Thursday, December 21, 2006

Serikat Buruh Dalam Bayang-bayang Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja




Oleh; Anwar “sastro” Ma’ruf*

Pengantar

Krisis ekonomi 1997 merupakan krisis ekonomi dunia atau krisis kapitalisme global. Dalam menghadapi krisis, Negara-Negara Dunia Ketiga pada umumnya menerima bantuan atau kerjasama dengan IMF (International Monetary Fund; sebuah lembaga keuangan dunia yang saham-sahamnya dimiliki oleh para kapitalis yang menguasai perekonomian dunia terlebih perekonomian di negara-negara ketiga), termasuk Indonesia. Letter of Intent (LoI) yang ditandatangani pemerintah Indonesia dengan IMF dimaksudkan untuk program kerjasama penyehatan ekonomi. Namun dalam kenyataannya justru semakin membuat negara Indonesia terpuruk masuk dalam jurang krisis berkepanjangan. Banyak kebijakan pemerintah yang dibuat antara lain atas nasehat dan desain dari IMF. Kebijakan tersebut semakin menyengsarakan rakyat bagaikan menanamkan duri dalam daging, karena kebijakannya tidak berpihak pada rakyat melainkan pada pemilik modal besar. Inilah bentuk penjajahan baru, yakni dengan pura-pura memberi bantuan tetapi memasukkan agenda baru untuk kepentingan pemilik saham besar IMF. Bangsa dan negara Indonesia yang kaya sumber daya alam ini semakin lama semakin miskin. Sumber daya alam Indonesia terus dirampok untuk kepentingan segelintir orang dan melupakan kebutuhan hidup rakyat banyak (liberalisasi air, minyak bumi, listrik, dll).

Salah satu cara penanganan krisis yang diusulkan oleh IMF yang kemudian menghancurkan ekonomi itu sendiri adalah pemberian subsidi kepada Bank-Bank yang kreditnya macet. Bank-bank tersebut dilikuidasi dan disehatkan kembali dengan suntikan dana dari pemerintah. Dana yang keluar dari uang rakyat dan pinjaman IMF tersebut salah arah dan tak mampu membangkitkan sektor riil atau tak dapat membuka lapangan kerja yang luas. Akibatnya, puluhan juta tenaga kerja terkena PHK dan menjadi penganggur serta ribuan angkatan kerja baru, terlantar nasib dan masa depannya. Dampak lainnya adalah kualitas hidup masyarakat semakin buruk yang berdampak pada kelaparan, gizi buruk (kasus busung lapar, lumpuh layu dan penyakit akibat kurang gizi lainnya) yang menimpa pada balita dan anak-anak buruh, tani, nelayan, miskin kota dan rakyat miskin lainya.

Kondisi kaum buruh dan Serikat Buruh

di era Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja

Aksi massa yang luar biasa besar terjadi di kota-kota industri di Indonesia pada ”May Day’ yang baru lalu. Aksi yang sedemikian besar itu dipicu oleh momentum penting yaitu rencana pemerintah untuk me-revisi UUK No.13/2003. Dasar revisi tersebut adalah INPRES No. 03/2006, yaitu kebijakan tentang perbaikan iklim investasi Indonesia (Revisi UUK, Amandemen UU PA dan UU PMA). Kenapa UUK mesti direvisi? Ternyata dianggap masih kurang fleksibel. Dalam prakteknya, pengusaha sudah menerapkan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Salah satu pasal dalam UUK No.13/2003 adalah melegalkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, yakni dalam pasal tentang perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Dalam hal ini Pengusaha sudah diuntungkan luar biasa. Dengan menerapkan sistem kerja kontrak dan outsourcing, buruh dapat diupah murah hanya sebatas UMK atau bahkan dibawahnya (fleksibilitas upah), penerapan jam kerja panjang dengan target produksi yang tinggi dengan sanksi skorsing waktu bila tak mencapai target atau lembur tidak dibayar (fleksibilitas jam kerja). Hubungan kerja antara buruh dengan pengusaha yang awalnya adalah hubungan kolektif menjadi individual. PKB (Perjanjian Kerja Bersama) di waktu mendatang tidak diperlukan lagi karena sudah diganti dengan perjanjian kerja secara individual yang ditandatangani diawal sebelum masuk kerja, yang mengatur upah, waktu kerja, terkadang juga intimidasi untuk tidak berserikat dan mogok kerja. Dengan kondisi ini serikat buruh dilemahkan dan bahkan kebebasan berserikat tidak dimungkinkan lagi. Ini merupakan bentuk-bentuk fleksibilitas pasar tenaga kerja yang sudah sejak lama diterapkan para pengusaha untuk menciptakan buruh murah dan tunduk, tak bisa melawan.

