Monday, January 22, 2007
JURNALIS JUGA BURUH
Oleh : Aditya Heru Wardhana
Buruh di stasiun TV
“Sekarang saatnya wartawan berada di dalam barisan buruh, berjuang bersama menuntut hak” teriak lantang Ulil Niam Yusron, Ketua Divisi Serikat Pekerja Aliansi Jurnalis Independen (AJI Indonesia). Seruan itu bergema diantara ratusan ribu kaum buruh yang membanjiri jalanan utama Ibukota Jakarta 1 Mei lalu, tepat pada perayaan Hari Buruh Internasional.
Pada siang yang heroik, berkumpullah kelas buruh dari berbagai sektor manufaktur, jasa hingga para kuli tinta alias jurnalis. Isu revisi undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan telah menyatukan beragam elemen gerakan buruh. Keseluruhannya bersepakat pada penolakan revisi. Tak ketinggalan pula para jurnalis dan serikat pekerja pers yang terwakili pada bergabungnya Aliansi Jurnalis Independen dalam Aliansi Buruh Menggugat (ABM) sebuah koalisi yang menjadi motor penggerak penolakan revisi.
Bagi sebagian kalangan, keterlibatan para jurnalis dalam aksi-aksi buruh adalah hal yang aneh. Mengapa? Karena jurnalis dikategorikan sebagai kaum professional. Kaum professional diartikan orang yang menjalankan suatu pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu dan terikat pada kode etik masing-masing profesi. Seperti dokter terikat pada kode etik yang disusun Ikatan Dokter, pengacara terikat kode etik Ikadin termasuk jurnalis yang terikat pada kode etik jurnalistik yang disusun Dewan Pers.
Tapi mengapa diantara sekian kaum professional, hanya jurnalis bergabung dalam gerakan buruh?. Inilah letak kekhasan seorang profesi jurnalis.
Jurnalis atau wartawan adalah pekerjaan yang unik. Di satu sisi seorang jurnalis mematuhi kode etik jurnalistik, bersikap independent dan bekerja demi kepentingan umum. Namun di sisi lain, jurnalis bekerja pada perusahaan media, tak beda dengan karyawan, pekerja atau buruh di sektor lain yaitu orang bekerja demi menerima upah dari sang majikan. Termasuk dalam golongan proletariat bila dipandang dari kacamata Marxian. Dalam hubungannya di tempat bekerja, jurnalis mengalami pertentangan kelas antara buruh – majikan, yang masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda.
Permasalahan yang dihadapi jurnalis sebagai buruh di media antara lain gaji yang rendah, status karyawan yang tidak jelas, fasilitas yang belum memadai seperti susah meminta biaya penggantian liputan (internet, cetak foto), tidak ada tunjangan pensiun, termasuk berkenaan PHK dan jenjang karir.
Karena keunikan profesi itulah, organisasi atau serikat pekerja pers berdiri di dua kaki yaitu menjaga dan merawat kebebasan pers, melindungi jurnalis berkaitan tugas-tugas jurnalistik serta memperjuangkan kesejahteraan para jurnalis sebagai buruh di perusahaan media.
Tapi karena menyandang profesi yang mentereng itu pula yang menyebabkan gerakan serikat pekerja pers lamban mengalami kemajuan. Tingkat kesadaran jurnalis untuk berserikat masih rendah. Sebagian jurnalis terbuai kesadaran semu bahwa mereka adalah kelas professional, independent, tidak tergantung pada siapa pun. Berserikat belum dipandang sebagai kebutuhan bahkan ada yang menganggap berserikat dapat membiaskan kemandirian profesi jurnalis.
Peta Serikat Pekerja Pers
Dewanto (2002) dalam penelitian yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, sampai pada tahun 2002 tercatat telah berdiri 28 serikat pekerja pers di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu tidak sebanding dengan tumbuhnya ribuan media
Tahun Berdiri | Jumlah |
2002 | 6 |
2000-2001 | 9 |
1998-1999 | 5 |
1990-1997 | 6 |
<1990 | 2 |
Total Serikat Pekerja | 28 |
AJI
Media | Jumlah |
Cetak (Koran, majalah, tabloid) | 21 |
Radio | 1 |
Televisi | 2 |
Dotcom | 2 |
Kantor berita | 2 |
Total Serikat Pekerja | 28 |
AJI
Data menunjukkan serikat pekerja pers mayoritas tumbuh di media cetak. Menjamurnya media elektronik baik televisi, radio maupun online tidak diikuti dengan pendirian serikat pekerja pers. Tidak dapat dipungkiri bahwa motor penggerak serikat pekerja pers adalah para jurnalis, orang yang bekerja di bidang redaksi pemberitaan. Di perusahaan media cetak, redaksi dalam artian para jurnalis memegang peranan paling penting dibandingkan bagian lain seperti marketing atau sirkulasi. Hampir keseluruhan lembaran
Televisi adalah sektor yang sangat penting dan strategis tidak saja dari segi bisnis yang sangat menggiurkan namun juga kepentingan politis. Banyak pemodal yang berkeinginan mempunyai stasiun TV. Karena keterbatasan frekuensi, mengakuisisi stasiun TV yang sudah berdiri adalah langkah yang paling mungkin. Sehingga ketika ada stasiun TV yang sedang kolaps, sudah banyak pemodal yang mengincarnya. Hal ini tidak sampai menimbulkan permasalahan ketenagakerjaan di lingkungan jurnalis yang bekerja di stasiun yang bersangkutan.
