Saturday, July 28, 2007

Hak atas Jaminan Sosial

Dimuat dalam jurnal FPBN edisi 6

Hak atas Jaminan Sosial


Human beings are like parts of a body,

created from the same essence.

When one part is hurt and in pain,

the others cannot remain in peace and be quiet.

--Motto dari Tehran School of Social Work, 1958-1979[1]

Latar Belakang Sejarah

Pada awalnya jaminan sosial diadakan dalam konsepsi ‘amal’ (charity) atau kemurahan hati komunitas sosial terhadap anggotanya komunitas sosial yang tidak beruntung secara ekonomi. Penyedia jaminan sosial tersebut, biasanya adalah organisasi keagamaan, para tuan tanah, komunitas adat, atau keluarga besar. Mereka menyediakan jaminan sosial berdasarkan prakarsa sendiri yang didorong oleh rasa tanggung jawab sosial bersama. Konsep jaminan sosial yang bergantung pada rasa tanggung jawab kelompok sosial seperti ini terjadi karena saat itu belum dikenal relasi perburuhan formal. Penerima jaminan sosial terbatas pada sekelompok orang tertentu saja. Misalnya, tuan tanah terhadap sejumlah keluarga yang tinggal di wilayah tanah miliknya dan bekerja tanpa menerima upah, walau lazim diberi kebutuhan hidup seadanya. Contoh yang lain adalah kaum bangsawan dan raja yang menagih hasil kerja warganya yang dapat diganti dengan jaminan keamanan atau pun bantuan seadanya, berdasarkan kemurahan hati bangsawan dan raja tersebut.

Revolusi industri dan kebangkitan kapital di pertengahan abad 18 berdampak terhadap perubahan ekstrim dalam relasi sosial. Komunitas sosial mulai mengenal hubungan perburuhan formal dan upah sebagai imbalan kerja. Sifat relasi perburuhan yang subordinatif, relasi yang tidak seimbang karena kaum pemodal memiliki otoritas untuk menentukan berlanjut atau tidaknya hubungan kerja, menyebabkan kaum buruh dan keluarganya sama sekali tidak memiliki jaminan jika suatu saat mereka di-PHK, sakit, atau tidak memperoleh pekerjaan. Itu sebabnya dirasa perlu ada jaminan [ekonomi] yang dapat membuat buruh dan keluarganya dapat bertahan hidup jika ia mengalami sakit, kecelakaan kerja, atau pun di-PHK. Kaum buruh kemudian menganggap perlu adanya campur tangan Negara untuk membangun sistem jaminan sosial.

Desakan yang dilakukan oleh kaum buruh dan kelompok-kelompok sosial lainnya berhasil mendorong banyak negara untuk memainkan peran aktif dalam membangun sistem perlindungan sosial. Jerman pada masa pemerintahan Kanselir Bismarck adalah negara pertama yang membangun sistem jaminan sosial tahun 1883-1889. Sistem ini diperuntukkan hanya bagi mereka yang memiliki penghasilan, yang dibiayai dari kontribusi buruh dan majikan. Pada tahun 1911, pemerintah Inggris menerapkan sistem jaminan sosial yang juga mencakup manfaat bagi mereka yang kehilangan pekerjaan. Sejak sebelum Perang Dunia II, negara-negara kesejahteraan (welfare-state) sosial-demokrat di wilayah Skandinavia mengembangkan konsep jaminan sosial yang tidak hanya diperuntukkan bagi kaum buruh, tetapi bagi seluruh rakyatnya. Dinyatakan bahwa sistem jaminan sosial dapat dijadikan sarana efektif untuk mengurangi ketidakadilan yang diakibatkan oleh kapitalisme. Inilah yang menjadi latar belakang pemikiran tentang hak sosial setiap orang; bahwa Negara mempunyai kewajiban untuk menyediakan dan melindungi hak-hak sosial setiap orang melalui penyediaan akses yang sama atas kebutuhan-kebutuhan dasar sosial. Tahun 1930an, pada masa depresi ekonomi, Amerika Serikat memberlakukan UU Jaminan Sosial. Undang-undang tersebut memberikan jaminan perlindungan sosial terhadap kaum buruh, namun juga menetapkan kewajiban subsidi negara terhadap mereka yang tidak memiliki pekerjaan. Terbukti bahwa sistem dalam UU Jaminan Sosial ini mampu membantu Amerika Serikat mengatasi kekacauan sosial yang timbul akibat depresi ekonomi saat itu.

