Tuesday, July 31, 2007
Pentingnya Hak Ekonomi dan Sosial di Jaman Globalisasi Ekonomi
Pentingnya Hak Ekonomi dan Sosial di Jaman Globalisasi Ekonomi[1]
Asbjørn Eide[2]
1. Introduksi
Proses globalisasi menjadi amat konfliktual. Salah satu alasan pokok adalah bahwa aktor utama dalam proses globalisasi pasar gagal untuk menghormati dan memastikan hak ekonomi dan sosial, termasuk hak atas pangan dan hak fundamental untuk bebas dari kelaparan. Lebih buruk lagi, arah globalisasi, khususnya globalisasi ekonomi yang telah terjadi 25 tahun terakhir telah benar-benar negatif, membuat negara-negara menjadi semakin sulit untuk menerapkan hak ekonomi dan sosial.
Bab ini membahas pentingnya pendekatan komprehensif atas hak asasi manusia –atas hak sipil politik sebagaimana juga hak ekonomi, sosial, budaya. Hanya jika semua ini benar-benar diperhatikan secara terpadu barulah manfaat potensial globalisasi dapat dibagikan secara setara dan proses globalisasi dialami dalam wajah dan isi yang lebih manusiawi.
PBB di tahun 1948 mencanangkan suatu proyek dengan jangkauan jauh untuk pengakuan dan pewujudan hak asasi manusia melalui diadopsinya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, yang mencakup hak ekonomi, sosial, budaya, sipil dan politik. Hak-hak ini tidak secara universal di tahun 1948 itu, dan jauh dari dihormati secara universal –hal itu adalah hak yang akan dicapai melalui usaha nasional dan internasional sebagaimana dicerminkan dalam DUHAM/UDHR.
Kesadaran dan pengakuan hak sipil dan politik mengalami peningkatan penting di era ’90-an, meski menghadapi tantangan berat dengan adanya konflik etnik. Kesadaran semakin meningkat dengan adanya dampak dari ‘nine-eleven’ (:tragedi WTC, New York 2001) dan meningkatnya perhatian atas perang melawan teror, yang di dalam beberapa bentuknya telah menjadi pelanggaran serius hak asasi manusia dasar, dan dengan ini memerlukan kontrol negara yang semakin diperkuat dengan compliance, dipenuhinya proses penghormatan dan pemenuhan, hak asasi manusia dalam aktivitas kotra-terorisme mereka.
Hak ekonomi dan sosial, bagian penting dari paket hak asasi manusia yang ada di dalam DUHAM/UDHR yang kurang luas ditangkap sebagai komitmen yang asli dan efektif. Arah globalisasi yang terjadi sekitar ’80-an justru membuat promosi hak ini semakin sulit dibandingkan masa sebelumnya. Meski demikian, diperdebatkan dalam bab ini, bahwa versi neo-liberal globalisasi korporasi sekarang ini menjadi tidak menentu sebagai hasil dari perlawanan yang terus tumbuh atas arah tersebut. Sesungguhnya kemungkinan untuk mencapai globalisasi yang bertanggungjawab secara sosial terus timbul dan tumbuh, dimana semua hak asasi manusia, termasuk hak ekonomi dan sosial, akan memberikan penuntun proses kerjasama global.
2. Globalisasi Korporasi melalui Perluasan Pasar Neo-Liberal
Selama 25 tahun sesudah diadopsinya Piagam PBB, kehidupan ekonomi di Eropa Barat, Kanada, dan dalam tingkatan tertentu di Amerika Serikat ditandai dengan kerjasama antara modal, tenaga kerja/pekerja, dan negara, dengan inovasi kebijakan kesejahteraan dan tindakan negara dalam ekonomi seturut pola kebijakan Keynesian. Tetapi pertumbuhan globalisasi modal membuat penanganan makroekonomi nasional menjadi kurang efektif, dan dengan peningkatan kompetisi dari Jepang dan negara industri baru di Timur dan Asia Tenggara, kerjasama mulai terbongkar. Chang (2003, p.25) mencermati bahwa dengan peningkatan intensitas konflik distribusi (:pembagian kemakmuran -pen) berhadapan dengan perubahan struktural yang masif dan melambatnya pertumbuhan ekonomi, konsensus politik yang saat itu ada mengenai negara kesejahteraan yang didasarkan pada proses tawar-menawar korporatis (:pola negosiasi, atau ko-determinasi –pen) runtuh, dan dengan ini, juga konsensus umum mengenai peran negara.
Aktor dan Pemikir Neo-Liberal
Pertengahan ’70-an, iklim politik mulai berubah. Sebagai pendahulu adalah pemilihan yang mengejutkan di tahun 1975 Margaret Thatcher sebagai pemimpin Partai Konservatif Inggris, dan sebagai ketua oposisi parlemen Inggris 1975-1979, dan tetap berada di psi itu hingga 1990. Ketika Ronald Reagan dipilih sebagai presiden AS di tahun 1980, dua kekuatan utama Barat menjalankan ideologi neo-liberal dengan sedikit memodernisasi dari ekonomi politik laissez-faire dari abad ke-19 yang dipertimbangkan telah kuno dan usang. Mereka mengeluarkan banyak energi untuk mematahkan pengaruh serikat buruh dan gerakan buruh, secara penting mengurangi pengeluaran publik dalam lapangan sosial dan kesehatan, dan mengadopsi pemotongan pajak untuk keuntungan kelompok kaya, dan mengerjakan deregulasi yang luas.
Agenda Neo-Liberal Margaret Thatcher termasuk privatisasi komprehensif lembaga publik seperti British Rail. Korporasi perkeretaapian yang diprivatisasi dihantam dengan beberapa kecelakaan serius dengan korban yang banyak, sebagian karena banyak pekerja dipecat, selagi manajer dari bisnis baru mengalami peningkatan drastis pada pendapatan mereka. Di AS, sedikit institusi publik yang diprivatisasi, tetapi yang diprivatisasi termasuk penjara –dan memang pengelolaan penjara ini menjadi aktivitas yang menghasilkan keuntungan ketika dikelola oleh pihak swasta, dengan pertambahan jumlah penghuni penjara.
Ideologi neo-liberal ditumbuhkan dengan beberapa teori dan asumsi normatif. Hal ini termasuk oleh tulisan filosof libertarian yang dengan dasar versi kontrak sosial mereka yang khusus berusaha mengurangi hak asasi manusia menjadi (hanya) sebagai otonomi personal dan perlindungan hak milik (Nozick, 1974); teoritisi ‘public choice’ yang didesakkan bahwa pegawai negeri/birokrasi didorong seluruhnya atau sebagian oleh kepentingan mereka sendiri, dan dengan ini terlibat atau mendukung ‘rent-seeking’ (penggalian rente) (Friedman and Friedman, 1980), atau kombinasi antara hal-hal ini (Hayek, 1978), dikombinasikan dengan kebangkitan teori ekonomi klasik yang mendesakkan manfaat dari perdagangan dan pertukaran internasional.
