Tuesday, December 12, 2006
Pasang Surut Pengorganisasian Buruh
Pasang Surut Pengorganisasian Buruh
Oleh : M. Bachrul Ulum
Aktivis perburuhan, Bekerja pada Yayasan AREK Surabaya
Sejak rejim Orde Baru sampai saat ini buruh di
Sejak era reformasi jumlah serikat buruh berkembang pesat, dibanding dengan masa sebelumnya. Aksi-aksi buruh, seperti mogok kerja, menjadi hal yang biasa kita temui. Tetapi keadaan itu masih belum bisa mendongkrak posisi tawar buruh terhadap negara dan modal. Kaum buruh masih menjadi silent majority, dalam konteks kebijakan ekonomi nasional yang mengatur tentang investasi dan perburuhan. Dalam setiap kebijakan pemerintah buruh masih menjadi pihak yang banyak dikalahkan oleh kepentingan modal. Salah satu kebijakan yang pro modal adalah kebijakan tentang outsourcing. Modal diberi keleluasaan lebih untuk memakai buruh outsoucing dalam proses produksi, seperti yang termuat dalam UU Ketengakerjaan No 13 Tahun 2003 pasal 64.
Tekanan kapitalis global membuat negara berusaha merevisi kebijakan-kebijakan yang sudah ada. Kebijakan yang sudah ada dianggap masih belum ramah terhadap investasi. Karena kebijakan yang sudah ada dianggap masih belum mencerminkan pola pasar bebas, diperlukan perubahan agar memberi tempat bagi modal untuk berkembang dalam alam kebebasan. Disisi lain, hak buruh, yang nota bene berkebalikan dengan kepentingan modal, menjadi lebih banyak dikesampingkan demi kepentingan modal. Sehingga mau tidak mau upaya revisi tersebut menjadikan buruh akan semakin tertindas.
Contoh diatas menjadikan nasib buruh tidak berubah bila dibandingkan dengan masa rejim Orde Baru. Dimasa Orde Baru pemerintah menekan buruh secara represif dengan menggunakan alat-alat negara. Tidak itu saja Orde Baru juga menempelkan stigma pada setiap aktivis buruh dan semua metode perjuangannya. Semua itu dilakukan demi terciptanya stabilisasi politik, sehingga menjamin pertumbuhan investasi nasional.
Membangun Serikat Buruh Independen.
Pada masa Orde Baru amat sulit untuk merekrut buruh menjadi aktivis. Mereka ketakutan dibawah bayang-bayang alat-alat negara, yaitu ABRI dan birokrasi. Negara memakai seluruh aparatnya untuk mengontrol kehidupan buruh. Dari mulai aparat di tingkat pusat sampai dengan aparat di daerah-daerah. Bahkan negara sukses memperalat aparat kuasi birokrasi yang ada di kampung-kampung dan di desa-desa, untuk terus memata-matai kegiatan buruh sehingga terjadi banyak penangkapan yang dilakukan oleh negara terhadap aktivis buruh.
Negara melarang pendirian serikat buruh diluar serikat yang direstui oleh negara yaitu SPSI, menjadikan buruh takut untuk mendirikan serikatnya sendiri secara mandiri dan independen. HIP[1] adalah doktrin yang harus diterima oleh buruh. Semua kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan HIP dilibas habis. Pemikiran yang berseberangan dengan HIP dituduh merongrong kedaulatan negara, dan dianggap sudah melakukan subversi. Bahkan buruh yang berjuang untuk memperoleh hak-haknya dituduh sebagai antek-antek PKI, karena buruh dianggap sudah mempraktekan cara-cara PKI.
Ditengah tekanan yang luar biasa, pengorganisasian
Pada giliran berikutnya beberapa buruh yang sudah mempunyai militansi yang cukup, berkumpul untuk membangun serikat buruh alternatif yang independen ditempat kerja. Tentunya serikat buruh tersebut masih menjadi serikat buruh liar sehingga semua kegiatannya harus dilakukan dibawah tanah. Konsekwensi berikutnya adalah serikat buruh tersebut tidak bisa berkembang dengan baik dan belum berfungsi maksimal sebagai alat perjuangan. Tetapi setidaknya serikat buruh yang dibangun secara mandiri oleh buruh ini menjadi media pembelajaran buruh tentang organisasi yang demokratis.
Sejarah telah membuktikan bahwa meskipun berjumlah sedikit, serikat buruh-serikat buruh tersebut mampu dan berani memberi perlawanan terhadap kesewenangan negara. Puncaknya pada paruh awal tahun 1990-an, dimana banyak terjadi pemogokan yang dilakukan oleh buruh. Buruh sudah bisa mengatasi rasa takut akan represi dan stigma yang dilakukan oleh negara. Tetapi karena represi dan stigma oleh negara masih sangat kuat, membuat belum banyak buruh yang berani mendirikan serikat buruh yang independen.
Setelah tahun 1998, era reformasi, peran kontrol negara dalam persoalan-persoalan perburuhan dikurangi. Salah satunya adalah dengan diterbitkannya keppres No 83/1998 yang memperbolehkan buruh mendirikan serikat buruh selain SPSI. Dengan keluarnya Keppres tersebut membuat buruh merasa tidak ada lagi penghalang untuk membangun serikat buruh yang independen, sehingga kemudian perkembangan jumlah serikat buruh menjadi sangat pesat. Kesadaran berorganisasi tumbuh subur di kalangan buruh. Tanpa harus diorgainisir lagi buruh sudah berinisiatif untuk mendirikan serikat buruh ditempatnya bekerja.