Saat ini, hampir seluruh negara di dunia memberlakukan jaminan sosial sebagai bagian dari ekspresi tanggung jawab negara terhadap kesejahteraan warganya. Bentuk-bentuk jaminan sosial yang diberikan berbeda-beda. Negara-negara maju biasanya mengembangkan sistem jaminan sosial yang terdiri dari kombinasi program jaminan sosial dan bantuan sosial. Jaminan sosial menyediakan manfaat tambahan bagi kaum buruh dan keluarganya yang disediakan saat tidak bisa bekerja (misalnya, saat sakit, melahirkan, atau pun karena lanjut usia dan terkena PHK). Jaminan sosial dibiayai juga oleh kontribusi buruh, majikan, dan negara. Sedangkan program bantuan sosial diadakan melalui anggaran negara yang biasanya dikhususkan bagi kelompok-kelompok tak berdaya dalam masyarakat (misalnya kaum jompo dan penyandang cacat). Bentuk manfaatnya tentu berbeda-beda di tiap negara, tetapi biasanya berupa bantuan untuk pangan, kesehatan, tempat tinggal, bahkan biaya pemakaman. Ada negara yang menyediakan bantuan sosial ini dalam bentuk kupon, tetapi ada juga yang memberikan uang tunai.

Negara-negara berkembang dan miskin memiliki kesulitan lebih besar untuk menyediakan jaminan sosial bagi warganya. Hanya sedikit negara berkembang yang mampu menyediakan program jaminan sosial yang komprehensif. Lainnya terpaksa memfokuskan program jaminan sosial yang ada bagi kelompok tak berdaya (misalnya anak-anak dan kaum jompo), atau pun untuk situasi darurat (misalnya bencana alam, kelaparan, dll). Kesulitan ekonomi, utang luar negeri, atau pun lemahnya kapasitas administrasi menyebabkan kebanyakan negara berkembang kesulitan untuk mengadakan jaminan sosial yang memadai. Namun demikian, baik juga untuk memeriksa alasan-alasan seperti itu secara lebih teliti. Human Development Report 1991 menyatakan bahwa persoalan utama terabaikannya program jaminan sosial sesungguhnya adalah lemahnya komitmen politik, bukan finansial.

Hak atas Jaminan Sosial adalah Hak Asasi Manusia

Mengapa hak atas jaminan sosial dianggap sebagai salah satu hak asasi manusia? Jawabannya bisa ditelusuri dari pemaknaan sejarah keberadaan hak atas jaminan sosial dalam masyarakat: Hak atas jaminan sosial pada dasarnya berbicara tentang hak hidup. Tidaklah patut jika seseorang dibiarkan mati secara perlahan karena kemiskinan dan ketidakmampuan untuk bekerja demi menghidupi diri sendiri. Hak asasi untuk hidup manusia tidak berhenti pada kemampuan untuk bertahan hidup saja. Setiap manusia berhak untuk memiliki standar kehidupan yang layak, yang menjangkau hak atas kesehatan, hak atas perumahan, hak atas pendidikan, dan lain-lain. Dalam lingkup hak asasi manusia, kewajiban untuk memastikan terjaminnya kehidupan yang layak diletakkan pada pundak Negara. Konsep jaminan sosial yang telah dikembangkan sejak puluhan tahun lalu dianggap dapat menolong Negara untuk memastikan terpenuhinya hak asasi atas kehidupan yang layak setiap warganya. Dalam pemahaman yang luas, hak atas jaminan sosial berbicara tentang penjaminan ketersediaan kebutuhan hidup demi pemenuhan standar kehidupan yang layak. Karena itulah hak atas jaminan sosial adalah salah satu bentuk hak asasi manusia di bidang ekonomi dan sosial.