Ketika ekonom neo-liberal seperti F.A. Hayek dan Milton Friedman memberikan penjelasan yang lebih luas mengenai justifikasi kebijakan baru ini, sukses Margaret Thatcher adalah kemampuannya membangun komunikasi, dengan kegigihan dan keyakinan, serangkaian pandangan yang berhasil ia usahakan untuk mempersuasi sebagian besar masyarakat: argumen superioritas moral dari usaha individu dan retorika yang dirumuskan secara baik mengenai argumen efek demoralisasi dari tindakan negara, nilai kemandirian, dan pentingnya untuk hidup tidak melebih apa yang ada pada individu, nilai kohesi keluarga (merujuk kembali pada nilai-nilai jaman Victoria), dan rujukan populis pada hukum dan ketertiban, dan pada bahaya imigrasi (Deakin, 1994, p.78-79).
Dari kedua perspektif normatif dan empiris, kelemahan postulat ini mudah sekali untuk dicermati[3], tetapi perspektif ini dalam waktu yang lama sukses dan tidak diragukan lagi sesuai dengan kepentingan ekonomi kuat. Konsensus politik untuk tindakan negara dan stimulasi permintaan domestik dalam pola teori Keynesian dapat berfungsi dalam sistem ekononomi nasional yang secara relatif tertutup, tetapi dalam lingkungan ekonomi internasional terbuka, hal itu tidak mempunyai kekuatan yang sama. Korporasi swasta dapat melakukan transfer produksi ke negara lain untuk menghindar dari tuntutan yang ditimpakan pada mereka dalam konteks masyarakat dengan kebijakan kesejahteraan, dimana perpajakan untuk tujuan sosial dan upah pekerja yang layak menurunkan keuntungan, menjadikan lebih rendah daripada yang dapat didapatkan di negara lain ketika biaya pekerja amat lebih rendah dan biaya sosial hampir seluruhnya diabaikan.
Institutsi Bretton Woods dalam Peran Baru
Kebangkitan kembali ‘ideologi laissez-faire’ dalam sepanjang dekade yang mengerjakan kebijakan yang peduli sosial mempunyai alasan tersendiri di AS dan Inggris. Tetapi hal itu memunculkan dimensi global yang koinsiden dengan krisis hutang, yang meruntuhkan tulang punggung gerakan Dunia Ketiga dalam tata ekonomi internasional yang baru. Hal ini dimungkinkan karena adanya lembaga Bretton Woods[4], secara khusus IMF , yang berusaha mendapatkan peran yang sama sekali berbeda dari yang sebenarnya divisikan. Institusi ini menjadi semakin ditangani oleh ekonom yang menyingkirkan, atau tidak pernah berbagi keyakinan dan nilai Keynesian, tetapi justru lebih dekat pada jalur pemikiran Friedrich Hayek dan Milton Friedman.
Fungsi yang dimaksudkan pertama kali oleh IMF, yang pada keluasan tertentu dibangun prinsip Keynesian, telah diguncang dengan keputusan pemerintahan Nixon di AS di tahun 1971 untuk mengubah konvertibilitas dollar ke emas. Bank Dunia telah sebelumnya didirikan untuk mendukung rekonstruksi (awalnya Eropa) dan pengembangan ekonomi, selagi IMF didirikan untuk memelihara stabilitas ekonomi global. Serangan neo-liberal di tahun ’80-an telah mengubah hubungan mereka dan secara umum men-subordinasikan Bank Dunia di bawah IMF. Joseph Sitglitz, bekas Chief Economist di Bank Dunia dan penerima penghargaan Nobel untuk Ekonomi di tahun 2001, menggambarkan aspek transisi ideologis yang terjadi selama tahun-tahun itu (Sitglitz, 2002, p.6). Kerjasama erat antara IMF dan Departemen Keuangan AS, dimana IMF mengembangkan pengaruh yang luar biasa besar pada Bank Dunia. Di dalam Bank Dunia, ekonom lebih pluralistik, beberapa dari mereka tidak begitu saja diyakinkan oleh model neo-liberal. Staf juga terdiri dari pemikir ilmu sosial dan yang lainnya yang mempunyai pemahaman pembangunan sosial dan ekonomi yang lebih luas. Di daerah aktivitas yang lebih vital, Bank Dunia, ikut dalam garis IMF.
Dikarenakan sebagian besar dari krisis hutang, IMF dan Bank Dunia di tahun ’80-an menjadi aktor sentral di ekonomi global, dengan kekuasaan yang tidak pernah diduga sebelumnya dalam menetapkan resep dan peneraman kebijakan moneter dan ekonomi bagi negara berkembang dan –di tahun ’90-an- juga bagi ‘negara dalam transisi’ yang muncul dari keruntuhan Uni-Soviet dan keruntuhan Tembok Berlin. Pengambilan keputusan pemerintah menyangkut isu sosial terkait dengan peraturan, perpajakan, pengeluaran publik, dan pengaturan jaminan sosial yang secara amat ketat diawasi secara khusus oleh IMF, yang siap menjatuhkan sanksi ekonomi berat jika negara berkembang tidak turut pada agenda neo-liberal.
IMF dan Bank Dunia adalah institusi utama yang menjadi rujukan negara jika mereka memerlukan tambahan pendanaan, apakah itu kesepakatan pembayaran hutang atau mengambil inisiatif pembangunan baru. Mereka –khususnya IMF- telah menjadi fungsi penjaga pintu, tetapi juga sebagai investasi asing swasta: jika IMF mendapati kebijakan makro-ekonomi negara berkembang tidak cukup disiplin, dan kemudian investor swasta potensial kemungkinan besar akan abstain dari usaha investasi di negara yang bersangkutan.
Konsensus Washington
Kaitan antara Departemen Keuangan AS dan institusi keuangan internasional selama masa pemerintahan Reagan/Thatcher memunculkan ‘Washington Consensus’ (Konsensus Washington). Menjadi cerminan dari agenda neo-liberal, tindakan konkret yang diproklamasikan dapat diringkaskan sebagai privatisasi yang mencakup banyak hal dalam perusahaan publik, deregulasi ekonomi, liberalisasi perdagangan dan industri, pemotongan pajak besar-besaran, tindakan monetaris untuk menjaga inflasi, kontrol ketat pada pekerja, pengurangan pengeluaran publik, khususnya pengeluaran sosial, merampingkan pemerintah, ekspansi pasar internasional dan penyingkiran kontrol pada aliran keuangan global (Steger , 2003, p.41).