Meskipun negara tidak berperan lagi secara langsung dalam persoalan-persoalan perburuhan, tetapi masih memberi dukungan kepada modal lewat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada buruh. Buruh menjadi sangat lemah berhadapan dengan modal. Senjata buruh dalam berhadapan dengan modal pun lumpuh. Mogok kerja menjadi kurang punya kemampuan tekan terhadap modal. Aksi turun ke jalan, menjadi senjata makan tuan. Setiap kali buruh turun ke jalan, bukan simpati yang diperoleh dari publik melainkan antipati terhadap usaha buruh untuk memperjuangkan nasib. Celah-celah dalam perundang-undangan nasional dipakai oleh modal untuk mengkriminalkan para aktivis buruh. Dengan mudah buruh di PHK atau status buruh diubah dari buruh tetap menjadi buruh outsourcing. Hal ini menjadi jawaban yang manjur bagi keresahan modal dalam menghadapi gelombang gerakan buruh. Terbukti di banyak perusahaan yang sudah melakukan pemutihan[2] tidak ada lagi perlawanan dari buruhnya. Sehingga tindakan pemutihan marak dilakukan dimana-mana.
Buruh kembali pada rasa keraguan akan pentingnya arti serikat buruh untuk meraih kehidupan lebih baik. Serikat buruh dan kegiatannya kemudian malah menjadi pemicu hasrat modal untuk merubah status buruhnya, dari buruh tetap menjadi buruh outsoucing. Serikat buruh kehilangan kekuatannya dalam melawan penindasan. Bahkan seringkali keberadaan organisasi serikat buruh menjadi pemicu keterpurukan baru yang lebih dalam. Dipihak lain jumlah serikat buruh pun terancam akan kembali menyusut dengan maraknya pemutihan yang dilakukan oleh modal terhadap buruhnya.
Meraih Posisi Tawar
Serikat buruh masih memakai pola lama dalam mengorganisir. Metoda menyelesaikan persoalan hanya terbatas pada dinding pabrik masih banyak dianut. Serikat buruh masih terpenjara oleh pagar pabrik. Sementara modal sudah mengarah ke arah kapitalisasi global. Keterpurukan nasib buruh masih berlangsung ditengah perubahan peta perpolitikan nasional. Buruh dalam masa perubahan peta perpolitikan nasional dipaksa untuk langsung berhadapan dengan modal, tanpa ada payung kebijakan negara yang melindungi buruh sama sekali.
Mesti diingat bahwa persoalan tentang pengorganisasian buruh adalah keharusan demi memperbaiki nasib buruh. pengorganisasian masa buruh penting karena untuk membangun kekuatan buruh, serta meningkatkan militansi masa buruh, dan juga untuk membangun media pembelajaran bagi buruh dalam suatu tatanan organisassi yang demokratis. Masalahnya kemudian adalah bagaimana serikat buruh melihat permasalahan perburuhan tidak hanya terbatas pada dinding pabrik saja. Serikat buruh harus mampu melihat permasalahan secara makro, dan berusaha untuk menjawabnya.
Beberapa langkah yang mungkin bisa diambil oleh serikat buruh dalam usaha untuk meraih posisi tawar : Pertama, serikat buruh dapat menjamin demokratisasi dalam tubuh organisasi serikat buruh tetap terjaga. Dengan demikian proses sirkulasi kepemimpinan menjadi terjamin. Sehingga akan menjadi landasan bagi terciptanya tatanan sosial masyarakat baru yang lebih adil. Kedua, memperbesar kekuatan serikat buruh dengan mempergencar agitasi, dengan terus menerus melakukan pembongkaran pola pikir yang merugikan buruh. Hal ini diperlukan untuk secara terus menerus memperlemah propaganda modal. Ketiga, melakukan propaganda untuk memperbesar dukungan kepada gerakan buruh dari elemen-elemen gerakan rakyat yang lain. Dalam hal ini serikat buruh harus benar-benar bisa menggunakan media komunikasi dengan efektif dan efisien. Keempat, serikat buruh agaknya harus mulai menyiapkan diri memasuki kancah politik. Kontrol terhadap lahirnya kebijakan publik harus diusahakan untuk direbut.
Bahan bacaan :
Sharp, Gene, “Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan”, Pustaka Sinar Harapan,
Warner, Jon, “Kerja Jaringan”, Yayasan Obor
Gafur, Abdul, Ed, “Advokasi Berbasis Komunitas”, LaPASIP, Jakarta 2006
Magnis-Suseno, Frans, Wawancara “Kondisi Obyektif Menyulitkan Serikat Buruh Menjadi Aktor Demokrasi”, Sedane, vol. 2, no. 2, Juli – Desember 2004
Dokumen Lain :
Keppes no 83 Tahun 1998
UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003
[1] HIP adalah Hubungan Industral Pancasila, dimana doktrin itu mengajarkan bahwa hubungan buruh dan pengusaha adalah partner kerja dan segala permasalahan harus diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai kata mufakat
[2] Pemutihan adalah perubahan status buruh tetap menjadi buruh kontrak atau outsourcing