yang makin menuntut dan mengatur lalu lintas perdagangan antar negara.

Ketiga, perubahan kondisi pasar global antara lain tekanan konsumen/pembeli pada harga yang kompetitif, qualitas barang, ketepatan waktu pengiriman dan kesanggupan produsen dalam menyesuaikan produknya sesuai dengan permintaan pasar.

Menghadapi perubahan-perubahan eksternal tersebut, sejumlah respon dibuat oleh negara-negara berkembang dalam konteks reformasi pasar tenaga kerja. Reformasi pasar tenaga kerja melibatkan 3 pemain kunci yakni pemerintah, pengusaha dan buruh. Salah satu respon terhadap liberalisasi eksternal adalah diperkenalkan (atau dipaksakan) pasar kerja yang fleksibel (disebut LMF) yang juga punya implikasi bagi ketiga aktor kunci tersebut. Dari sisi hubungan industrial, LMF mengusung sejumlah perubahan yang pada intinya mengurangi atau bahkan membuang sama sekali pembatasan-pembatasan hubungan industrial, antara lain: pertama, membuang batasan-batasan perekrutan dan pemecatan di tingkat pabrik. Asumsi di balik pembatasan ini adalah bahwa buruh akan terserap dengan mudah oleh dinamika sektor industri maupun mobilitas geografis. Tetapi, fakta menunjukkan sebaliknya. Di Mexico, Argentina, Bangladesh juga Indonesia justru memperpanjang daftar pengangguran, karena daya serap industri tidak sedinamis yang dibayangkan. Kedua, membatasi upah minimum. Asumsi dibalik itu adalah bahwa kenaikan upah minimum turut menciptakan pengangguran. Padahal, secara teoritis, rendahnya upah adalah salah satu wajah kegagalan industrialisasi.

Reformasi kebijakan perburuhan: selamat datang liberalisasi?

Dalam konteks perburuhan, debat teoritis yang menyangkut regulasi perburuhan berada seputar status asimetris; pro-kolektif atau pro-individualistik, pro-buruh-atau pro-pasar. Daftar itu masih bisa diperpanjang lagi. Tetapi ujung dari perdebatan itu bermuara pada pertanyaan siapa yang paling pantas mengatur kebijakan perburuhan dan hubungan industrial; pemerintah atau pasar atau keduanya? jawaban atas pertanyaan tersebut adalah sangat tergantung pada arus besar ekonomi yang dirujuk untuk merumuskan kebijakan tersebut. Arah kebijakan yang dibuat juga tergantung pada cara pandang atau posisi politik negara/pemerintah terhadap aktivitas ekonomi pada umumnya. Negara sebagai pemilik, sebagai pemilik & produsen, sebagai majikan, sebagai regulator, sebagai redistributors atau sebagai wasit yang adil bagi kebijakan ekonomi yang dibuat (I. Wibowo, 2004). Mengikuti pandangan etis John Rawls bahwa mekanisme pasar tidak bisa dibiarkan sebebas-bebasnya justru karena posisi asimetris abadi, dalam masyarakat ada yang kuat dan ada yang lemah. Peran negara adalah menjamin keadilan itu bekerja di dalam masyarakat. Karena sifat publiknya, negara tidak bisa dalam posisi yang netral, ia harus berpihak pada yang miskin dan lemah yang tidak bisa bertarung di arena pasar yang bebas itu (Andre Ujan, 2001, hal 115).

Dalam perkembangan sejarah, regulasi perburuhan demikian drastis. Dari state regulation yang mengedepankan proteksi dan security menuju ke market regulation yang memburu fleksibilitas dan investment security. Mnurut formula Guy Standing (1999) regulasi perburuhan yang protektif dapat dirumuskan sebagai berikut:

Tabel 2: Jenis regulasi menurut perspektif state/statutory regulation

Jenis regulasi

Rung lingkup

Aturan-aturan protektif

Aturan dan prosedur untuk melindungi buruh dan mencegah pihak posisinya kuat/dominan menyalahgunakan mereka yang posisinya lemah

Aturan fiskal

Pajak dan subsidi yang diatur dan disediakan oleh negara untuk biaya berbagai bentuk perlindungan

Aturan-aturan represif

Aturan atau mekanisme untuk mencegah pemaksaan kehendak negara atau kepentingan kelompok dominan terjadi.

Aturan-aturan promosional

Aturan atau mekanisme yang disusun untuk memajukan perkembangan-perkembangan tertentu, misalnya re-training, in-job training dst.

Aturan-aturan fasilitatoris

Aturan dan prosedur yang mengijinkan untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan pekerjaan.