Kebijakan structural adjustment yang diperjuangkan oleh IMF dan Bank Dunia mempunyai tujuan untuk mempromosikan kebijakan makroekonomi yang berkelanjutan di negeri yang dipengaruhi, tetapi dapat diperdebatkan apakah memang adjustment itu dikaitkan untuk melayani kepentingan korporasi besar dan investor asing. Privatisasi juga didorong, atau dipersyaratkan ketika meminta kredit. Perlindungan industri domestik dituntut untuk dikurangi. Devaluasi mata uang dituntut untuk dilakukan, dan dengan itu meningkatkan suku bunga. Pasar tenaga kerja yang ‘fleksibel’, terdiri dari pengurangan atau dihilangkannya perlindungan hak pekerja dengan judul ‘disiplin tenaga kerja’ termasuk dalam paket itu. Subsidi pangan diserukan untuk diakhiri. Regulasi dan standard yang terkait dengan investasi dikurangi atau dihilangkan sama sekali.
Selagi beberapa tindakan memang masuk akal dalam konteks tertentu, tuntutan yang digeneralisir dan selalu didesakkan dalam soal structural adjustment telah melucuti kekuatan negara miskin, dan membuat mereka semakin tergantung pada negara maju. Pemerintah perlu untuk meningkatkan ekspor untuk tetap membuat mata uang mereka stabil dalam mendapatkan nilai tukar yang dengan itu dapat menolong dalam pembayaran hutang, ettapi nilai komoditi primer menjadi jatuh berhubungan dengan biaya impor mereka. Pemerintah dengan ini harus mengurangi pengeluaran, mengurangi konsumsi, dan menghilangkan atau mengurangi regulasi keuangan. Di beberapa negara, khususnya di Asia Timur dan Asia Tenggara, dimana telah ada basis industri untuk mengimbangi kejutan dan untuk memfasilitasi munculnya kelas pe-bisnis baru yang amat mendapat manfaat dari kondisi baru dalam soal ekstrasi keutungan. Lainnya, harus dibayar harga karena perhatian yang kurang pada hak pekerja, akses ke pendidikan, layanan kesehatan, dan aspek lain dalam hak ekonomi dan sosial.
Kritisisme melawan tuntutan structural adjustment dan efek-nya pada kelompok miskin mulai muncul di akhir ’80-an (Cornia et al. 1987). Kritisisme IMF secara dramatis meningkat selama ’90-an. Tantangan ini baru-baru ini mencapai puncak baru ketika Joseph Stiglitz, chief economist di Bank Dunia di periode itu, membuka kebijakan menyesatkan IMF, dan kaitan ke Departement Keuangan AS, dan ketergantungan yang dipaksakan oleh IMF pada Bank Dunia (Stiglitz, 2002, 2003).
Masalahnya adalah kelompok ekonom di IMF tidak sekedar hanya memberikan nasehat ekonomi; persyaratan berpengaruh pada rentang-lebar kebijakan nasional di wilayah jaminan sosial, pendidikan, kesehatan, hubungan perburuhan, dan lainnya, dan resep mereka secara praktis mengikat. Dengan itu, mereka telah mengambil alih apa hal-hal yang menjadi wilayah dari pengambilan keputusan secara demokratis oleh politisi yang dipilih di negara yang bersangkutan. Di atas segalanya, bagi para ekonom itu, hak asasi menjadi tidak relevan, khususnya yang menyangkut hak ekonomi dan sosial.
WTO:Perdagangan, bukan Pembangunan
Pada Piagam Havana 1948 soal Perdagangan dan Ketenagakerjaan (1948 Havana Charter on Trade and Employment) yang memvisikan sebuah Organisasi Perdagangan Internasional, yang kemudian diikuti dengan yang waktu itu menjadi bentuk penting dari model kerjasama antar-negara. Ide ini gagal karena secara khusus ada penolakan oleh Kongres AS. Ketika negosiasi yang diikuti berikutnya dengan General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang menjawab beberapa kebutuhan itu, tetapi ada jurang-jarak atas apa yang diperlukan untuk diisi dengan mekanisme institusi yang lebih baik. UNCTAD didirikan di tahun 1964, dan diberikan peran sebagiannya untuk mendorong pengaturan perdagangan yang lebih adil dan pengaturan yang lebih baik dalam soal pembiayaan pembangunan, mempertimbangkan masalah secara khusus dari negara berkembang. Sejak 1995, lembaga ini dibayangi oleh pendirian World Trade Organization (WTO) yang, sebagai hasil dari ‘Uruguay Round’ dari tahun 1986 ke 1994, berusaha untuk mengatasi krisis di GATT yang timbul dari kebijakan neo-liberal yang baru.
WTO berbeda secara penting dari UNCTAD, telah tampak dari nama mereka: W berarti ‘World’ dan bukan UN (United Nations, PBB) sebagaimana yang ada di UNCTAD. Hal ini disengaja: negara industri besar tidak ingin organisasi perdagangan menjadi bagian dari sistem PBB. Kedua, sedang dalam ‘TAD’ di UNCTAD berarti Trade and Develompment, dan ‘T’ di WTO hanya berarti Trade, tidak memasukkan D (development, pembangunan). Tidak ada dalam nama, tidak juga ada dalam praksis, WTO bukanlah organisasi pembangunan.
Sebagian terbesar perdagangan antara korporasi, atau bahkan antara cabang berbeda dalam satu korporasi. Riset menunjukkan bahwa korporasi multinasional mencakup sampai pada 70% dari seluruh perdagangan internasional (Held et al., 1999). WTO menjalankan fungsi untuk memfasilitasi orientasi ekspor dalam manan komponen pokok Washington Consensus, dan penting bagi perluasan korporasi.
dari Kemakmuran Bangsa-Bangsa (Wealth of Nations) ke Kemakmuran Korporasi (Wealth of Corporations)
Adam Smith (1776) menyatakan kompetisi bebas dalam pasar swasta dengan regulasi dan tindakan negara yang terbatas menjadi resep yang terbaik untuk penciptaan kemakmuran. Kritik dia atas apa yang waktu itu menjadi praktek merkantilisme secara jelas dapat dijustifikasi, tetapi resep itu tidak mencapai hasil yang diharapkan –dan resepnya mungkin juga tidak tepat dirumuskan oleh para liberal-modern.
