Thursday, October 26, 2006

Labour Market Flexibility : Fleksibel Bagi Siapa?*

Dimuat dalam Jurnal FPBN edisi I

Oleh: Bagus M (SPIS - Jakarta)

Awal Juni 2004. Siang itu begitu terik. Antrian di depan Puskemas Balaraja cukup panjang. Seorang anak perempuan berusia sekitar 2 tahun menangis dalam gendongan sang ibu. Dari kedua lubang hidungnya meler cairan ingus dan di kepala mungilnya ada beberapa benjolan bisul cukup besar. Terasa sakit sekali. Sementara sang ibu berusaha menghibur anaknya supaya diam. Kelelahan tergambar jelas diwajahnya.

Sang Ibu adalah salah satu dari buruh perempuan di PT Sarasa Nugraha Tbk. Unit Balaraja. Berkat upaya dari berbagai pihak, hari itu Puskemas Balaraja kembali melayani para buruh setelah 4 bulan lalu PT. Sarasa menutup pabrik sekaligus memutus pelayanan kesehatan yang selama ini diterima oleh para buruh.

Sejak pengusaha/pemilik modal menghentikan operasional pabrik, gaji dan fasilitas lain yang menjadi hak buruh PT. Sarasa Nugraha (termasuk pelayanan kesehatan) juga dihentikan. Akibatnya sebanyak 1652 orang buruh, 1084 diantaranya buruh perempuan, dan keluarganya kehilangan sumber nafkahnya, 46 buruh perempuan yang hamil dan 961 anak balita terancam kekurangan gizi, 558 anak terancam putus sekolah. Selain itu 50 keluarga buruh terusir dari rumah kontrakan karena sudah tidak mampu membayar uang sewa rumah. Tragisnya ada 2 orang buruh meninggal dunia akibat tidak mampu lagi menyediakan biaya untuk berobat.

Masalah yang dihadapi oleh buruh-buruh PT Sarasa Nugraha Tbk karena pengusaha ingkar janji untuk memenuhi kenaikan gaji tahunan seperti yang sudah tertuang dalam Perjanjian Kerja Bersama. Alasan yang dipakai sangat klasik, perusahaan dalam kondisi merugi. Buruh-buruh PT Sarasa Nugraha Tbk sudah terbiasa dengan alasan tersebut, itu sebabnya buruh tidak begitu saja percaya pada apa yang dikemukakan oleh pengusaha. Sebelumnya pengusaha mengeluhkan tentang tingginya komponen biaya untuk buruh bila dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis, lalu pengusaha berusaha (ngakali) mengubah sistem hubungan kerja agar komponen biaya buruh dapat bersaing dengan perusahaan lain. Rupanya pengusaha gagal ngakali buruh dengan cara ini, lalu keputusan menutup pabrik dilakukan dengan alasan perusahaan merugi dalam beberapa tahun ini.

Perlu dicatat, keputusan pengusaha PT. Sarasa Nugraha Tbk untuk menutup operasional pabrik unit Balaraja tersebut, berlangsung ditengah maraknya industri sejenis melakukan hal yang sama. Berdasarkan investigasi dan advokasi yang dilakukan oleh Federasi Serikat Buruh Karya Utama (FSBKU) dan Komite Buruh Cisadane (KBC) motivasi utama pemilik modal adalah mengubah status buruh Tetap menjadi buruh Kontrak (KKWT). Modus yang dilakukan berbagai macam, ada yang dengan cara menutup pabrik (lalu buruh tetapnya di PHK) kemudian membuka pabrik baru, dengan merekrut buruh baru dengan status Kontrak (KKWT); atau menawarkan sejumlah uang kepada buruh yang bersedia status hubungan kerjanya dirubah dari tetap menjadi kontrak (buruh mengenalnya sebagai pemutihan masa kerja). Dengan demikian jelas rupanya apa yang sedang direncanakan oleh manajemen PT Sarasa Nugraha Tbk, namun sungguh tidak jelas seperti apa kiranya masa depan buruh dan keluarganya.

