Tuesday, October 10, 2006
Menemukan Kembali Hukum Perburuhan yang Sejati
… saat ini masyarakat kepayahan mengais kesempatan kerja. Ironis karena di sisi lain pengusaha sibuk menyiasati aturan untuk tidak menanggung pekerja...
Kompas, 4 Maret 2006, ’Mengais Kerja dan Menyiasati Peraturan’
Menemukan Kembali Hukum Perburuhan yang Sejati:
Beberapa Catatan Konseptual[1]
oleh
Surya Tjandra
Trade Union Rights Centre
(Pusat Studi dan Advokasi Hak-hak Serikat Buruh)
surya@turc.or.id
Pengantar
Kontroversi dan perlawanan buruh terhadap rencana pemerintah merevisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK) sempat meredup begitu akhirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang seperti menjilat lidahnya sendiri, mengatakan ‘abaikan draft revisi UUK’, dan bahwa revisi akan dibahas melalui forum tripartit, dengan juga meminta masukan dari ‘akademisi’ di lima universitas negeri (Kompas, 9 April 2006). Rencana merevisi UUK sesungguhnya sudah menjadi proyek resmi Pemerintah, dengan payung hukum Instruksi Presiden No. 3 tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi[2] yang pada Bagian IV soal ‘Ketenagakerjaan’ (hal. 16) menegaskan kebijakan ‘menciptakan iklim hubungan industrial yang mendukung perluasan lapangan kerja’, dengan program utama ‘mengubah UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan’, dan batas waktu penyampaiannya ke DPR adalah April 2006.
Mendengar kabar ini, seorang kawan aktivis buruh langsung mengirimkan sebuah pesan pendek, menyampaikan kekhawatirannya akan jebakan dari sebuah forum tripartit, yang menurutnya hanya sekadar mengalihkan persoalan ‘yang sudah hangat di jalanan, ke ruang tertutup yang sulit dikontrol oleh buruh’. Rasanya kekhawatiran tersebut ada dasarnya, paling tidak demikianlah yang terjadi pada waktu perumusan UUK dulu di mana ada ‘tim kecil’ yang merupakan tim ekstra-parlementer melibatkan beberapa aktivis buruh guna melegitimasi keterlibatan buruh dalam perumusan UUK, meski sesungguhnya banyak juga yang justeru menentangnya[3].
Jebakan rupanya tidak hanya akan ada di forum tripartit ini, ide untuk melibatkan kalangan akademisi pun bisa jadi sebuah jebakan lain yang pantas diperhatikan. Seorang kawan buruh mengungkapkan kekhawatiran bahwa akademisi cenderung hanya ‘paham konsep’ namun ‘tidak mengerti situasi sesungguhnya di lapangan’. Masalahnya, jangankan soal pemahaman situasi lapangan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa secara ‘konsep’ pun para akademisi ini bisa jadi bermasalah. Ini dapat dilihat dari betapa masih amat sedikitnya, kalau tidak bisa dibilang dangkal, perdebatan dan publikasi mengenai ‘hukum perburuhan’, sebagai satu bidang studi tersendiri dalam ilmu hukum[4]. Kuliah hukum perburuhan di kebanyakan universitas, bahkan yang paling terkenal dan dianggap baik sekali pun, cenderung masih terjebak pada soal-soal teknis hukum dan UU, tanpa pemahaman cukup mengenai konteks di mana hukum perburuhan itu hidup.