Padahal pendirian serikat pekerja lazimnya ketika muncul permasalahan di perusahaan. Saat kondisi normal, gaji memuaskan, fasilitas penunjang memadai, jaminan asuransi dan hari tua lancar, tidak ada greget pembentukan serikat pekerja. Tetapi ketika ada tanda-tanda perusahaan sedang menuju kebangkrutan atau ada rencana strukturisasi yang diikuti oleh pemecatan besar-besaran, karyawan lalu tergerak untuk mendirikan serikat pekerja. Tentu saja tidak ada yang salah. Tetapi ini menunjukkan seolah serikat pekerja hanya dibutuhkan ketika perusahaan sedang menghadapi masalah. Padahal ketika perusahaan sedang sehat, serikat pekerja tetap diperlukan dan seharusnya bekerja. Kondisi ini biasanya terjadi terutama pada media cetak dan media online.
Wilayah | Jumlah |
| 23 |
| 2 |
Solo | 1 |
Luar Jawa | 2 |
Total Serikat Pekerja | 28 |
AJI
Dari segi geografis,
Dalam pelaksanaan tugas jurnalistiknya, para jurnalis kerap menghadapi bahaya terutama dari pihak-pihak yang merasa tidak senang pada pemberitaan.
Maraknya kasus-kasus ancaman pada jurnalis di daerah ternyata belum menjadi faktor pendorong berdirinya serikat pekerja pers di daerah. Penyelesaian kasus biasanya didasarkan pada solidaritas antar sesama jurnalis dengan menekan pihak-pihak yang terkait. Pada kasus Lampung, puluhan jurnalis berunjuk rasa ke Kantor Wilayah Kehakiman dan HAM Lampung, menuntut Kepala Kanwil mencopot Syamsul Rizal. Sayangnya, semangat solidaritas itu belum bisa mengarah pada kesadaran para jurnalis untuk berserikat dan mendirikan serikat pekerja di media masing-masing. Semestinya, serikat pekerja lah yang menjadi garda depan melindungi para anggotanya.
Strategi Gerakan Serikat Pekerja Pers
Di bandingkan dengan geliat serikat pekerja di sektor lain, serikat pekerja pers terasa tertinggal. Sampai detik ini belum terbangun persatuan serikat pekerja pers dari level daerah hingga nasional. Yang ada masih terbatas serikat pekerja pers tingkat perusahaan yang masih susah menggalang kerjasama yang lebih solid atau organisasi kewartawanan yang lebih menjurus pada organisasi keprofesian bukan pada watak serikat.
Jalan masih sangat panjang untuk mendorong terbentuknya serikat pekerja pers mulai dari level perusahaan, daerah hingga nasional. Pada tahap awal, organisasi profesi jurnalis mesti menetapkan diri bahwa selain sebagai organisasi profesi, mereka sekaligus juga serikat pekerja. Dari organisasi inilah, para anggota mengembleng diri, mencetak kader-kader yang berperan sebagai organizer penggerak serikat pekerja di perusahaan media masing-masing. Mulai dari serikat tingkat perusahaan lalu bersatu di federasi sampai pada level konfenderasi nasional. Di tingkat perusahaan perjuangan menyusun Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sebagai aturan main bersama antara karyawan dan perusahaan sangat penting dirumuskan. Tetapi dari 28 serikat pekerja pers, baru satu saja yang telah berhasil menggolkan KKB yaitu serikat pekerja pers di PT Abdi Bangsa yang mengelola harian Republika.
Soal Kesepakatan Kerja Bersama | Jumlah |
Sudah berhasil menggolkan KKB (Kesepakatan kerja Bersama) | 1 |
Tidak memperjuangkan KKB | 5 |
Dalam proses memperjuangkan KKB | 19 |
Belum berjalan | 3 |
Total Serikat Pekerja | 28 |
AJI
Konfederasi nasional serikat pekerja pers sangat dibutuhkan karena perjuangan tidak mungkin selesai, mandek hanya berkutat di perusahaan. Terutama pada taraf kebijakan seperti rencana revisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan perbincangan penulis dengan beberapa rekan jurnalis, masih ada jurnalis yang belum menyadari bahwa nasibnya pun turut dipertaruhkan pada rencana revisi undang-undang tersebut. Padahal para jurnalis itu pernah bahkan sering meliput seputar kontroversi revisi. Mereka merasa masalah itu hanya menimpa para buruh pabrikan.