Ketidakpastian dan keterpurukan

Kisah di atas adalah sepenggal pengalaman yang sedang dijalani oleh buruh di PT. Sarasa Nugraha Tbk, Balaraja - Tangerang, mereka tidak tahu pasti nasibnya akan berujung seperti apa. Ketidakpastian seperti ini juga yang mereka alami tentang kapan Depnakertrans mampu menyelesaikan masalah yang mereka dihadapi. Mereka betul-betul khawatir, karena apabila terlalu lama masalah ini tidak kunjung selesai mereka sudah tidak tahu lagi dari mana harus memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk tempat berteduh, belum lagi kebutuhan anak-anak dll. Sungguh tidak ada yang menduga akhirnya mereka harus mengalami nasib seperti ini, tidak ada tanda-tanda sebelumnya, selain keluhan perusahan merugi nyanyian klise yang ‘biasa’ mereka dengar selama bertahun-tahun.

Ratusan ribu bahkan jutaan buruh kehilangan kepastian masa depannya, nasib mereka berada jauh diluar jangkauan rencana mereka. Buruh tak kuasa menentukan masa depannya sendiri. Mereka kehilangan pekerjaan pertama-tama bukan karena mereka malas bekerja atau tidak perform dalam menjalankan tugas pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya, tetapi pasar tidak menghendaki mereka tetap mengerjakan pekerjaannya. Pasar menghendaki orang lain yang dinilai lebih efisien yang lebih cocok mengerjakan pekerjaan itu. Karena dengan demikian pasar dapat melipatgandakan nilai barang yang dihasilkan buruh sehingga akumulasi keuntungan yang dikumpulkan oleh pemilik modal menjadi lebih banyak Nasib buruh dan keluarganya ditentukan oleh seberapa banyak buruh bisa memberikan keuntungan bagi pemilik modal, tidak penting buruh mendapat keuntungan apa dalam relasi antara buruh dengan pemilik modal yang seperti itu.

Yang penting bagi setiap pemilik modal dibutuhkan kepastian bahwa modal yang ditanamkan harus dapat memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa jaminan itu mereka enggan menanamkan modalnya. Kalau toh modal sudah keburu ditanamkan dalam bentuk usaha, pemilik modal tidak segan-segan untuk menutup usahanya kalau dirasakan sudah tidak menguntungkan lagi.

Demi laba, mereka bisa berbuat apa saja (yang terpuji maupun yang tercela) kepada siapa saja, termasuk membeli birokrasi pemerintah agar menuruti kehendaknya. Dalam hal ini mereka dapat melakukannya dengan cara yang sangat vulgar (mem-PHK, menipu, manipulasi) sampai cara yang sekilas nampak elegan, melalui cara-cara konstitusional (pembuatan kebijakan negara). Misalnya, antara 1991-1995, untuk mengungkit dividen serta harga sahamnya, IBM memotong 33% anggaran gaji, dan memberhentikan 122.000 pekerjanya.1.

Apapun caranya, mereka melakukan dengan perhitungan untung/rugi, karena setiap biaya yang keluar akan tetap diperhitungkan sebagai pengeluaran dalam rencana investasi mereka. Para pemilik modal begitu concern dengan setiap pos pengeluaran/biaya, karena setiap pengeluaran berarti berkurangnya keuntungan mereka.

Jelas sudah, tidak ada pemilik modal/investor yang bersedia menanamkan modal hanya karena prihatin melihat begitu banyak pengangguran, tetapi sebaliknya mereka tidak segan-segan untuk menutup pabriknya ataupun usahanya, walaupun mengancam buruh yang akan kehilangan pekerjaanya. Semakin jelas, tujuan utama pemilik modal adalah bagaimana memperbesar sekaligus mempercepat akumulasi modalnya. Bahwa dalam mengejar tujuan itu, ribuan lapangan kerja dibuka bukanlah tujuan, melainkan ‘akibat’ di luar tujuan utama. Istilahnya: an unintended consequence. Sedang laba dan akumulasi modal adalah the intended consequence (akibat yang dimaksud).2.