Tulisan ini memberi sumbangan pada persoalan yang terakhir, dengan terutama membahas secara konseptual pengertian hukum perburuhan secara umum sebagaimana ia berkembang sepanjang abad ke-20. Ia diharapkan menjawab pertanyaan: ‘apakah hukum perburuhan itu’ dalam arti sesungguhnya sebagaimana diharapkan oleh mereka yang mengembangkan hukum perburuhan sebagaimana kita kenal sekarang. Dengan terutama melihat tradisi yang berkembang di dalamnya. Akan didiskusikan siapa, mengapa, kapan, di mana, dan bagaimana, hukum perburuhan telah berkembang sejak dekade awal abad ke-20 hingga hari ini di era yang disebut ‘globalisasi’. Untuk itu, tulisan ini mulai dengan memeriksa konsep dari hukum perburuhan sebagaimana ia berkembang beberapa generasi lalu, khususnya di Eropa Barat, asal hukum perburuhan dengan studi literatur. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi mengenai konsep ‘proyek transformatif’ dari hukum perburuhan, dalam arti potensi hukum perburuhan untuk ‘memperkenalkan norma-norma demokratis dan partisipatoris ke dalam yang disebut area “privat” dari perusahaan dan pasar’. Tulisan ini akan ditutup dengan beberapa catatan mengenai tantangan yang dihadapi hukum perburuhan di akhir abad ke-20 dan di awal milenium baru ini.
‘Hukum adalah teknik untuk meregulasi kekuatan sosial’, demikian kata Otto Kahn-Freund dalam refleksinya terhadap relasi antara hukum dengan kekuasaan[5]. Ia kemudian melanjutkan, ‘Ini betul untuk hukum perburuhan, sebagaimana ia terhadap aspek-aspek lain dari sistem legal apa pun’. Pernyataannya ini didasarkan pada asumsi bahwa selalu ada ‘subordinasi’ dalam masyarakat, antara mereka yang ‘memerintah’ (command) dan mereka yang ‘mematuhi’ (obey), antara mereka yang membuat peraturan dan keputusan, dan mereka yang mematuhi aturan-aturan dan keputusan-keputusan itu. Kekuasaan untuk memerintah ini, dalam arti kemampuan untuk memastikan bahwa kebijakan, aturan dan keputusan yang dibuat dipatuhi, sebagaimana Kahn-Freund menyebutnya, adalah sebuah ‘kekuatan sosial’ (social power). Dan hukum perburuhan, sebagaimana Kahn-Freund kembali mencatat, ‘khususnya menaruh perhatian pada fenomena elementer dari kekuatan sosial’.
Gagasan ini pada awalnya berasal dari tulisan-tulisan para ahli hukum Jerman yang terutama dipublikasikan di dekade-dekade awal abad ke-20, dengan satu dari figur utamanya adalah Hugo Sinzheimer, seorang profesor hukum asal Jerman yang kemudian hijrah ke Belanda. Sebagaimana dicatat oleh Kahn-Freund, Sinzheimer[6] memandang relasi kerja sebagai sebuah relasi kekuasaan dari dominasi dan subordinasi, dengan mana hukum perburuhan menjadi dirinya sendiri sebagai sebuah disiplin baru dengan menolak asumsi liberal bahwa kontrak kerja adalah produk dari pilihan-pilihan otonom para pihak. Sinzheimer, mengikuti Karl Renner[7], mengadopsi ide Marxian bahwa subordinasi terhadap buruh adalah hasil dari kepemilikan perusahaan oleh pemilik modal (atau ‘alat produksi’ dalam kata-kata Marx).
Di bawah kapitalisme, kesetaraan kontrak yang diasumsikan antara pribadi-pribadi hukum dari majikan dan buruh pada kenyataannya adalah sebuah fiksi, yang kemudian dikuatkan lagi oleh dominasi majikan dan subordinasi buruh. Sinzheimer ingin mengoreksi mistifikasi dari situasi ketergantungan buruh yang nyata ini. Dalam hal ini, definisinya tentang kerja menjadi penting. Berangkat dari asumsi bahwa kontradiksi antara kerja dan hak milik, Sinzheimer selalu mengkontraskan ‘kontrak kerja’, di mana manusia menjual dirinya dalam kerja, dengan ‘kontrak pada umumnya’, di mana terjadi peralihan benda-benda atau pemanfaatan mereka sebagaimana diperjanjikan[8]. Ia menegaskan bahwa dengan secara eksplisit mengakuinya dalam peraturan perundang-undangan, mistifikasi legal ini dapat dihapuskan pula. Pada titik ini, hukum perburuhan menjadi ‘hukum dari buruh yang tergantung’ (the law of dependent labour), yang muncul sebagai sebuah upaya untuk memoderasi kekuasaan majikan untuk memerintah menggunakan kombinasi unsur-unsur dari hukum[9].