Alih-alih menciptakan kemakmuran bansa dalam arti kemakmuran yang dinikmati bersama oleh orang yang hidup di sana atau: dalam banga-bangsa itu?, proses terkini dari globalisasi pasar telah membuat korporasi multinasional bukan hanya menjadi aktor primer, tetapi juga pengumpul utama kemakmuran. Globalisasi korporasi telah memulai membalikkan apa yang pernah menjadi “salah satu kemenangan besar hak asasi” di abad ke-20, yaitu “mengendalikan pasar modal dengan negara kesejahteraan (welfare-state)” (Jack Donelly in Brysk, 2002 p.232)
Bentuk-bentuk terkini globalisasi pasar sekarang ini terdiri dari perdagangan barang dan jasa yang semakin dideregulasi, dan dalam jejaring keuangan yang semakin mengglobal. Hal ini dikaitkan dengan tekanan pada privatisasi dan transformasi kebutuhan publik (public goods) yang tersedia untuk semua, menjadi kebutuhan swasata (private goods) yang disediakan korporasi besar bagi mereka yang dapat membayar. Korporasi multinasional mengalami pertumbuhan luar biasa dan mencapai cakupan global. Jejaring yang dekat telah menumbuhkan bentuk baru antara MNCs dan lembaga keuangan swasta. Bersama mereka mempunyai pengaruh yang kuat pada lmebaga keuangan internasional publik, khususnya grup Bank Dunia dan secara khusus IMF, sebagian melalui pemerintah dari negara tuan rumah dari korporasi besar, dan sebagian secara langsung.
Tidak hanya kemakmuran korporasi menunjukkan peningkatan yang mencengangkan, tetapi pendapatan kepala korporasi (CEOs dan lainnya) meroket pada saat upah pekerja ditekan dan memecat pekerja dengan alasan “perampingan” mengalami peningkatan. Dsengan privatisasi, pimpinan korporasi dan investor mampu mengumpulkan keberuntungan saat pekerja dipecah dan layanan publik seringkali membusuk dan menjadi semakin sulit diakses bagi mereka yang mempunyai daya beli yang rendah (Chang, 2003, p.183). Superioritas moral yang diargumenkan oleh dunia usaha swasta secara fundamental diguncang dengan kecurangan besar dan kasus-kasus korupsi dalam korporasi swasta selama tahun ’90-an, sebuah perkembangan hanya mungkin karena deregulasi dan melemahnya peran negara. Analisis yang amat jelas mengenal faktor-faktor saling-sebab dijabarkan oleh Stiglitz (2003) dalam bukunya, Roaring Nineties.
Diantara contoh paling drastis mengenai biaya yang harus dibayar ketika pasar yang tidak diregulasi dianggap utama adalah Enron, WorldCOm dan banyak korporasi lain di Amerika Serikat, Parmalat di Italia, Vivendi di Perancis, dan Ahold di Belanda.
Globalisasi ekonomi dapat membawa pada integrasi transnasional antar elit ekonomi dunia–mencakup jumlah yang penting di negara maju tetapi sedikit di negara berkembang- sedang pada saat yang sama itu membawa pada disintegrasi nasional. Ketika lokalitas produksi dan lokalitas konsumsi semakin disingkirkan, investor dan korporasi tidak lagi tergantung pada dukungan penduduk lokla melampui kebutuhan kebutuhan akan akses pada buruh murah. Kaitan antara pekerja sebagai produser dan pekerja hilang. Pengusaha memindahkan produksi mereka ke tempat dimana biaya pekerja murah tetapi dijual ke tempat dimana upah dan pendapatan kesejahteraan cukup baik. Hal ini, tentu saja, tidak bisa berkelanjutan dalam jangka waktu lama, tetapi hanya negara yang melakukan tindakan yang dapat mencegah hal ini berakibat buruk lebih jauh. Kehendak dan kapasitas negara tetaplah penting, tetapi banyak yang sudah dierosi.
3. Dalam Konteks Globalisasi
Pembangunan Berbasis-Hak Tidak dapat Dicapai melalui Isolasi Nasional
Jelas dari Piagam PBB dan Millenium Declaration PBB bahwa negara harus menjadi blok-pembangun dari pondasi tata dunia. Kapasita mereka harus dikembangkan untuk memperjuangkan pembangunan berbasis hak melalui penghormatan pada dan pewujudan semua hak asasi manusia, termasuk hak ekonomi dan sosial.
Tetapi hal ini tidak dapat dilakukan dengan pendekatan autistik mirip dengan apa yang diperjuangkan oleh banyak negara menjelang Perang Dunia II. Kebijakan itu memberikan kontribusi penting pada munculnya perang, dan menjadi tujuan pokok PBB untuk mendorong dan memfasilitasi kerjasama global untuk mencegah hal tersebut terjadi lagi. Contoh ekstrem Pra-Perang Dunia II adalah ‘national-socialism’ oleh Hitler di Jerman. Hal itu muncul sebagai konsekuensi dari kekacauan ekonomi dan kesengsaraan sebagian karena pampasan perang yang dipaksakan pada Jerman sesudah Perang Dunia I, dan kekacauan itu semakin diperparah dengan Resesi Dunia (Great Depression) yang kemudian memunculkan spekulasi keuangan liar di Amerika Serikat. Tetapi jawaban Hitler atas kesengsaraan warga Jerman adalah suatu bentuk ekstrem dari nasionalisme. Itu memunculkan arah yang amat sangat buruk, termasuk pemusmahan fisik terhadap mereka yang tidak termasuk dalam etnis-bangsa, volksfremde. Ketika holocaust diarahkan pada Yahudi dan Gipsi dalam wujud yang amat mengerikan, kegilaan nasionalisme yang dimanipulasi menciptakan rasa megalomania mengenai tujuan kolektif yang kemudian meledak dalam Perang Dunia II.
Ketika pendekatan Jerman menjadi ekstrem, otoritarian sejenis dan nasionalisme eksklusif dikerjakan di negara lain di Eropa Kontinental, termasuk Italia dengan Mussolini, Spanyol dengan Franco, Romania dengan ‘Iron Guard’, dan dengan ideologi berbeda juga dengan Stalin dan kebijakan “sosialisme di satu negara”. Militerisme Jepang mempunyai akar yang sama meskit ada faktor lain yang memainkannya.
Selagi perkembangan politik sebagian adalah hasil usaha untuk memulihkan atau menciptakan suatu jenis jaminan sosial bagi inti ‘bangsa’, ini adalah jalan menuju ke perbudakan. Pada keluasan itu, Hayek (1944) benar, meski diat tidak mengambil pelajaran yang penting. Pendekatan nasionalistik otoritarian pada jaminan sosial merupakan resep bagi konflik dan perang. Persis inilah yang sebenarnya PBB maksudkan untuk dicegah di masa mendatang, melalui persyaratan dual hak asasi manusia di dalam negara, dan kerjasama internasional dalam memecahkan masalah bersama dalam ekonomi, sosial, dan lapangan lainnya.