Dalam konteks ini posisi buruh hanya memiliki nilai instrumental sejauh bisa memperbesar akumulasi modal, dan tidak berhubungan langsung dengan besarnya modal itu sendiri. Jadi kalau akumulasi modal yang menjadi target pemilik modal (investor) sudah tercapai sama sekali tidak ada jaminan bagi buruh untuk tetap dipertahankan bekerja di perusahaan tersebut. Karena keberadaan buruh di perusahaan akan diterima dan hanya akan diterima demi penggelembungan modal, kalau tidak dia akan dianggap sebagai beban (inefisien). Oleh karena itu harus dihilangkan. Dengan lebih lugas bisa dikatakan, karena buruh dihargai sejauh nilai instrumentalnya, maka buruh dipandang setara dengan faktor produksi lainnya seperti gedung, tanah, mesin atau alat-alat produksi lainnya. Karena sekedar alat, maka dihargai bila masih bisa dimanfaatkan.

Dalam konteks ini pada 2003 FPBN membuat catatan sbb :

Manusia dengan nilai-nilai kemanusiaan yang melekat dipreteli dan diubah menjadi barang dagangan atau komoditas. Buruh tak beda dengan faktor produksi lain seperti bahan baku, bahan bakar maupun modal lainnya tanpa diindahkan kemanusiaannya. Sistem kerja kontrak membuka jalan bagi lembaga outsourcing untuk melabeli buruh dengan harga lengkap dengan masa pakai lantas menjual kepada para pemilik modal. Silahkan para pemilik modal memakai seenak dan sepuas hati. Bila ada barang rusak, lembaga outsourcing siap mengganti. Stok masih melimpah-ruah. Akankah kita tega menghancurkan harkat dan martabat manusia demi keuntungan yang secuil.

Relasi antara pemilik modal dengan buruh yang begitu eksploitatif bukanlah relasi manusiawi, karena baik bagi buruh maupun pemilik modal keduanya mengalami proses dehumanisasi yang sistematis. Pengingkaran atas harkat kemanusiaan masing-masing. Kata kunci yang bisa menjelaskan hal ini barangkali adalah serakah / rakus. Buruh menjadi korban kerakusan pemilik modal sedangkan pemilik modal menjadi monster bagi buruh demi memuaskan hasrat kerakusannya.

Pada titik ini negara tidak boleh absen berperan sebagai penjaga dan pelindung nilai-nilai kemanusiaan bagi seluruh warganya, baik buruh maupun pemilik modal. Negara harus melakukan intervensi agar tidak terjadi relasi yang eksploitatif antara pemilik modal dan buruh, sesuai dengan kewenangan yang telah diberikan kepadanya oleh seluruh warga bangsa. Nafsu keserakahan dan kerakusan hanya bisa dihentikan dengan intervensi oleh negara melalui berbagai kebijakan perundang-undangan dan peraturan yang secara tegas membatasi kekuasaan modal. Kalau kekuasaan politik dikendalikan dengan demokrasi – melalui parlemen dan pemilu - lantas bagaimana dengan kekuasaan modal. Sementara sama-sama sebagai kekuasaan baik politik maupun modal sangat menentukan hidup mati umat manusia di muka bumi. Entahlah modal tampaknya masih terlalu cerdik untuk dengan mudah bersedia dikontrol dan dibatasi kekuasaannya demi kesejahteraan umat manusia.

LMF dan Pengabdian Kepada Pasar Bebas

Kebutuhan akan ‘kepastian mendapat untung setinggi-tingginya’ bagi pemilik modal/investor dalam uraian sebelumnya, kini diterjemahkan dengan sangat halus menjadi ‘iklim investasi yang kondusif’. Pokok inilah yang ditawarkan untuk mengatasi masalah pengangguran di Indonesia, dokumen SPKN (Strategi Penanggulangan Kemiskinan Nasional) hal III-7 menyatakan :

Upaya mengatasi masalah pengangguran harus dilakukan dengan merumuskan dan menetapkan kebijakan terpadu yang diarahkan pada penciptaan iklim investasi yang kondusif, pengaturan ketenagakerjaan yang tidak terlalu memberatkan para penanam modal tetapi seimbang antara pekerja dan pemberi kerja. ………….. Beberapa penyempurnaan kibijakan dan program ketenagakerjaan yang perlu dilakukan antara lain, adalah; (a) memudahkan persyaratan tanpa menghilangkan hak-hak pengusaha untuk memperoleh izin dalam pengurangan tenaga kerja dan PHK; (b) menyesuaikan besaran angka pesangon; dan (c) menyusun skema pesangon atas dasar kontribusi dari tenaga kerja’.3.