Inilah esensi dari apa yang oleh Kahn-Freund disebut ‘anthropologi’ dari Sinzheimer, yaitu:
[K]eyakinan bahwa tujuan sesungguhnya dari legislasi perburuhan adalah untuk meningkatkan kebebasan, harga diri dan kepribadian buruh secara individual dan secara keseluruhan, untuk membantu emansipasi manusia sebagai yang berbeda dari ‘pribadi hukum’ yang merupakan khayalan. Tujuan praktis dari hukum perburuhan akademis adalah untuk mempromosikan reformasi legislative ke arah itu[10].
Telah dikatakan bahwa Sinzheimer mempunyai peran penting dalam mengembangkan ‘hukum perburuhan’ sebagai sebuah disiplin baru pada dirinya sendiri dalam ilmu hukum. Hukum perburuhan dipandang sebagai berbeda dengan batasan-batasan tradisional seperti hukum ‘privat’ atau ‘publik’, meski tetap memiliki unsur-unsur dari keduanya. Sinzheimer menyebutnya ‘hukum sosial’ (social law), sebagai sebuah area ‘ketiga’ dari hukum, satu kombinasi dari baik dasar-dasar hukum privat maupun hukum publik[11]. Penting dicatat bahwa upaya Sinzheimer untuk memisahkan hukum perburuhan sebagai disiplin yang berbeda dari cabang-cabang lain ilmu hukum, khususnya dari hukum sipil yang berorientasi pada hak milik, didasarkan pada pandangannya yang unik mengenai kerja, yaitu perhatian yang mendalam pada manusia itu sendiri. Inilah dasar dari semua tulisannya mengenai hukum perburuhan, yang kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya yang terbaik, Otto Kahn-Freund.
Dalam Some Reflections on Law and Power, Kahn-Freund meringkas tujuan utama dari hukum perburuhan sebagai ‘meregulasi, mendukung dan membatasi kekuasaan manajemen dan kekuatan dari buruh terorganisir’[12]. Sebagaimana ia jelaskan, ‘“manajemen” dan “buruh” adalah abstraksi. Pada artinya yang asli, mereka melambangkan bukan ‘orang-orang’, tetapi ‘aktivitas-aktivitas’, yaitu, ‘aktivitas-aktivitas perencanaan dan regulasi produksi dan distribusi dan koordinasi modal dan buruh di sisi lain’. Sebagaimana ia selanjutnya mencatat, orang sekarang mengkonotasikan ’buruh’ lebih sebagai ‘orang-orang’ daripada ‘aktivitas-aktivitas’, meski demikian mereka tetaplah abstraksi. Kata ‘manajemen’ selalu digunakan untuk mengidentifikasi individual atau badan usaha yang pada situasi tertentu melaksanakan kekuasaan untuk menentukan kebijakan, untuk dipatuhi oleh mereka yang menjadi subordinasinya.
‘Buruh’ juga sebuah abstraksi. Bagi majikan, ia berarti perempuan dan laki-laki yang berada di bawah kekuasaan manajerialnya, atau serikat buruh dengan siapa perusahaan bernegosiasi; bagi seorang buruh anggota ia bisa berarti pengurus perwakilan serikatnya. Ketidakjelasan dari istilah-istilah ini ketika diterapkan pada ‘orang-orang’, sebagaimana lagi Kahn-Freund mencatat, adalah penting untuk menentukan pemahaman kita terhadap ‘hubungan perburuhan’, yang adalah hubungan antara ‘manajemen’ dan ‘buruh’, secara individual maupun kolektif, dan cakupan dari apa yang kita sebut ‘hukum perburuhan’ yang ‘meliputi masalah-masalah seperti keamanan industrial sebagaimana juga perselisihan-perselisihan ekonomis, dari kesepakatan-kesepakatan kolektif sebagaimana juga keamanan kerja’. Sebagaimana disimpulkan Kahn-Freund, segala sesuatu yang dapat timbul antara manajer dan mereka yang berada di bawah kekuasaan manajerial’.