Demikianlah hak atas jaminan sosial sesungguhnya berbicara tentang bentuk kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan hak asasi manusia. Dalam perspektif hak asasi di bidang sipil dan politik, hak atas jaminan sosial mengandung aspek perlindungan hak atas hidup, hak atas keamanan seseorang, dan juga hak atas perlindungan dari siksaan fisik maupun segala bentuk perlakuan tidak manusiawi. Di bidang ekonomi, sosial, dan budaya, hak atas jaminan sosial berbicara tentang pemenuhan hak atas kesehatan, pendidikan, perumahan, dll. Karena itu, pelaksanaan program jaminan sosial seharusnya dilakukan dengan pendekatan hak asasi manusia yang didasari prinsip-prinsip berikut:

  1. Cakupan luas, maksudnya program jaminan sosial harus memberi manfaat yang mencakup berbagai hal yang menyebabkan seseorang tidak mampu bekerja dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini, misalnya, melingkupi situasi tak bekerja, sakit, usia lanjut, melahirkan, ataupun jaminan hidup bagi anak-anak ketika orang tuanya meninggal dunia.
  2. Universalitas dan anti-diskriminasi, maksudnya dapat menjangkau semua orang yang membutuhkan jaminan sosial, tanpa terkecuali dan tidak mendiskriminasi dengan dasar apa pun termasuk perbedaan ras, jenis kelamin, orientasi seks, agama, pandangan politik, maupun status ekonomi.
  3. Cukup dan layak, maksudnya manfaat jaminan sosial yang diterima seharusnya cukup dan layak. Misalnya, jaminan kesehatan yang diberikan semestinya dapat membiayai kebutuhan pengobatan selayaknya selama dibutuhkan oleh si penderita.
  4. Menghormati hak-hak prosedural, maksudnya adalah aturan dan prosedur untuk mendapatkan manfaat jaminan sosial haruslah diatur sedemikian rupa sehingga adil dan masuk akal. Misalnya saja seseorang yang sedang berada dalam keadaan darurat seharusnya memperoleh akses untuk mendapat pelayanan cepat dan efektif.

Perkembangan Hak atas Jaminan Sosial di Indonesia

Amandemen UUD 1945 pasal 34 ayat (2) menyebutkan, “Negara mengembangkan jaminan sosial nasional bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakan lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

Sampai hari tulisan ini dibuat, Indonesia belum memiliki sistem jaminan sosial yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Penyediaan jaminan sosial hanya tersedia bagi mereka yang memiliki pekerjaan, baik di sektor swasta maupun di sektor publik. Mereka yang berstatus sebagai buruh sektor swasta berhak untuk diikutsertakan dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (biasa disingkat Jamsostek) berdasarkan UU No. 3 tahun 1992. Sedangkan mereka yang berstatus buruh pada sektor publik –baik yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil atau pun anggota militer– secara otomotis diikutsertakan pada skema-skema jaminan sosial yang biasa dikenal sebagai Tabungan Sosial Pegawai Negeri (TASPEN), Asuransi Kesehatan (ASKES), atau Asuransi ABRI (ASABRI). Jaminan sosial yg tersedia dari skema-skema tersebut di atas biasanya berupa jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, atau pun tunjangan hari tua (pensiun).

Bulan September 2004 lalu, Pemerintah mensahkan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. Ini adalah aturan hukum pertama di Indonesia yang mengatur pemberian jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di dalam UU No. 40 tahun 2004, Negara menyatakan kewajiban hukumnya untuk menyediakan manfaat jaminan sosial berupa jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan jaminan kematian. Dinyatakan pula bahwa pemberian jaminan kesehatan akan menjadi prioritas utama yang akan dilakukan oleh Negara, sedangkan manfaat jaminan sosial lainnya akan dilaksanakan secara bertahap. Untuk membiayai pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional ini, kaum buruh dan majikan diwajibkan untuk memberi kontribusi dalam bentuk iuran, sementara fakir miskin dan orang tidak mampu ditanggung oleh Negara. Hal yang sesungguhnya tidak asing berlaku dalam konteks negara kesejahteraan, seperti didiskusikan pada bagian awal tulisan ini.