Upaya mengatasi masalah pengangguran diserahkan kepada ‘nafsu’ pemilik modal yang hanya bertujuan memperbesar akumulasi laba dan modal. Tanpa kejelasan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan pengaturan ketenagakerjaan yang seimbang antara pekerja dan pemberi kerja /pemilik modal. Kalimat berikutnya justru menjelaskan banyak hal ketika menyebutkan; menyempurnakan kebijakan dan program ketenagakerjaan dengan memberi kemudahan kepada pengusaha untuk melakukan efisiensi /memecat/mem-PHK buruh dan mengurangi kewajiban pengusaha atas biaya pesangon serta membiarkan buruh sendiri yang harus memikirkan pesangonnya apabila dia dipecat oleh pengusaha.

Arah kebijakan seperti inilah yang ditawarkan kepada pemilik modal / investor - dalam tujuannya mencari ‘iklim investasi yang sehat dan kondusif’ serta memberikan kepastian memperoleh laba yang optimal – agar bersedia melakukan investasi. karena dengan demikian menciptakan lapangan kerja yang pada gilirannya dapat mengurangi angka pengangguran.

Kalau dokumen SPKN (kantor Menko Kesra) menawarkan kebijakan seperti tersebut di atas, lain lagi dengan Depnakertrans dengan Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009. Dalam Pendahuluannya butir 5. ketika berbicara mengenai masalah pengangguran :

Secara teoritis, ada tiga cara pokok untuk menciptakan kesempatan kerja atau berusaha dalam jangka panjang. Cara pertama adalah dengan memperlambat laju pertumbuhan penduduk yang diharapkan dapat menekan laju pertumbuhan sisi penawaran tenaga kerja. Tetapi seperti dikemukakan di atas, cara ini tidak memadai bagi Indonesia karena angka kelahiran memang tidak relatif rendah dan dampaknya terhadap pertumbuhan tenaga kerja kurang signifikan dalam jangka pendek. Cara kedua adalah dengan meningkatkan intensitas pekerja dalam menghasilkan output (labour intensity of output). Tetapi dalam jangka panjang, cara ini tidak selalu berhasil karena tidak selalu kondusif bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Cara ketiga adalah melalui pertumbuhan ekonomi. Cara ini bukan tanpa kualifikasi karena secara empiris terbukti bahwa pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja tidak terdapat hubungan otomatis atau niscaya, tetapi justru tantangannya menjadi riil, karena hubungan yang tidak otomatis itu, maka peranan pemerintah menjadi strategis dan crucial untuk merancang strategi pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi juga "ramah" terhadap ketenagakerjaan (employment – friendlygrowth).4.

Yang menarik, cara ketiga mengenai usulan upaya penciptaan kesempatan kerja yang diletakkan pada pertumbuhan ekonomi, Depnakertrans memberi catatan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak selalu berjalan seiring dengan penciptaan lapangan kerja; kecuali ada intervensi negara. Secara tersirat dokumen SPKN juga mengandaikan bahwa pengangguran hanya bisa diatasi dengan pertumbuhan ekonomi, itu sebabnya ‘iklim investasi yang kondusif’ harus diciptakan, karena hanya dengan penanaman modal, pertumbuhan ekonomi bisa diharapkan. Yang berbeda diantara keduanya, dokumen SPKN percaya pertumbuhan ekonomi otomatis akan menciptakan lapangan kerja baru, tanpa secara jelas mengandaikan adanya intervensi negara.

Namun Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2005 dalam Kebijakan Umum-nya butir 1, menyatakan sbb :

…….. Masalah ketenagakerjaan yang berskala besar, kompleks, serta masih didominasi oleh tenaga kerja pertanian dan sektor informal memerlukan kebijakan pasar kerja yang lentur (labour market flexibility). Melalui kebijakan itu, pihak pengusaha diharapkan dapat mengatasi permasalahan ketenagakerjaan internal melalui penyelesaian tingkat upah, bukan melalui pemutusan hubungan kerja yang berdampak sangat luas. Kebijakan semacam itu diharapkan dapat mempersempit tingkat kesenjangan upah antara lapangan usaha formal dan sektor informal, menekan laju kenaikan pengangguran terbuka, serta menurunkan angka kemiskinan5.