Diperlukan: Kerjasama Global
Pembangunan berbasis-hak, dengan negara sebagai penjamin dan fasilitator sentral, harus diperjuangkan dalam konteks kerjasama global. Roosevelt mengekspresikan hal ini dalam pidato “Four Freedom” tahun 1941:
Kebebasan dari Keinginan (Freedom from Want), diterjemahkan dalam istilah dunia, berarti pengertian ekonomi dengan yang hal itu akan mengamankan setiap bangsa sebuah kehidupan masa damai yang sehat bagi seluruh penduduknya –dimanapun di dunia. (Roosevelt 1941)
Pentingnya tugas ke masa depan adalah menggerakkan ekspansi pasar korporasi menuju globalisasi yang lebih adil dan peduli sosial. Ada 3 panduan penting untuk tugas tersebut: Declaration and the Programme of Action of the World Conference on Human Rights (‘Vienna Declaration 1993’), UN Millenium Development Goals (MDG 2000), dan laporan World Commission on the Social Dimension of Globalization (ILO, 2004). Pondasi dari itu semua dapat ditemukan dalam DUHAM/UDHR pasal 28, bersama dengan komitmen yang dibuat oleh semua anggota PBB untuk bekerja sama dalam pencarian solusi masalah internasional dalam soal sosial, ekonomi, kultural, dan kemanusiaan (humaniter), dan dalam promosi hak asasi manusia.
CESCR menunjukkan bahwa, dalam sebuah keputusan yang diadopsi di tahun 1998, bahwa risiko serius yang inheren dalam bentuk dan arah globalisasi yang ada sekarang ini dapat dijaga atau dikompensasi, jika kebijakan yang memadai diambil. CESCR (1998, para.515) prihatin bahwa
…sedang banyak energi dan banyak sumberdaya telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk mempromosikan trend dan kebijakan yang terkait dengan globalisasi, usaha yang dibuat tidaklah cukup dalam memunculkan pendekatan baru dan saling melengkapi yang dapat meningkatkan kompatibilitas dari trend dan kebijakan itu dengan penuh penghormatan pada hak ekonomi, sosial, dan kultural. Kemampuan kompetitif, efisiensi dan rasionalisme ekonomi tidak boleh dijadikan kriteria primer dan eksklusif dimana kebijakan pemerintah dan antar-pemerintah dievaluasi.
CESCR dengan ini menyerukan komitmen yang diperbaharui untuk menghormati hak ekonomi, sosial, dan kultural. Ditekankan bahwa organisasi internasional sebagaimana juga negara-negara yang menciptakan dan sekarang ini menanganinya, mempunyai tanggungjawab kuat dan terus-menerus untuk mengambil langkah apapun yang mereka dapat lakukan untuk membantu negara dengan cara yang kompatibel dengan kewajiban hak asasi manusia dan untuk mencari dan mengerjakan kebijakan dan program yang mempromosikan penghormatan atas hak-hak itu. Secara khusus, adalah penting untuk menekankan bahwa wilayah perdagangan, keuangan, dan investasi tidak bisa dikecualikan dari prinsip umum ini, dan organisasi internasional yang mempunyai tanggungjawab spesifik di wilayah-wilayah itu, harus memainkan peran positif dan konstruktif dalam relasinya dengan hak asasi manusia.
Area Utama untuk Bertindak
Proyek globalisasi korporasi neo-liberal sekarang ini jatuh pada ketidakjelasan. Kekuatan balik sekarang ini menemukan momentum dan membangun kekuatan untuk mentransformasikan itu. Seruan untuk pembagian yang lebih setara terus berulang, berulang, dan berulang, seperti yang ada dalam Millenium Declaration. Teori ekonomi semakin lama semakin menentang doktrin neo-liberal, melalui Dani Rodrik (1997), Amartya Sen (1999), Joseph Stiglitz (2002), Haa Joon-Chang (2003) dan banyak lainnya. Tetapi pembagian yang lebih adil tidak dapat dicapai tanpa perubahan penting dalam nilai dan institusi dan struktur pengambilan keputusan. Dalam pemaparan ringkas, secara umum diakui bahwa perubahan penting soal arah haruslah dilakukan. Siapa, kemudian, aktor yang dapat membawakan perubahan, dan langkah apa yang harus mereka ambil.
- Corporate Responsibility
Sebagaimana telah dicatat, korporasi multinasional memainkan peranan dominan dalam proses globalisasi melalui investasi, produksi, dan perdagangan mereka. MNCs digambarkan sebagai pengait penting pada ekonomi dunia terkini. Mereka diperkirakan mencapai sampai pada 70 persen dari perdagangan dunia (Held et al., 1999). Sejumlah tindakan diharuskan untuk memastikan bahwa korporasi mempunyai dampak yang lebih positif pada dinikmatinya hak ekonomi dan sosial. Tugas terpenting adalah untuk memperkuat kemauan (will) dan kapasitas negara untuk melakukan regulasi atas aktivitas korporasi untuk membuat hal-hal itu kompatibel dengan fungsi kesejahteraan dari negara, tanpa menutup fungsi positif yang ada. Rentetan kejadian berupa skandal korporasi, yang digambarkan dan dianilisis secara kritis oleh Joseph Stiglitz (2003), telah semakin meningkatkan kebutuhan akan perubahan yang mendalam, mesin regulasi yang lebih baik dan dapat ditegakkan, dan akuntabilitas yang besar.
Dihasilkan dari kritisisme ekstensif organisasi hak asasi manusia saat korporasi terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia, beberapa dari mereka mulai membangun kode tindak laku (code of conduct) sukarela. Sejauh ini, hal-hal itu amat diekspresikan dalam ketentuan yang etis dan menghasilkan hasil yang terbatas dalam soal bagaimana merubah tindak-tanduk korporasi. Di tingkat internasional, semakin banyak kebutuhan harus dijawab untuk memastikan penghormatan dan penegakan hak asasi oleh korporasi. Awal yang baik telah dibuat dengan penetapan ‘Global Compact’ melalui inisiatif Sekjen PBB, yang berusaha untuk mempromosikan kewargaan korporasi dalam ekonomi dunia dengan mendorong mereka untuk menghormati dan menegakkan (comply) hak asasi manusia termasuk hak-hak pekerja, peraturan lingkungan, dan memperjuangkan tindakan anti-korupsi[5]. Usaha ini, selagi patut dipuji, masih amat kabur dalam pengharusan, dan juga hal itu seluruhnya sukarela dan tanpa adanya mekanisme monitoring yang efektif –alasan yang dikemukakan oleh beberapa kritik yang mengamati ‘Global Compact’.