Sedang untuk konteks regulasi pasar dalam perburuhan, sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya adalah mengedepankan kebebasan pasar dan meminimalkan regulasi negara. Bagi penganjur market regulation, pada konteks kalkulasi ekonomi, state regulation adalah biaya. Maka ada 2 poin dari pemuja regulasi pasar ini, di satu hendak membebaskan hambatan-hambatan bekerjanya pasar, pada sisi yang lain meminimalkan biaya transaksi. Sementara ahli, regulasi pasar ini juga sering disamaartikan dengan “de-regulasi” yang pada intinya adalah mengurangi intervensi negara di dalam aktivitas ekonomi, termasuk hubungan industrial.

Tabel 3: Perbandingan aliran pasar kerja antara security dengan flexibility

Elemen pasar kerja

Perbandingan aliran pasar kerja

Security

flexibility

Pasar kerja

Kecukupan kesempatan kerja yang dijamin dan diupayakan oleh negara

Pasar kerja menganut hukum pasar yakni sisi demand and supply tenaga kerja

Ketenagakerjaan

Perlindungan atas perselisihan dan pemecatan

Meminimalkan hambatan perekrutan dan pemecatan

Pekerjaan

Jaminan jenjang karir, spesialisasi pekerjaan, qulifikasi jenis pekerjaan dst

Kerja kontrak sesuai order

Kondisi kerja

Perlindungan keselamatan kerja, pembatasan waktu kerja, perlindungan kesehatan dst

Jam kerja yang panjang, target produksi

Reproduksi ketrampilan

Jaminan memperoleh tambahan ketrampilan dan pengetahuan baru

Multi-skilling dan multi tasking

Income/penghasilan

Jaminan dengan upah minimum, tunjangan kesehatan, pajak progressive dan tunjangan sosial.

Meminimalkan upah minimum dan menghilangkan tunjangan sosial lainnya.

Representasi

Jaminan kebebasan berorganisasi, perundingan kolektif, hak mogok dan hak berserikat.

De-unionisasi, viktimisasi aktivis serikat, individualisasi hubungan kerja

Dari beberapa poin di atas, dapat dilihat bersama ke mana kira-kira arah revisi UU 13/2003 yang saat ini sedang digodok? Poin-poin tersebut dapat dijadikan rujukan minimal untuk melihat kembali semangat yang tercermin dalam UU 13/2003 tersebut.

Menatap masa depan: flexi-curity versus flexiploitation

Kedua istilah tersebut berbeda tapi ada kemiripan. Keduanya merujuk pada respon terhadap gelombang liberalisasi dan fleksibilisasi ketenagakerjaan. Flexiploitation merupakan satu istilah plesetan yang konon diucapkan oleh para demonstran penentang UU ketenagakerjaan baru di Perancis baru-baru ini. Karena UU ketenagakerjaan baru di Perancis menyebutkan bahwa pekerja dibawah 26 tahun bisa dipecat sewenang-wenang, maka munculah plesetan tersebut. Plesetan itu merujuk pada kombinasi antara fleksibilisasi dan sekaligus eksploitasi sebagaimana tercermin pada Perjanjian Kontrak Pertama. Ungkapan itu adalah sebentuk protes sekaligus bayangan akan kondisi yang terjadi bilamana UU baru tersebut betul-betul diberlakukan. Tentu saja ungkapan yang kurang lebih sama juga muncul dari gelombang protes terhadap revisi UU 13/2003 di berbagai tempat di Indonesia. Pelajaran yang bisa dipetik dari itu adalah bahwa liberalisasi dan fleksibilisasi dirasa cukup mengancam nasib buruh, pun di negara maju seperti Prancis.

Flexi-curity juga menjadi istilah baru yang diperkenalkan oleh kantor ILO sejak tahun 2000-an. Pada konteks ini, ILO menwarkan sebuah alternative policy yang dapat dikembangkan di berbagai negara dalam rangka menyikapi liberalisasi perburuhan. Flexi-curity merupakan bentuk kompromi untuk meminimalkan dampak buruk dari gelombang fleksibilisasi dengan back-up social security. Konsep ini mengisyaratkan bahwa tidak seluruh komponen pasar tenaga kerja diserahkan sepenuhnya kepada pasar tetapi ada sebagian yang harus diurus oleh pemerintah. Konsep kebijakan ini sudah pernah diterapkan antara lain di Eropa (Swedia, Norwegia, Denmark) sedang di negara berkembang seperti di Brazil, Mexico dan Argentina.