Depnakertrans di bidang ketenagakerjaan dimasa mendatang akan mengedepankan situasi yang ‘kondusif’ bagi pemilik modal melalui kebijakan yang umumnya disebut pasar kerja yang lentur (Labour Market Flexibility). Bentuknya memberi kelonggaran dalam mengaplikasikan sistim pengupahan (tanpa harus melakukan PHK) yang sesuai dengan kemampuan pengusaha. Karena kebijakan ini dipercaya dapat mengurangi kesenjangan perbedaan upah real antara sektor formal dan sektor informal, mengurangi angka pengangguran dan dapat mengatasi masalah kemiskinan.

Karena prespektif yang dipakai adalah prespektif pengusaha/pemilik modal, maka dapat ditebak kearah mana sebenarnya yang dimaksud penyelesaian tingkat upah. Tidak mungkin berharap pengusaha akan mengimplementasikan sistim pengupahan yang memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup buruh. Lebih-lebih konteksnya adalah mempersempit kesenjangan upah antara sektor formal dan informal. Kita tahu angka upah real di sektor formal versi Bappenas jauh lebih tinggi dibandingkan upah real di sektor informal.

Dengan kata lain Depnakertrans melalui Rencana Tenaga Kerja 2004-2009, telah memperkenalkan kebijakan yang fleksibel di bidang pengupahan kepada pengusaha/pemilik modal, untuk menghindari PHK. Upah Buruh boleh diturunkan atau tidak naik, daripada melakukan PHK yang dianggap dapat menimbulkan masalah sosial baru. Sekarang memjadi semakin konkrit, kalau Depnakertrans dalam upayanya menarik investor melalui fleksibelitas masalah upah, dokumen SPKN melalui kemudahan (fleksibilitas) mem-PHK buruh dengan pasangon yang murah. Dapat dipastikan, bagi buruh akan sulit mengerti, bagaimana mungkin upah yang fleksibel, kemudahan terkena PHK dan kecilnya pesangon apabila kena PHK dapat menanggulangi dan mengurangi angka kemiskinan.

Pengertian mengenai pasar kerja yang fleksibel atau fleksibilitas pasar kerja yang paling jelas mencerminkan maksudnya adalah yang dikemukakan Bappenas dalam Ringkasan Ekskutif mengenai Kebijakan Pasar Kerja untuk memperluas Pasar Kerja pada akhir 2003 yang lalu, Bappenas mengemukakan :

Flesibilitas pasar kerja diartikan sebagai kemudahan upah riil dan tingkat kesempatan kerja untuk menyesuaikan dengan perubahan kondisi dan gejolak dalam perekonomian (baca : pasar bebas). Hal ini bergantung pada kemampuan perusahaan untuk merekrut dan memecat pekerja dengan biaya yang relatif rendah, dan pada kemampuan untuk menyesuaikan upah. Dimensi lain dari fleksibilitas pasar kerja adalah kemudahan yang memungkinkan bagi pekerja untuk pindah dari satu perusahan ke perusahaan yang lain, dari satu industri ke industri yang lain, dari satu sector ke sector yang lain, dan dari satu daerah ke daerah yang lain. Hal tersebut ditentukan oleh akses terhadap informasi mengenai alternatif-alternatif kesempatan kerja, biaya perpindahan, fleksibelitas upah, dan tingkat pendidikan pekerja.6

Pasar kerja diarahkan sedemikian rupa supaya mampu mengakomodasi kepentingan pelaku bisnis/pengusaha/pemilik modal dalam menghadapi persaingan bisnis/pasar. Sehingga dalam hubungannya dengan buruh, pelaku bisnis/pemilik modal membutuhkan relasi yang fleksibel seturut fluktuasi persaingan bisnis/pasar/gejolak perekonomian. Buruh harus bersedia bersikap fleksibel dalam relasinya dengan pengusaha/pemilik modal, karena kalau tidak pengusaha akan kesulitan dalam melakukan persaingan bisnis di pasar. Tentu saja pengusaha/pemilik modal tidak bersedia sampai mengalami kekalahan dalam persaingan bisnis, untuk itu dimulai dari tingkat perencanaan investasi mereka berusaha sedapat mungkin mengendalikan semua factor yang mungkin menyebabkan kekalahan dalam bersaing di pasar. Karena itu lebih jauh Bappenas dalam penilaiannya terhadap UUK 13/2003, mengemukakan :