Program sistem jaminan sosial nasional ini direncanakan akan berlaku efektif paling lambat tahun 2009, 5 tahun setelah waktu diundangkannya UU No. 40 tahun 2004. Program ini akan dikelola oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional. Dewan ini bertanggung jawab pada Presiden dan beranggotakan 15 orang dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, serikat buruh, dan para ahli. Sebagai tahapan awal, pembiayaan pelaksanaan sistem jaminan sosial nasional akan menggunakan dana yang ada pada skema-skema jaminan sosial pada Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes. Keempat perusahaan pengelola Jamsostek, Taspen, Asabri, dan Askes akan dilebur menjadi satu untuk selanjutnya bekerja dalam skema program sistem jaminan sosial nasional seperti diamanatkan dalam UU No. 40 tahun 2004 ini.

Harus diakui bahwa terdapat berbagai pertanyaan dan gugatan tentang pemberlakuan sistem jaminan sosial di Indonesia. Kebanyakan kaum buruh, baik dari sektor publik maupun swasta, memiliki banyak gugatan terhadap pemberlakuan jaminan sosial yang ada sekarang. Misalnya saja, buruh-buruh manufaktur merasa tidak mendapatkan manfaat yang memadai dari keikutsertaannya dalam program Jamsostek. Prosedur klaim manfaat yang berbelit-belit serta minimnya dana yang diberikan merupakan keluhan utama terhadap program ini. Kinerja Pemerintah dalam mengelola program Jamsostek juga menuai kritik pedas, terutama mengenai kronisnya tingkat korupsi di sini. Hal yang sama juga menjadi gugatan dari para pegawai negeri sipil yang merasa kesulitan dalam memperoleh manfaat jaminan sosial dari Taspen maupun Askes.

Tak heran, jika UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional juga ditanggapi secara skeptis oleh kaum buruh. Program yang secara ideal hendak menyediakan kompensasi atas berbagai kewajiban ekonomi yang dibebankan pada rakyat kurang mendapat tanggapan yang positif dari rakyat. Salah satu alasan utama yang sering muncul dalam berbagai diskusi adalah terdapatnya ketidakjelasan tentang sistem kerja dan rencana program. Di sisi lain, banyak pihak meragukan keberlangsungan program ini (sustainability) mengingat pengelolaannya diserahkan pada pemerintah yang dianggap belum mampu mengatasi kroniknya korupsi di tubuhnya sendiri. Sampai hari tulisan ini ditulis, berarti sudah lebih dari 2 tahun sejak UU No. 40 tahun 2004 diundangkan, belum ada perkembangan yang berarti tentang bagaimana program ini akan berjalan. Malahan, yang lebih membingungkan, kabarnya saat ini Pemerintah justru mengakomodir keinginan para pemilik modal untuk mengamandemen UU No. 3 tahun 1992 tentang Jamsostek demi mengalihkan kewajiban membayar pesangon PHK kepada Jamsostek. Lalu, bagaimana relasinya dengan rencana pemberlakuan sistem jaminan sosial nasional yang rencananya akan berdampak pada Jamsostek?

Penutup

Hak atas jaminan sosial adalah hak asasi manusia. Walau menurut hukum hak asasi manusia yang berlaku secara internasional dimasukkan dalam kelas hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, namun sesungguhnya hak atas jaminan sosial juga berbicara tentang kesalingterkaitan dan kesalingbergantungan hak asasi manusia. Dengan memastikan tersedianya hak atas jaminan sosial, Negara memastikan hak atas hidup –dan pemenuhan standar kehidupan yang layak (decent life standard)– bagi warganegaranya.