Inisiatif yang lebih menjanjikan telah diambil oleh Sub-Commission (2003), yang mengadopsi draft Norms on the responsibilities of transnational corporations and other business enterprises with regard to human rights, sekarang ini dalam pertimbangan dalam UN Commission on Human Rigths. Jika hal ini kemudian harus diadopsi, dalam bentuk yang ada sekarang atau revisinya, hal itu dapat memunculkan beberapa fungsi: pertama, sebagai panduan pada korporasi itu sendiri mengenai bagaimana mereka dapat turut pada prinsip hak asasi manusia, kedua, sebagai panduan untuk negara dalam soal regulasi yang harus ditetapkan dan desakkan pada korporasi yang beroperasi di teroitori mereka, dan ketiga, sebagai basis monitoring internasional bagi aktivitas korporasi dari perspektif hak asasi manusia.
Haruslah dicatat bahwa selagi sedikit dukungan meski dari korporasi penting atas inisiatif ini, mayoritas korporasi masih melawan, dan juga institusi yang tergabung pada mereka –International Chamber of Commerce. Adalah penting bahwa gerakan hak asasi manusia terus melakukan tekanan efektif dengan monitoring mekanisme pengaduan terhadap korporasi. Korporasi haruslah dibawa untuk mengakui tanggungjawab mereka bukan hanya pada pemilik saham melainkan juga pada pekerja dan supplier seperti petani kecil yang, misalnya, memproduksi kopi atau kokoa. Yang belakangan ini tidak boleh dihempaskan oleh korporasi yang kuat dan rantai pangan yang kuat. Jika korporasi merusak atau melemahkan kehidupan produser kecil, mereka haruslah dibawa pada pertanggungjawaban atas apa yang telah diperbuat.
4.1. Kontrol dan pajak atas aliran keuangan
Liberalisasi keuangan yang meluas telah membatasi sekaligus negara kaya dan miskin untuk membangun dan memelihara rejim perpajakan yang memuaskan. Beban pajak telah berubah dari pemegang modal yang amat mobil yang semakin lama mampu memainkan yurisdiksi pajak yang satu ke yang lain, ke bisnis yang relatif tidak mobil dan bisnis kecil. Kompetisi pajak antar negara telah membawa erosi gradual atas pendapatan negara –krisis negara kesejahteraan, yang terjadi persis saat ketika dana untuk program sosial amat dibutuhkan untuk menjadi benteng bagi dislokasi sosial yang diakibatkan oleh globalisasi (CESCR, 2001, para.25)
Beberapa bentuk regulasi pada aliran keuangan adalah penting. Satu proposal adalah inisiatif Tobin Tax yang terdiri dari pajak penjualan atas perdagangan mata uang ke semua lini perdagangan, yang asalnya diusulkan oleh James Tobin, penerima nobel Ekonomi dari Universitas Yale. Pajak Tobin dapat diberlakukan di tingkat domestik dengan penetapan dari lembaga perwakilan nasional, tetapi mensyaratkan kerjasama multilateral untuk dapat diberlakukan. Halangan terbesar adalah untuk mendapatkan kemauan politik yang perlu bagi pengadopsian kesepakatan internasional dalam subyek ini, yang dapat didapatkan melalui mobilisasi warga negara secara masif. Proposal, jika diterapkan, akan dapat mencegah krisis keuangan dan dapat mungkin menyediakan dana 100 sampai 200 milyar dollar untuk memenuhi prioritas global yang urgent, seperti mencegah pemanasan global, penyakit, dan kemiskinan[6].
4.2. Melibatkan lembaga keuangan internasional dalam pembangunan berbasis-hak
Selama 2 dekade, sudah ada kritik yang luas oleh sarjana hak asasi manusia dan badan hak asasi manusia internasional terhadap lembaga keuangan internasional, secara khusus IMF dan Bank Dunia. Sebagaimana telah didiskusikan, IMF menjadi yang terkemuka dalam memaksakan structural adjustment pada negara berkembang dan negara dalam transisi. Ketika pensyaratan ini hanya berupa ketentuan yang tidak mengikat , faktanya hal itu mendekati keharusan, karena IMF dan Bank Dunia nyatanya bertindak sebagai penjaga pintu bagi investasi swasta, yang dimana negeri yang amat dibebani oleh hutang jelas tidak dapat berharap dapat mencapai kemajuan. Nyaris tidak ada keraguan bahwa IMF secara khusus telah, sebagaimana dijabarkan di atas, melayani kepentingan dunia korporasi dan berada dalam kontak yang dekat dengan Departemen Keuangan AS, yang nyaris tidak mempunyai perhatian pada konsekuensi sosial dari pensyaratan yang mereka paksakan (Siglitz, 2002).
Meningkatnya transparansi dalam lembaga keuangan internasional adalah utama. Lembaga-lembaga ini harus secara serius memperhatikan penilaian kritis yang meluas atas aktivitas mereka, jika kebijakan mereka berkembang menjadi langkah yang kredibel dan berimbang. Atau, sebagaimana Oloka-Onyanga dan Udagama (Sub-Commission, 2001, p.69):
Kebijakan-kebijakan mereka tidak dapat dipaksa pada masyarakat sebagai dogma yang tidak dapat diserang dan tidak kontroversial yang dianggap menjadi satu-satunya jalan pada penyelamatan ekonomi.
Ketika di tahun-tahun belakangan ini IMF benar-benar memberi perhatian pada pengurangan kemiskinan, mereka masih beroperasi dalam paradigma neo-liberal dan tidak menjanjikan perbaikan substansial apapun dalam soal penghormatan dan dukungan pada hak ekonomi dan sosial bagi mereka yang tidak dapat menjadi pemain pasar yang efektif.
Dalam tahun-tahun awal Washington Consensus, Bank Dunia berjalan amat seiring dengan IMF, tetapi mulai menjadi lebih peduli sosial setelah di tahun 1995 ketika James Wolfhnsohn menjadi Presiden grup Bank Dunia. Program Poverty Reduction Group dan Social Development Department dari Bank Dunia semakin terus memperjuangkan Social Impact Analysis, meski hal ini masih membatasi tidak pada konsekuensi pengambilan keputusan dalam Bank Dunia. Ada juga bahaya bahwa kepedulian sosial dalam Bank Dunia mungkin menurun ketika James Wolfhnsohn selesai masa kerja-nya di Bank Dunia pada musim panas 2005, dan digantikan oleh Mr. Wolfowitz, yang ditunjuk sebagai pengganti oleh Pemerintahan Bush dari Amerika Serikat[7].