Hukum perburuhan, dengan demikian, memiliki tujuan yang khusus, dengan sebuah asumsi bahwa majikan biasanya memiliki kekuatan tawar yang lebih besar terhadap buruhnya. Pada sisi buruh, kekuatan selalu merupakan kekuatan kolektif karena buruh secara individual selalu harus menerima kondisi-kondisi yang ditawarkan oleh majikan[13]. Majikan, sekali pun sebagai satu entitas individual, merupakan sebuah akumulasi dari sumber-sumber material dan manusia, yang pada dirinya sendiri adalah sebuah ‘kekuatan kolektif’. Adalah umum disepakati dalam hukum perburuhan bahwa buruh harus mengikuti perintah, sementara majikan akan memberi balik dalam bentuk upah. Dengan kata lain, hierarkhi dan subordinasi adalah inti dari hukum perburuhan.
Proyek Transformatif Hukum Perburuhan
Menurut Bob Hepple, seorang profesor hukum perburuhan dari Inggris, ada dua konsekuensi yang muncul ketika hukum perburuhan dilihat sebagai hukum dari buruh ‘tergantung’ tadi[14]. Pertama adalah bahwa cakupan dari subyek ini sepertinya mengeluarkan buruh yang ‘tidak tergantung’ (independent), seperti petani pemilik tanah dan mereka yang mempekerjakan diri sendiri pada umumnya, dan dibatasi pada mereka yang, secara mudah, masuk dalam pengertian buruh tergantung. Ia menyimpulkan bahwa satu indikator dari perkembangan hukum perburuhan adalah bahwa untuk beberapa hal semua klas dari buruh tergantung ¾ manual, kerah putih, pembantu rumah tangga, buruh perkebunan, pejabat negara ¾ adalah yang masuk dalam cakupannya.
Konsekuensi kedua dari gagasan mengenai ketergantungan ini adalah bahwa isu-isu esensial dari hukum perburuhan dipengaruhi oleh semua bentuk regulasi yang pada intinya untuk menertibkan atau mengkontrol subordinasi buruh terhadap perintah majikan. Hepple memberikan setidaknya ada empat belas indikator mengenai perkembangan dari isu-isu ini yang menjadi indikator perlindungan terhadap buruh yang dicakup oleh hukum perburuhan, sebagai berikut:
1. Perlindungan terhadap anak-anak dan orang muda di pabrik, pertambangan dan sebagainya.
2. Perlindungan terhadap perempuan.
3. Perlindungan terhadap semua buruh dari penyelewengan pembayaran upah.
4. Perlindungan terhadap semua buruh dari The protection of all workers from bahaya-bahaya dalam kerja.
5. Pembatasan waktu kerja dan ketentuan mengenai libur yang dibayar.
6. Legislasi mengenai upah minimum.
7. Ketentuan mengenai kompensasi untuk kecelakaan, pembayaran selama sakit, cacat dan pensiun hari tua dan tunjangan keluarga.
8. Prosedur-prosedur guna menyediakan jalan ke luar dari pengangguran, seperti skema kerja, perkampungan buruh, pertukaran tenaga kerja dan asuransi pengangguran.
9. Perlindungan dari pengakhiran hubungan kerja.
10. Prosedur-prosedur untuk memfasilitasi swa-regulasi (self-regulation) dengan memberikan toleransi kebebasan untuk berserikat dan kebebasan untuk melakukan aksi-aksi industrial.
11. Prosedur-prosedur yang secara aktif mempromosikan swa-regulasi melalui organisasi majikan dan serikat buruh, apakah secara sukarela maupun hak-hak positif.
12. Prosedur-prosedur yang memfasilitasi partisipasi buruh dalam pengambilan keputusan manajerial pada tingkat pabrik atau pun perusahaan.