Namun, nuansa ikut campur pemerintah tampaknya masih terlihat pada bidang-bidang yang biasanya akan lebih baik bila dipecahkan melalui negosiasi bipartite antara pemberi kerja dan pekerja. Ini terlihat dari keinginan untuk mengatur secara rinci berbagai ketentuan mengenai kondisi kerja yang sebetulnya akan jauh lebih baik bila dihasilkan melalui perundingan kolektif. Di samping itu, pemerintah masih banyak ikut campur dalam proses pemutusab hubungan kerja (PHK) dan penyelesaian perselisihan, padahal saat ini praktek international lebih meendorong pelaksanaan proses-proses tersebut pada tingkat perusahaan.7.

Jadi fleksibelitas pasar kerja harus berarti minimnya peran negara untuk ikut campur tangan dalam urusan hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha/pemilik modal.

Karena dengan minimnya regulasi negara (di bidang perburuhan ) akan semakin mudah mencapai tingkat efisiensi seperti yang dikehendaki oleh pasar, atau setidaknya pelaku bisnis akan mempunyai cukup fleksibelitas dalam menyesuaikan diri dengan tuntutan pasar tanpa dibebani oleh kewajiban-kewajiban (regulasi) yang muncul akibat adanya hubungan kerja dengan buruh.

Modal akan bekerja optimal dalam menghasilkan akumulasi laba membutuhkan prasyarat kebebasan dalam berbagai hal, bebas dari kontrol negara atas praktek bisnis yang mereka lakukan, bebas dari kontrol serikat buruh atas praktek penggunaan tenaga buruh dalam ruang-ruang produksi mereka dan bebas dari kontrol masyarakat apakah keberadaannya lebih membawa manfaat ketimbang mudharatnya.. Bahkan kalau kebebasan itu tidak mereka dapatkan dari negara, mereka mampu mengatur (membeli) aparat negara agar membuat kebijakan seperti yang mereka butuhkan. Kekuasaan modal sudah setara bahkan melebihi kekuasaan negara dalam menentukan nasib mayoritas bangsa manusia.

Kalau ditingkat nasional institusi negara seperti Bappenas dan Depnakertrans maupun perangkat kebijakan seperti SPKN percaya bahwa penanggulangan kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja dibidang perburuhan dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi dan pasar kerja yang fleksibel, maka ditingkat global institusi seperti Bank Dunia, IMF dan WTO memiliki agenda ‘perubahan struktural’ bagi semua negara yang membutuhkan ‘jasanya’. Paket-paket bantuan yang disediakan bagi negara-negara yang membutuhkan jasa IMF biasanya disertai kewajiban menjalankan program reformasi ekonomi berupa liberalisasi, privatisasi dan deregulasi.

Semua peran negara yang ditengarai masih berpotensi mendistorsi bekerjanya kepentingan pasar harus dirombak (deregulasi), dan disesuaikan dengan kepentingan pasar, kalau ada kepentingan negara yang harus dilindungi demi kepentingan rakyat, diserahkan saja ke pasar karena pasar akan bisa mengatasi masalah itu. Itu sebabnya berbagai bentuk subsidi untuk rakyat dihapuskan karena dinilai membebani neraca keuangan negara. Toh kalau pasar bisa bekerja optimal dapat menciptakan pertumbuhan ekonomi tinggi yang pada akhirnya bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyat banyak.

Perusahaan-perusahaan milik negara karena dinilai tidak efisien dan menjadi sarang koruptor, maka harus diserahkan (privatisasi) pengelolaannya kepada swasta (pelaku bisnis/pemilik modal) agar efisien, sehingga pada akhirnya akan mampu menyumbang pada pertumbuhan ekonomi nasional. Negara sebaiknya hanya berperan menyediakan perangkat kebijakan yang hanya bertujuan memperlancar bekerjanya pasar bebas secara maksimal tanpa gangguan dari siapa saja. Kebijakan ketenagakerjaan mesti bersahabat dengan pasar yaitu pasar tenaga kerja yang fleksibel, modal asing boleh beroperasi sampai pelosok-pelosok negeri, boleh melakukan kegiatan penambangan di kawasan hutan lindung dlsb.