Hak atas jaminan sosial juga berbicara tentang kemampuan Negara dalam memahami kewajiban-kewajibannya terhadap warga negara. Dalam konteks globalisasi ekonomi yang menyeret individualisasi dalam setiap aspek kehidupan sosial, Negara diharapkan menjadi salah satu penyedia jangkar kewarasan tanggung jawab bermasyarakat untuk saling memperhatikan dan membantu. Sebagai pengelola sebuah komunitas, Negara diberi mandat dan hak untuk menggunakan kekuatan hukum dalam memastikan bahwa penyediaan sistem jaminan sosial setidaknya memastikan setiap warganegara, semiskin apa pun, tetap dapat menjalankan hidupnya secara bermartabat.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, pemberlakuan sistem jaminan sosial di Indonesia adalah urgensi yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Untuk itu, sudah saatnya Negara menetapkan prioritas atas pemberlakuan sistem jaminan sosial nasional daripada sekadar mengakomodir kepentingan modal; sesuatu yang cenderung terus menjadi prioritas Negara selama beberapa dekade belakangan ini.

Jakarta, 19 Februari 2007

Rita Olivia Tambunan

Hak atas Jaminan Sosial menurut Standar-standard Internasional[2]

Instrumen Hak Asasi Manusia

Hak-hak yang Dijamin

Komentar

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM)

Pasal 22: Hak atas Jaminan Sosial

Pasal 25 mengakui hak semua orang atas jaminan pada saat tidak bekerja, sakit, cacat, janda/duda, usia lanjut, dan situasi buruk lainnya yang terjadi di luar kontrol kemampuan manusia.

DUHAM memang tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat, namun instrumen ini telah meletakkan dasar penting pengakuan hak atas jaminan sosial dalam berbagai perjanjian internasional yang diadopsi oleh Negara-negara.

Kovenan Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

Pasal 9 mengakui hak semua orang atas jaminan sosial

Pasal 10 ayat (2) mengakui hak para ibu yang bekerja atas “jaminan sosial yang layak”

Pasal 10 ayat (3) menetapkan negara-negara anggota untuk melakukan tindakan-tindakan khusus untuk melindungi dan membantu anak-anak dan orang muda.

Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari pasal 9. Namun demikian, Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya senantiasa mencari informasi berkaitan dengan 9 aspek jaminan sosial yang merupakan bagian dari Konvensi ILO No. 102. Dari upaya tersebut diketahui bahwa hak atas bantuan sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar tidak termasuk bagian dari hak atas jaminan sosial. Namun, beberapa ahli berpendapat bahwa hak atas bantuan sosial itu sebenarnya dapat ditarik dari pasal 11 yang mengakui ‘hak atas standar kehidupan yang layak, termasuk makanan yang layak, pakaian dan perumahan, dan perbaikan yang berkelanjutan atas kondisi kehidupan”.

Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan

Pasal 11 ayat (1) mewajibkan negara-negara anggota untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam relasi perburuhan, dan untuk memastikan hak yang sama antara lelaki dan perempuan, khususnya.... hak atas jaminan sosial, khususnya saat pensiun, tidak bekerja, sakit, cacat, dan usia lanjut, dan situasi lain yang menyebabkan tidak mampu bekerja, seperti juga hak atas cuti yang [tetap] diupah.

Pasal 11ayat (2b) menetapkan negara-negara anggota untuk mengadopsi tindakan-tindakan yang sepatutnya dilakukan untuk memberlakukan jaminan sosial saat cuti melahirkan.

Pasal 14 ayat (2) mengakui kewajiban negara-negara anggota untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan di pedesaan, dan khususnya untuk memastikan mereka memperoleh hak menikmati secara langsung program-program jaminan sosial [yang diadakan Negara]


Konvensi tentang Hak-hak Anak

Pasal 26 mengakui hak setiap anak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial.