Organisasi membekali anggota tidak hanya dengan ketrampilan dan profesionalitas sebagai jurnalis semata, namun juga dibarengi dengan penumbuhan kesadaran dan kemampuan mengelola serikat. Pelatihan menyusun Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) sama pentingnya dengan pelatihan jurnalisme investigasi. Membentuk jurnalis yang bekerja berdasar kaidah dan kode etik jurnalistik mesti dibarengi pula dengan menyuntikan kesadaran pentingnya berserikat. Menurut penulis, organisasi jurnalis yang telah secara tegas dan konsisten membangun serikat pekerja pers adalah AJI. Berjuang mewujudkan independensi, profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis merupakan tujuan utama AJI. Profesionalisme dan kesejahteraan jurnalis mesti seiring sejalan. Bagaimana jurnalis bisa bekerja secara professional dan independent bila kesejahteraannya masih kurang.
Selain terus menjaga ruang kebebasan pers, melindungi para jurnalis dalam pelaksanaan tugas jurnalistik, AJI juga getol mengkampanyekan pentingnya serikat pekerja pers. Salah satunya pada bulan Mei lalu, AJI Jakarta meluncurkan program baru bertajuk “Sosialisasi Standar Upah Layak Minimum Jurnalis Jakarta”. Menurut Jajang Jamaludin, Ketua AJI Jakarta “Dengan menghitung kebutuhan konsumsi wartawan setiap bulan, didapat angka Rp.3,1 juta sebagai standar upah minimum untuk wartawan yang baru saja diangkat”.
Angka Rp. 3,1 juta diperoleh dengan menghitung pola konsumsi seorang jurnalis di
Gaji Jurnalis Setelah diangkat menjadi karyawan tetap | |
Media | Gaji |
Tempo | Rp. 2.250.000 |
Kontan | Rp. 2.300.000 |
Kompas | Rp. 3.260.000 |
Media | Rp. 2.200.000 |
Bisnis | Rp. 4.000.000 |
Republika | Rp. 2.200.000 |
Berita Kota | Rp. 1.200.000 |
Smart FM | Rp. 1.350.000 |
VHR | Rp. 1.500.000 |
KBR 68H | Rp. 3.200.000 |
Trans TV | Rp. 1.700.000 |
RCTI | Rp. 2.500.000 |
SCTV | Rp. 2.150.000 |
Metro TV | Rp. 2.800.000 |
Indosiar | Rp. 2.000.000 |
Lativi | Rp. 1.800.000 |
El Shinta TV | Rp. 1.700.000 |
Detik.com | Rp. 2.400.000 |
Lain dengan penetapan Upah Minimum Kota (UMK) yang berada di tangan walikota dan gubernur, AJI Jakarta lebih memilih menyosialisasikan standar upah minimum tersebut pada stakeholder yang terkait antara lain Dewan Pers, Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), perusahaan media dan organisasi jurnalis yang lain.
AJI Jakarta menempuh cara ini karena belum memungkinkan sektor jurnalis diatur tersendiri dalam UMK dan ditetapkan pemerintah. Sosialisasi dan dialog dengan pihak terkait sekarang ini dipandang lebih efektif. Sudah ada perusahaan media yang akan menaikkan upah jurnalisnya sesuai dengan standar minimum. Sedangkan perusahaan yang masih merugi berusaha menawar dengan menurunkan standar. Dalam hal ini, kebutuhan berserikat sangat dirasakan untuk bisa sejajar berunding dengan pihak perusahaan. Serikat pekerja pers tetap menjadi kendaraan utama menggapai kesejahteraan karena jurnalis juga buruh.
____,2002. Peta Serikat Pekerja Pers di Indonesia. AJI Jakarta dan ACILS
____,2002. Kepuasan Anggota Terhadap Serikat Pekerja. Aliansi Jurnalis Independen
____,2001.Pekerja Pers: Berserikat untuk Kesejahteraaan dan Profesionalisme, AJI Jakarta,
Budiyanto, Rochman. 2000. Kesejahteraan Jurnalis, Antara Mitos dan Kenyataan
Dewanto, Nugroho (editor). 2003. The Many Paths of Reach The Goals. Experience of Press Worker unions in Fighting for Rights of Workers.
Haryadi, Edy. 2006. Mencermati Zaman Reaksi. Reporter
Hanggoro, Wisnu dan Iriawati, Irene. Wartawan dan Mutu Jurnalistik yang Rendah. http://www.freelists.org/archives/ppi//03-2006/msg00281.html