Demikian juga semua hambatan perdagangan baik subsidi maupun tarif harus dihilangkan supaya melancarkan aliran arus barang, jasa dan modal kemana saja di berbagai belahan dunia, karena hanya dengan begitu pasar bisa bekerja dengan baik dan pertumbuhan ekonomi dapat diharapkan.

Begitulah, kebijakan ketenagakerjaan yang fleksibel (LMF) tidak datang begitu saja, hanya karena negara menganggap kebijakan yang seperti inilah yang baik; akan tetapi begitu banyak kepentingan dibelakangnya yang terus menerus melakukan penekanan kepada negara. Mereka adalah para pelaku bisnis international (MNC/TNC), negara-negara maju (kaya) melalui institusi global (Bank Dunia, ADB, IMF, WTO), dan kelompok-kelompok pro pasar bebas lainnya (pelaku bisnis local, birokrat, partai, akademisi, LSM dll).

Buruh dan Agenda ke Depan

Akibat dari kebijakan pasar kerja yang fleksibel, sudah meluas menimpa buruh diberbagai sektor pekerjaan baik manufaktur, jasa, keuangan, pendidikan dan birokrasi negara. Hal ini diperparah dengan mentalitas birokrasi negara yang tidak kompeten dan korup, sehingga sulit sekali berharap mereka dapat melihat gentingnya persoalan ini.

Sudah tidak memadai lagi strategi gerakan buruh kalau masih mengacu pada pola hubungan industrial yang lalu, karena hubungan industrial itu sendiri yang sekarang mengalami perubahan mendasar. Basis pengorganisasian buruh mengalami perubahan karena organisasi produksi telah dirubah oleh pemilik modal mengikuti tuntutan pasar bebas. Basis persoalan buruh tidak lagi semata-mata berada di pabrik (pengusaha lokal), tapi sudah berbelit dengan persoalan-persoalan kebijakan politik ekonomi global.

Ketika masalah perusakan terhadap pekerjaan (buruh tetap diubah menjadi buruh kontrak) gencar berlangsung di mana-mana, pada saat itu basis pengorganisasian buruh harus digeser. Basis keanggotaan serikat buruh tidak lagi efektif kalau mengambil basis pabrik, tetapi harus dirubah menjadi berbasis komunitas. Model advokasinyapun harus juga disesuaikan dengan kebutuhan basis komunitas.

Kampanye sebagai bagian strategi advokasi makin diperlukan sebagai alat untuk membangun opini mengenai bahaya praktek LMF, sehingga ke depan buruh dapat bersama-sama dengan masyarakat sipil lainnya melawan dampak buruk dari praktek LMF.

Catatan:

*) Disampaikan pada Sosialisasi dan Konsultasi Publik SPKN, Yayasan AREK; Surabaya. 3-5 Agustus 2004.

1) Herry Priyono, dalam Buruh dan Negara : Dalam Tawanan Pemodal.

2) Herry Priyono, dalam Buruh dan Negara : Dalam Tawanan Pemodal

3) Tim Koordinasi Penyiapan Penyusunan Perumusan Kebijakan Penanggulanagn Kemiskinan (TKP3KPK), Kementrian Bid. Kesra dalam Strategi Penanggulanagn Kemiskinan Nasional, Mei 2004

4) Depnakertrans, Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009.

5) Depnakertrans, Rencana Tenaga Kerja Nasional 2004-2009

6) Direktorat Ketenagakerjaan Dan Analisa Ekonomi, Bappenas; dalam Ringkasan Eksekutif ‘ Kebijakan Pasar Kerja Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, hal 3.

7) Direktorat Ketenagakerjaan Dan Analisa Ekonomi, Bappenas; dalam Ringkasan Eksekutif ‘ Kebijakan Pasar Kerja Untuk Memperluas Kesempatan Kerja, hal 5.


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?