Pasal 27 ayat (1) mengakui hak setiap anak atas standar kehidupan yang layak mencakup fisik, mental, rohani, serta pertumbuhan moral dan sosialnya.

Sehubungan dengan itu, pasal 27 ayat (2) dan (3) mewajibkan setiap negara anggota, selaras dengan kondisi dan situasi nasional, untuk melakukan tindakan-tindakan yang patut untuk membantu para orangtua untuk memberlakukan hak ini dalam hak dibutuhkan bantuan materi dan dukungan program, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan nutrisi, pakaian, dan perumahan.


Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Ras

Pasal 5(e)(iv) mengakui kewajiban negara-negara anggota untuk melarang dan menghapus diskriminasi ras dalam pemenuhan, satu diantaranya, hak atas jaminan sosial dan pelayanan sosial.


Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya

Pasal 27 dan 54 secara tegas mengakui hak-hak buruh migran atas jaminan sosial.


Piagam Sosial Eropa

Pasal 12 mengharuskan pihak-pihak dalam perjanjian ini untuk menetapkan atau mempertahankan sebuah sistem jaminan sosial di tingkat yang layak, setidaknya seperti yang disyaratkan dalam ratifikasi Konvensi ILO No. 102 mengenai Standar-standar Minimum Jaminan Sosial.

Sebagai tambahan, pihak-pihak dalam perjanjian ini wajib berusaha untuk meningkatkan sistem jaminan sosial secara progresif ke tingkat yang lebih tinggi. Pasal ini juga berisi aturan yang berkaitan langkah-langkah untuk memastikan perlakuan yang sama terhadap warganegaranya, maupun warganegara pihak dalam perjanjian ini berkaitan dengan hak atas jaminan sosial, penjaminan, pemberlakuan, dan keberlangsungannya. Pasal 13 mengakui hak atas bantuan sosial dan medis.

Para pihak dalam perjanjian ini patut memastikan bahwa semua orang yang tidak memiliki sumber-sumber kehidupan yang layak dan tidak mampu mendapatkannya, baik dengan usahanya maupun dari pihak lain –khususnya dari skema jaminan sosial yang ada, harus dijamin bantuan yang layak, dan, dalam kondisi sakit, perawatan kesehatan yang dibutuhkan.

Pasal 13 ayat (2) melarang diskriminasi terhadap orang-orang yang patut menerima bantuan tersebut di atas. Pasal 13 ayat (3) menetapkan ketersediaan bantuan dan saran yang dibutuhkan untuk mencegah dan mengatasi gangguan personal atau keluarga. Aturan khusus ditetapkan untuk bantuan [sosial] untuk melahirkan utamanya untuk memastikan jaminan efektif terhadap hak perempuan bekerja atas perlindungan hak untuk melahirkan (pasal 8). [Jaminan sosial] untuk keluarga dijamin pasal 16. Hak atas jaminansosial juga dilindungi dalam perbaikan Piagam Sosial Eropa (Mei 1996).

Pasal ini penting karena mengakui hak subyektif yang asli berkaitan dengan bantuan yang sepatutnya bagi setiap orang yang tidak mampu untuk mendapatkan sumber penghidupan.

Sebagai tambahan terhadap Piagam Sosial Eropa, Dewan Eropa telah menerbitkan Konvensi Eropa tentang Bantuan Sosial dan Medis (1953) dan Konvensi Eropa tentang Jaminan Sosial (1964, diperbaiki 1990). Konvensi yang terakhir menunjukkan sejumlah kesamaan dengan Konvensi ILO No. 102. Di Uni Eropa, ‘dimensi sosial’ berkaitan erat dengan hak-hak buruh. Charter Komunitas tentang Hak-hak Fundamental Buruh (1989) menggabungkan hak buruh atas jaminan sosial dan bantuan sosial dengan hak orang [non-buruh] atas hal yang sama (pasal 10). Pendekatan yang sama juga terlihat dalam Deklarasi Parlemen Eropa tentang Hak-hak dan Kebebasan Fundamental (1989), pasal 15.