13. Prosedur-prosedur yang secara aktif mempromosikan partisipasi semacam itu.
14. Prosedur-prosedur yang mengintegrasikan perwakilan-perwakilan dalam penyelenggarakan ekonomi (seperti dewan-dewan regional dan nasional, dll.) atau oleh Negara (misal: pengadilan perburuhan khusus)[15].
Singkatnya, dalam bahasa Kahn-Freund, sebagaimana dirumuskan Davies dan Freedland, yang terkenal:
Tujuan utama hukum perburuhan telah senantiasa, dan berani kami katakan akan senantiasa, sebagai kekuatan pengimbang untuk melawan ketidaksetaraan kekuatan tawar yang melekat dan pasti melekat dalam hubungan kerja. Sebagian besar dari apa yang kita sebut legislasi protektif ¾ legislasi tentang mempekerjakan perempuan, anak-anak dan orang muda, tentang keamanan di pertambangan, pabrik, dan kantor, tentang pembayaran upah secara tunai, tentang jaminan untuk upah, tentang diskriminasi ras dan seksual, tentang pemutusan hubungan kerja yang tidak adil, dan praktis sebagian besar legislasi perburuhan secara keseluruhan ¾ harus dilihat dalam konteks ini. Ia adalah sebuah upaya untuk memasukkan mengkombinasikan hukum ke dalam relasi perintah dan subordinasi[16].
Beberapa sarjana hukum perburuhan percaya bahwa dalam perumusan inilah terletak ‘panggilan’ (vocation) dari hukum perburuhan, yaitu ‘untuk menekankan dan mencari jalan ke luar satu problem sosial dan ekonomi fundamental dalam masyarakat modern: subordinasi buruh oleh modal, atau buruh oleh majikan’[17]. Pemahaman tentang panggilan ini menghasilkan rasionalitas dari hukum perburuhan sebagai satu bidang tersendiri dalam ilmu hukum. Sebagaimana ditulis oleh Hugh Collins:
Panggilan ini bersemi dari sebuah prinsip bahwa masalah-masalah sosial yang mendesak perlu diatasi, dan berkembang menjadi sebuah pandangan tentang keadilan dalam suasana kehidupan sosial di mana hukum memainkan perannya secara tepat. Perasaan mengenai panggilan menandai sebuah lapangan untuk diperiksa, membangun kriteria titik pandang dari mana mengarahkan substansi dan teknik dari hukum yang ada[18].
Sebagaimana dicatat Karl Klare, seorang profesor hukum perburuhan kritis dari Amerika Serikat, premis dari panggilan ini adalah bahwa ‘hukum dapat dan harus ditujukan untuk meredistribusi kekayaan dan kekuasaan’, di mana solidaritas buruh dan aksi kolektif adalah ‘nilai-nilai yang dihormati oleh disiplin ini’[19]. Klare percaya bahwa hukum perburuhan mempunyai tempat yang menjanjikan sebagai ‘proyek transformatif’ (transformative projects), yaitu, ‘praktek dan wacana yang menantang hierarkhi dan dominasi dan berupaya mentransformasikan, atau setidaknya mendorong, lembaga-lembaga dan relasi kekuasaan yang sudah ada menjadi lebih demokratis, partisipatoris, dan setara’. Dengan demikian, bagi Klare:
Hukum perburuhan memperkenalkan norma-norma demokratis dan partisipatoris ke dalam yang disebut dengan ruang ‘privat’ dari korporasi dan pasar. Ia memfasilitasi representasi dan pemberdayaan dari kelompok-kelompok yang tersubordinasi. Ia menantang kekuasaan yang tak tergantikan dan, kalau perlu, membantu mengalahkannya. Tradisi progresif yang penting ini dan kesadaran untuk mengkoreksi dominasi pemilik modal sering memberi hukum perburuhan sisi yang kritis dan dorongan untuk kesetaraan yang menarik banyak dari kita terhadapnya[20].
Inilah kerangka ‘tradisional’ dari hukum perburuhan sebagaimana yang kita kenal.