Kompromi kebijakan ini lebih pada pembagian peran yang berbeda antara sektor bisnis dengan sektor publik dalam hal pasar tenaga kerja. Meskipun kompromi ini tidak ada acuan bakunya, sehingga penerapannya disesuaikan dengan konteks negara masing-masing. Seperti misalnya soal jam kerja dan upah diserahkan kepada hubungan buruh & pengusaha, tetapi berkaitan dengan jaminan sosial disediakan oleh negara sebagaimana yang terjadi di Denmark dan Brazil. Sebetulnya flexi-curity bukanlah baru dan mirip seperti kebijakan “ekonomi pasar sosial” yang diterapkan di Jerman selama ini.

Pada konteks flexi-curity ini, pemerintah masih punya peran yang cukup besar di dalam kinerja pasar tenaga kerja melalui kebijakan pasar kerja yang aktif. Jadi peran pemerintah dalam konteks liberalisasi ini memberi perlindungan pada yang lemah (buruh) sekaligus menjadi wasit yang adil bagi yang kuat (bisnis). Beberapa bentuk perlindungan sosial yang disediakan pemerintah dalam flexi-curity ini antara lain: 1) Subsidi langsung bagi pengangguran, 2) penyelenggaraan training-training ketrampilan; 3) subsidi biaya kesehatan dan pendidikan 4) proteksi dan insentif bagi industri baru (infant industri); 5) akses kredit yang mudah bagi usaha yang banyak menyerap tenaga kerja; 6) informasi tenaga kerja yang terbuka. Beberapa bentuk social security dibiayai oleh anggaran pemerintah dan bentuk redistribusi dari nilai tambah output industri yang dipungut dari pajak.

Implikasi dari penerapan flexi-curity bagi pemerintah adalah kesiapan kelembagaan pemerintah, kapasitas dan anggaran. Sebagai contoh Brazil pada tahun 2001 anggaran untuk kebijakan pasar kerja yang aktif mencapai 2,4% dari GDP. Sementara APBN Indonesia tahun 2006 untuk ketenagakerjaan hanya sebesar 0,7 % saja.

Implikasi politis bagi advokasi ke depan adalah mengembalikan peran negara atau pemerintah dalam pasar tenaga kerja, khususnya dalam perlindungan-perlindungan sosial. Campur tangan pemerintah secara lebih aktif menjadi penting, khususnya bagi negara-negara miskin yang menghadapi krisis ketanagakerjaan untuk melindungi buruh dari ganasnya liberalisasi. Sebagai sektor publik, basic need harus disediakan dan direbut kembali dari oligarki pasar seperti pangan, pendidikan dan kesehatan. Dari sejarah yang pernah ada, tidak ada satu negara pun yang mati kerena memproteksi rakyatnya sendiri.

Penutup:

Revisi UU 13/2003 sepertinya masih akan terus bergulir. Revisi UU tersebut bukan hanya semata-mata pertarungan rumusan pasal, tetapi lebih pada pertarungan hidup mati buruh di hadapan pasar dan juga pemerintah. Mengawal dan membela UU bukan saja soal angka dan kata-kata, tetapi membela dan mengawal kehidupan itu sendiri. Meskipun kehidupan (buruh) berada dalam utak-atik angka dan kata-kata tersebut. Peran SB, NGO, akademisi, politisi akan diuji di ujung UU 13/2003 ini.

Bahan rujukan terpilih:

Gilpin, Robert, Global Political Economy, understanding international economic order, New Jersey: Princeton Univerity Press, 2004.

Gonzales, Jose Antonio, Labor Market Flexibility in Thirteen Latin America Countries, (working paper), Center for Research on Economic Development and Policy Reform, Stanford University, 2002.

Islam, Iyanatul, Beyond Labour Market Flexibility : Issues and Options for Post-crisis Indonesia, Routledge: Journal of the Asia Pacific Ecinomy No. 6 (3), 2001, hal. 305-334.

Marsall, Adriana. Labour Market Policies and Regulation in Argentina, Brazil and Mexico: Programmes and Impact, (working paper), ILO’s Employment Analysis Unit, 2004.

Standing, Guy, Global Labour Flexibility, Seeking Distributive Justice, New York. Sint Martin Press, 1999.

Ujan, Andre Ata, Keadilan dan Demokrasi, telaan atas filsafat politik John Rawls, Yogyakarta: Kanisius, 2004.

UNTAD, World Investment Report 2005, Transnational Corporations and Internationalization of R & D, 2005

Rawls, John, A Theory of Justice, Cambridge: Harvard University Press, 1973.



Poin-poin dalam pokok ini hasil diskusi by email dan telpon dengan rekan B. Hari Juliawan, SJ mahasiswa Ph.D in Economic and Development Studies, Oxford University, Inggris.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?