Deklarasi Amerika tentang Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Manusia

Pasal 16 mengakui hak semua orang atas jaminan sosial ‘yang melindungi terhadap segala akibat dari pengangguran, usia lanjut, dan segala ketidakmampuan yang muncul dari hal-hal di luar kontrol manusia dan membuatnya –secara fisik dan mental– tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya’.

Pasal 9 dari Protokol Tambahan atas Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia di Bidang Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yang belum diberlakukan sampai saat ini, berbunyi sebagai berikut:

“( 1) Setiap orang memiliki hak atas jaminan sosial yang melindunginya dari segala konsekuensi usia lanjut dan kecacatan yang membuatnya tidak mampu, fisik dan mental, untuk memperoleh sumber kehidupan yang layak. Dalam kasus kematian seorang penerima manfaat, jaminan sosial seharusnya diberikan kepada ahli warisnya.

“(2) Bagi kaum buruh, hak atas jaminan sosial meliputi setidaknya jaminan kesehatan, jaminan penghasilan atau pensiun bagi mereka yang mengalami kecelakaan atau penyakit saat bekerja, dan jaminan upah saat cuti melahirkan bagi buruh perempuan.”


Charter Afrika tentang Hak Asasi Manusia

Perjanjian ini tidak secara khusus mengatur hak atas jaminan sosial. Namun demikian, aspek-aspek khususnya dapat dilihat dalam pasal 16 (hak atas kesehatan) dan pasal 18 ayat (4) (hak kaum usia lanjut dan cacat atas perlindungan khusus).


Organisasi Perburuhan Internasional (ILO)

Konvensi No. 102 tentang Standar-standar Minimum Jaminan Sosial mengakui 9 aspek dalam jaminan sosial: perawatan kesehatan, jaminan saat sakit, jaminan pengangguran, jaminan hari tua, tidak mampu bekerja karena terluka, jaminan keluarga, jaminan melahirkan, jaminan karena cacat, dan jaminan bagi ahli waris. Konvensi juga mengatur persyaratan minimum pelaksanaannya, antara lain berkenaan dengan cakupan dari populasi, isi dan tingkat jaminan, perlindungan hak dari kontributor dan penerima jaminan, dan hal-hal yang berkenaan dengan administrasi.

Konvensi-konvensi ILO lain yang relevan: Konvensi No. 103 tentang Perlindungan Melahirkan (1952, diperbaiki), Konvensi No. 118 tentang Perlakuan yang Sama terhadap Warganegara dan non-Warganegara (1962), Konvensi No. 121 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja (1964), Konvensi No. 128 tentang Jaminan Kecacatan, Usia Lanjut, dan Ahli Waris (1967), Konvensi No.157 tentang Pemberlakuan Hak-hak Jaminan Sosial (1982), dan Konvensi No. 168 tentang Promosi di Tempat Kerja dan Perlindungan dari Pengangguran (1988).

Secara umum, ILO memang mengaitkan hak-hak atas jaminan sosial dengan relasi perburuhan, walau secara progresif ILO memperkenalkan pemahaman yang lebih luas tentang jaminan sosial dimana Negara-majikan-buruh memiliki peran masing-masing untuk membiayai jaminan sosial.


[1] Sattareh Farman Farmaian dan Dona Munker, ”Daughter of Persia: A Woman’s Journey from Her Father’s Harem Through the Islamic Revolution”, (New York: Crown, 1992), dikutip dari Sunila Abeyesekera, et.al, “Circle of Rights”, (Bangkok: International Human Rights Internship Program and Asian Forum for Human Rights and Development, 2000), hal. 209.

[2] Diterjemahkan oleh penulis dari Sunila Abeyesekera, et.al, “Circle of Rights”, (Bangkok: International Human Rights Internship Program and Asian Forum for Human Rights and Development, 2000), hal. 214-218.

Labels:


Comments: Post a Comment



<< Home

This page is powered by Blogger. Isn't yours?