Penutup
Tulisan ini memperlihatkan bahwa perkembangan hukum perburuhan di negara-negara industri awal dan pelopor, terutama dicirikan oleh kolektivisasi dan oleh perlindungan yang terus berkembang terhadap buruh. Secara konseptual ia berangkat dari pengandaian adanya relasi asimetris antara buruh dengan majikan, dan karenanya perlu campur tangan negara untuk melindungi buruh yang akan selalu lebih lemah posisinya di hadapan modal dan majikan. Dalam konteks inilah hukum perburuhan memiliki sebuah ’panggilan’ untuk mendorong perbaikan sebuah problem sosial subordinasi terhadap buruh yang manifest di dunia kapitalisme modern. Hukum perburuhan juga dapat menjadi arena yang menjanjikan untuk dilaksanakannya ’proyek transformatif’, guna memperkenalkan norma-norma demokratis dan partisipatoris ke dalam ruang ’privat’ dunia korporasi dan pasar.
Akan tetapi sejak akhir tahun 1970an, seiring dengan berkembangnya ideologi neo-liberalisme yang menekankan pada kekuatan mekanisme pasar dalam menyelesaikan segala masalah ekonomi dan sosial di masyarakat, kita juga menyaksikan bahwa perkembangan hukum perburuhan secara umum telah mengambil arah yang berbeda. Dalam literatur hukum perburuhan, perubahan ini direfleksikan dalam trend deregulasi dan fleksibilisasi, yang melemahkan fungsi dari perwakilan kepentingan kolektif tradisional dari buruh[21]. Inilah juga yang dialami Indonesia melalui paket 3 UU perburuhan yang diterbitkan antara tahun 2000 hingga 2004. Ketiganya jelas lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan investor daripada kepentingan buruh[22]. Dalam konteks ini, hukum perburuhan pun telah menjadi semata alat kepentingan investor, dan cenderung mengkhianati makna dirinya sendiri.
Kontroversi seputar revisi UUK yang terjadi belakangan ini, khususnya dialihkannya sebagian beban dan tanggung jawab pada beberapa akademisi, mendorong kita untuk mempertanyakan dan menemukan lagi makna sesungguhnya dari hukum perburuhan, sebagai sebuah disiplin tersendiri dalam ilmu hukum. Berangkat dari tradisi yang berkembang di dalamnya, dan sebagaimana diperjuangkan oleh para pendirinya, yang sarat dengan gagasan-gagasan progresif tentang kesetaraan, demokrasi, dan keadilan. Kalau International Labour Organization (ILO) di dalam konstitusinya menegaskan bahwa ’labour is not a commodity’ (buruh bukan barang dagangan), di saat ini pula, ketika hukum perburuhan cenderung dimanfaatkan dan dimanipulasi sedemikian rupa bukan untuk kepentingan buruh yang menjadi kepeduliannya sejak awal, barangkali kita pun bisa berseru ’labour law is not a commodity’ (hukum perburuhan bukan barang dagangan). Tidak segalanya bisa dijual.
Jakarta, 19 April 2006
[1] Tulisan ini adalah draft pertama hasil dari program penelitian Trade Union Rights Centre bertajuk ’Menemukan Kembali Hukum Perburuhan yang Sejati’, kritik dan saran sungguh dinantikan.
[2] Instruksi Presiden ini ditandatangani Presiden SBY tanggal 27 Februari 2006. Menarik juga mencermati bahwa pada tanggal 10 Februari 2006, lebih dua minggu sebelumnya, Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar ¾ partainya Wakil Presiden Jusuf Kalla, malah telah mengeluarkan ‘Surat Tugas’ No. ST-57/DPP/GOLKAR/II/2006, yang pada intinya menugaskan beberapa orang untuk ‘bertindak sebagai Tim Amandemen UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan yang berkaitan erat dengan masalah ketenagakerjaan di dalam negeri’.