Aman untuk dikatakan bahwa pemisahan fungsional dari lembaga Bretton Woods dari “PBB umum”[8] mempunyai konsekuensi negatif pada evolusi kebijakan pembangunan dari komunitas internasional. Kekuasaan voting dari lembaga itu sedemikian rupa sehingga secara eksklusif mewakili negara-negara terkaya, yang bersama mereka berada markas besar korporasi besar dan utama.
Perhatian serius adalah bahwa lembaga Bretton Woods, secara khusus IMF, tidak mengakui kewajiban yang mereka punyai dalam hukum hak asasi manusia internasional, meski mereka mempunyai kepribadian internasional, dan fakta bahwa sebagian terbesar dari mereka diikat oleh instrumen utama hak asasi manusia internasional[9], mempertimbangkan dengan sepenuhnya kewajiban negara mereka dalam hak asasi manusia internasional. Prinsip Tilburg “The World Bank, IMF, and Human Rights” dijabarkan oleh kelompok ahli selama 2000-2002, menyediakan detail soal tanggungjawab hak asasi manusia lembaga Bretton Woods, dan bagaimana tanggungjawab harus diterapkan (van Genugten et al., 2003).
Adalah berharga menyerukan seruan pada lembaga Bretton Woods oleh CESCR dalam keputusan di tahun 1998 ketika CESCR menyerukan pada IMF dan Bank Dunia untuk semakin memperhatikan aktivitas mereka untuk menghormati hak ekonomi, sosial, dan kultural, termasuk mendorong pengakuan eksplisit dari hak-hak ini, membantu identifikasi pembanding-terbaik spesifik-negara untuk memfasilitasi usaha promosinhya, dan memfasilitasi pengembangan tindakan remedial yang pantas untuk menjawab pelanggaran-pelanggaran. Jaring pengaman sosial harus dietapkan dengan rujukan pada hak-hak ini dan peningkatan perhatian harus diarahkan menurut metode-metode perlindungan kelompok miskin dan rentan dalam konteks program structural adjustment. Monitoring sosial yang efektif harus menjadi bagian integral pada peningkatan pencermatan (surveillance) dan monitoring keuangan dalam menyertai kredit dan hutang untuk tujuan penyesuaian (CESCR, 1998).
4.3. Mengubah arah WTO: dari free trade ke fair trade
Sejak korporasi multinasional mencapai 70% dari perdagangan internasional, adalah pantas mengklaim bahwa kesepakatan WTO dan implementasinya amat dipengaruhi oleh kepentingan dari korporasi itu. Sedang tidak ada ketidaksetujuan bahwa perdagangan internasional adalah penting, perdagangan yang secara keseluruhan tidak diregulasi akan menghasilkan ketaksetaraan yang amat sangat bagi negara-negara yang berbeda dan kelompok-kelompok yang berbeda dalam satu negara. Modifikasi penting dalam regulasi perdagangan internasional dengan ini diperlukan untuk memfasilitasi pembangunan berbasis-hak. Perdagangan ini bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi alat yang dapat berguna bagi pembangunan ekonomi dan sosial, melihat jika hal itu diregulasi secara memadai, memperhatikan konteks dan kepentingan yang berbeda dalam pertimbangan. Perdagangan yang adil perlu memperhatikan dampak sosial dalam proses liberalisasi. Penjagaan yang perlu haruslah dibuat secara sekaligus di tiap tahap liberalisasi, hal-hal itu tidak dapat ditunda hingga kemudian –dan jika tidak dapat diadopsi, liberalisasi tidak boleh dijalankan. Perhatian pembangunan harus lebih kuat dalam negosiasi WTO. Detail lebih jauh dan proposal konstruktif pada regulasi perdagangan disediakan oleh World Commission on the Social Dimension of Globalization (ILO, 2004, paras. 368-386).
Masalah khusus bagi pembangunan berbasis-hak adalah Trade-Related aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS) Agreement, yang membentuk bagian dari Kesepakatan WTO. Sebagaimana dicermati oleh World Commission on the Social Dimension of Globalization, aturan adil diperlukan untuk menjaga keseimbangan kepentingan produsen teknologi dan pengguna teknologi, khususnya mereka di negara pendapatan rendah kepada mana akses pengetahuan dan teknologi dibatasi. Isu penting bagi negara berkembang termiskin adalah masalah tidak adanya kapasitas kelembagaan, dan kompetisi bagi sumber daya dengan tujuan pembangunan lain ketika hal itu dibangun. TRIPS mungkin telah menyingkirkan keseimbangan. Hal ini seringkali mencegah akses pada obat yang dapat menyelamatkan kehidupan dengan harga terjangkau, dan hal itu tidak secara memadai melindungi akses terbuka atas pengetahuan tradisional yang telah lama berada pada ranah publik. Pengecualian dan fleksibilitas yang memang ada dalam kesepakatan TRIPS harus digunakan secara penuh, tetapi mungkin ada kebutuhan untuk renegosiasi pada beberapa poin penting:
Melihat fakta bahwa TNCs adalah pemegang persentase terbesar dari Intellectual Property Rights (IPRs), adalah jelas bahwa tenaga utama pada negosiasi yang lebih mendukung peningkatan kekuatan monopoli korporasi. Keprihatinan diekspresikan mengenai TRIPS yang mengkonsentrasikan kepemilikan IRPs di negara maju dan aktor kuat non-negara dengan ini dapat dimengerti… Bahaya adalah bahwa kontrol monopoli itu dapat diberikan prioritas yang lebih tinggi daripada memastikan pewujudan realisasi hak atas kesehatan, pangan, akses atas informasi dan hak atas pendidikan (Sub-Commission, 2001, para.20)
Aplikasi aturan WTO haruslah dibuat konsisten dengan syarat-syarat hak asasi manusia. Hal itu tidak boleh dikurangi atau menyerang ruang yang perlu bagi negara untuk memenuhi kewajiban hak asasi manusia bagi penduduk mereka.
5. Concluding Remarks: Tata Pemerintahan Global bagi Globalisasi yang Peduli Sosial
Pemerintah global tidaklah mungkin tidak juga diperlukan, tetapi tata pemerintahan global melalui koherensi kebijakan yang lebih baik antara lembaga dan agensi internasional yang beragam yang terlibat dalam kerjasama internasional adalah mungkin. Mungkin set proposal terbaik bagi hal ini dapat ditemuka dalam laporan World Commission on the Social Dimension of Globalization. Beberapa poin penting haruslah diarahkan pada pengakuan pengambilan-keputusan ekonomi global yang terkonsentrasi pada sedikit negara, dan hal ini tidak dapat ditanggung lebih lama lagi. Ketegangan meningkat: polarisasi yang amat tidak sehat telah muncul antara mereka yang mengambil keuntungan dari arah globalisasi yang ada sekarang dan mereka yang dicelakakan karenanya. Hal ini tidak boleh berlanjut dengan cara itu. Tetapi sebagaimana sekarang ini ada, dunia tidak mempunyai mekanisme kelembagaan formal untuk memastikan bahwa semua suara yang menghadirkan semua bagian relevan didengarkan dalam diskusi atau mempunyai kesempatan untuk berpartisipasi. Hal ini haruslah diberikan tindakan remedial.