[3] Lihat Suryomenggolo, Jafar. 2004. ‘Dinamika Perumusan UU Ketenagakerjaan dan UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial: Apa, Siapa, Bagaimana’, Laporan Studi TURC.
[4] Untuk uraian yang kritis terhadap fenomena ini lihat Samsa, Gregor. 2006. ‘Tinjauan Literatur Hukum Perburuhan di Indonesia’ dalam Tjandra, Surya dan Jafar Suryomenggolo. 2006. Makin Terang Bagi Kami: Belajar Hukum Perburuhan. Jakarta: TURC, pp.6-10.
[5] Kahn-Freund, Otto. 1981. Labour Law and Politics in the Weimar Republic. (Diedit dan diberi pengantar oleh Lewis, Roy and Jon Clark). Oxford: Basil Blackwell, p.14.
[6] Analisis Kahn-Freund tentang hukum perburuhan kemudian banyak dipengaruhi dan berakar, meski tetap kritis, pada karya-karya Sinzheimer, yang adalah gurunya sendiri. Untuk diskusi lebih lanjut mengenai Sinzheimer, lihat Kahn-Freund, 1981 (Roy Lewis and Jon Clark (Eds.)), Labour Law and Politics, khususnya Bab 2: “Hugo Sinzheimer 1875-1945” (pp.73-107), mendiskusikan peran Sinzheimer dalam mengembangkan hukum perburuhan sebagai sebuah disiplin akademis tersendiri. Juga lihat Clark, Jon. 1983. “Towards a Sociology of Labour Law: An Analysis of the German Writings of Otto Kahn-Freund” dalam Wedderburn, Lord, Roy Lewis and Jon Clark (Eds.). 1983. Labour Law and Industrial Relations: Building on Kahn-Freund. Oxford: Clarendon Press, pp.81-106, memeriksa pentingnya pemahaman sosiologis dan metode untuk pembangunan hukum perburuhan.
[7] Secara umum lihat Renner, Karl. 1949. The Institution of Private Law and Their Social Function, yang diedit dan diberi kata pengantar oleh Otto Kahn-Freund. Juga dikutip Kahn-Freund dalam Labour Law and Politics, p.250.
[8] Sinzheimer, sebagaimana juga Kahn-Freund, cenderung untuk menyederhanakan ini dengan mengutip kalimat Marx dalam Wage-Labour and Capital (1847-9): ‘Buruh tidak punya alat tampung lain kecuali darah dan daging manusia. Lihat Kahn-Freund, 1981, Labour Law and Politics, p.77-8.
[9] Lihat Clark, 1983, p.83, juga Kahn-Freund, Labour Law and Politics, p.79.
[10] Lewis dan Clark, “Introduction” dalam Kahn-Freund, Labour Law and Politics, p.39.
[11] Pada titik ini, Sinzheimer dipengaruhi secara kuat oleh teori Eugen Ehrlich yang disebut ‘hukum yang hidup’ (living law), yaitu ‘hukum sosial pada tingkat yang lebih tinggi… hukum secara umum dari pandangan mengenai efektifitasnya dalam masyarakat, bukan dari klaim formalnya untuk dilaksanakan sebagai sebuah norma’. Lihat Kahn-Freund, Labour Law and Politics, p.76, juga Eugen Ehrlich, Fundamental Principle of the Sociology of Law (1962)
[12] Kahn-Freund, Labour and the Law, p.15.
[13] Id., p.17.
[14] Bob Hepple, The Making of Labour Law in Europe (1986), p.11.
[15] Id., p.11-12.
[16] Kahn-Freund’s Labour and the Law, 1983, p.18.
[17] Hugh Collins, “Labour Law as A Vocation” (1989) 105 LQR 468, p.469.
[18] Id., p.473.
[19] Karl Klare, “The Horizon of Transformative Labour and Employment Law” (2002), p.4.
[20] Id.
[21] Lihat Tjandra, Surya. 2002. ‘Hukum Perburuhan di Era Globalisasi’, Hidup.
[22] Tjandra, Surya. ‘Labor law reform deny workers a safety net’, the Jakarta Post,