Secara kelembagaan, satu kemungkinan harus dipulihkannya peran pada Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (UN Economic and Social Council –ECOSOC) yang sebenarnya sudah dimandatkan Piagam PBB, yaitu untuk mempromosikan koordinasi kebijakan global dalam lapangan ekonomi dan sosial. Pukulan terberat bagi kemungkinan ECOSOC untuk menjalankan tanggungjawab adalah pemisahan fungsional lembaga Bretton Woods dari PBB, dan menetapkan WTO sama sekali di luar PBB.
Segala hal ini tidaklah mungkin dalam jangka waktu dekat, bahwa ECOSOC dapat mendapatkan peran koordinasi yang dimaksudkan untuk dipunyai, langkah penting dapat diambil untuk menggerakkan kita pada arah itu.
ECOSOC dapat mengambil inisiatif untuk meningkatkan kerjasama antar badan yang terlibat dalam riset, atau monitoring dari dampak sosial globalisasi, dan memberikan fokus yang lebih baik riset, dan memastikan ketersediaan informasi yang detail mengenai siapa yang menjadi pemenang, siapa yang kalah –dijabarkan menurut kategori gender, etnisitas dan ras, pedesaan dan perkotaan, Utara dan Selatan, Timur dan Barat. Informasi yang lebih baik, semakin mungkin tindakan yang memadai diambil.
ECOSOC haruslah menindaklanjuti rekomendasi World Commission on the Social Dimension of Globalization untuk mengundang semua Kepala Eksekutif dari sistem multilateral untuk mempertimbangkan isu untuk Policy Coherence Initiatives dengan agensi lain. (ILO, 2004, paras. 608-614). World Commission mengajukan proposal untuk Kepala Ekskutif dari badan PBB, Bank Dunia, IMF, WTO dan ILO haruslah dalam tahap pertama secara bersama, dan berikutnya secara terpisah menjawab pertanyaan pertumbuhan global, investasi, dan penciptaan pekerjaan, dan bergerak menuju Policy Coherence Initiative. Mereka dapat membangun saran mengenai bagaimana mereka dapat secara bersama memajukan penciptaan kerja, dan pengurangan kemiskinan, mengurangi ketaksetaraan Gender dan pemajuan pemberdayaan perempuan, integrasi ekonomi informal dalam arus utama ekonomi, dan melindungi hak kunci pekerja, pendidikan, kesehatan, keamanan pangan, dan penempatan perumahan manusia.
Di antara isu yang harus diberikan prioritas perhatian adalah kebutuhan untuk men-set standard jelas bagi corporate social responsibility untuk memastikan globalisasi yang fair, dan untuk membangun monitoring efektif bagi tujuan tersebut. Organisasi internasional majikan dan organisasi serikat buruh internasional harus terlibat dalam tugas ini.
Di dalam peran ECOSOC atau melalui jalur kerjasama lain, lembaga yang sama seharusnya bekerja bersama untuk menciptakan kerangka kerja pembangunan bagi investasi asing langsung (foreign direct investment), mengimbangkan hak dan kewajiban investor (baik domestik dan internasional), negara penerima dan asal, melibatkan sepenuhnya dampak sosial sebagaimana yang diajukan sebagai proposal oleh World Commission (ibid., para.399).
Tugas paling fundamental, bagaimanapun, adalah untuk memastikan Policy Coherence Initiative men-set premis dasar bagi kerjasama global sebagai langkah asuransi proteksi sosial bagi semua segaris dengan hak ekonomi, sosial, dan kultural. Inisiatif ini haruslah segaris untuk pensyaratan DUHAM/UDHR pasal 28. ■
[1] Catatan terjemahan:
1. Terjemahan oleh Henry Simarmata
2. Penterjemah sudah mendapatkan ijin dari penulisnya untuk mempublikasikan beberapa hal dalam tulisan ini bila dianggap perlu.
3. Redaksi Jurnal FPBN sudah mendapatkan ijin dari penterjemahnya untuk mempublikasikan dalam Jurnal Perburuhan beberapa hal yang dianggap perlu tersebut.
4. Artikel ini banyak memakai frase yang operasional (“operative phrase”) sehingga terjemahan sejauh mungkin menjelaskan makna operasional itu.
5. Jika terdapat pertentangan makna, pembaca dapat bebas membuat terjemahan baru, atau kembali pada teks bahasa Inggris-nya.
[2] Asbjørn Eide saat ini adalah Senior Fellow di Norwegian Centre for Human Rights di Universitas Oslo, dimana dia pernah menjadi Direkturnya dari tahun 1987 sampai 1988. Saat ini dia adalah profesor tamu di Fakultas Hukum di Universitas Lund, dan pernah menjadi Profesor Torgny Segerstedt di Universitas Gothenburg, Swedia. Sepanjang 20 tahun, dia pernah menjadi anggota Sub-Komisi HAM PBB untuk Proteksi dan Promosi dan bertanggungjawab atas berbagai studi di Sub-Komisi, termasuk “The Right to Adequate Food as a Human Rights’ (Hak atas Pangan yang Memadai sebagai Hak Asasi Manusia), di Sub-Komisi 1987.
[3] lihat sebagai contoh Chang (2003)
[4] Institusi Bretton Woods termasuk grup Bank Dunia (World Bank) dan Dana Moneter Internasional (IMF, International Monetary Fund)
[5] untuk informasi lebih jauh lihat http://www.un.org/Depts/ptd/global.htm
[6] untuk informasi lebih lajut lihat http://www.ceedweb.org/iirp/factsheet.htm
[7] Presiden grup Bank Dunia selalu warga negara AS
[8] Mereka ini secara formal terdaftar sebagai specialized agency dalam keluarga PBB, tetapi mempunyai sistem voting yang sama sekali berbeda dari lembaga-lembaga lain dalam PBB.
[9] Kewajiban hak asasi manusia dari lembaga Bretton Woods digambarkan dan dianalisis oleh Skogly (2001)
Labels: Hak ekonomi dan sosial
http://ruangasadirumahkata.blogspot.com/
<< Home