Tetapi benarkah buruh akan terus tunduk dalam ketertindasan dan tidak dapat lagi melawan? Kenyataan yang terjadi di Indonesia saat ini tidaklah demikian. Saat ini di Indonesia ada 3 Konfederasi dan 87 Federasi Nasional, belum lagi Serikat Buruh (SB) tingkat lokal dan tingkat pabrik yang terkotak-kotak. Dalam momentum revisi UUK dan mayday yang lalu, memotivasi buruh untuk maju bersama. Buruh turun ke jalan yang terbagi dalam 3 kelompok besar yaitu; Aliansi Buruh Menggugat (ABM), Serikat Pekerja Nasional (SPN-KSPI) dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI). Yang harus diungkap adalah kenapa kaum buruh begitu antusias turun ke jalan? Apakah karena dibayar atau diprovokasi? Jika mau dibandingkan, aksi tentang penolakan KEPMEN 78 Tahun 2001 tentang pesangon, memang didukung oleh massa buruh yang cukup besar. Namun tidaklah sebesar May Day tahun 2006 yang baru lalu. Dorongan aksi besar ini disebabkan oleh kondisi perburuhan yang penuh ketidakpastian sebagai dampak dari fleksibilitas pasar tenaga kerja yang merupakan implementasi dari praktek pelaksanaan UUK No. 13 tahun 2003. Dengan sistem ketenagakerjaan yang fleksibel ini masa depan buruh menjadi suram akibat sistem kerja kontrak, outsourcing, upah murah, jam kerja panjang dan jadi pengangguran atau korban PHK. Buruh adalah pihak yang langsung mengalami dan merasakan dampak sistem liberal ini. Sementara itu, revisi UUK yang diusulkan oleh pemerintah justru menampilkan sistem ketenagakerjaan yang sangat fleksibel.

Disisi lain, banyak elit serikat buruh lari dari kenyataan dan kurang berani menghadang sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja atau menghindar karena hanya mencari anggota dengan status kerja tetap. Sedangkan buruh yang berstatus kontrak ditinggalkan begitu saja. Bahkan ada pula elit serikat buruh yang ikut bermain dan mengambil keuntungan saat pengusaha merubah status buruh dari buruh tetap menjadi buruh kontrak, melalui PHK massal, pemutihan bahkan perekrutan (dengan menjadi agen penyalur tenaga kerja/labour supplier). Semuanya itu dilakukan hanya semata-mata demi keuntungan kantong pribadinya dengan mengabaikan hak-hak buruh yang telah sekian lama setia menjadi anggotanya. Dengan demikian, nampak watak asli dari elit/pengurus serikat buruh tersebut yang hanya mementingkan diri sendiri.

Aksi massa besar-besaran pada Mayday 2006 tersebut berdampak pada ditundanya rencana revisi UUK 13/2003 dimana pemerintah menyampaikan rencana kajian yang akan melibatkan akademisi dari sejumlah perguruan tinggi. Harus diakui bahwa gerakan buruh dalam aksi tersebut memberi andil besar untuk menekan pemerintah dalam membuat kebijakan ketenagakerjaan. Hal ini semakin meyakinkan kaum buruh bahwa aksi massa merupakan senjata ampuh bagi kaum buruh.

Menghadang Penjajahan Bentuk Baru: Neoliberalisme

1. Bagaimana Serikat Buruh Mampu Bertahan?

Refleksi atas Kondisi Organisasi.

Merupakan tantangan yang sangat berat, bahwa saat ini SB harus berhadapan dengan sistem ketenagakerjaan yang fleksibel sebagai program dari neoliberlisme. Negara melepas tanggung jawab dari tugasnya untuk melindungi buruh. Buruh dilepas dan diserahkan kepada mekanisme pasar, menghadapi pasar bebas, bertarung dengan lawan yang tak seimbang. Dibukanya keran demokrasi liberal dalam berorganisasi, pada kenyataannya justru terjadi kontradiksi antara sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja dan kebebasan berserikat. Juga terbuka peluang terjadi gesekan atau benturan antar serikat buruh. Hal itu semakin melemahkan buruh dan serikat buruh. Maka, serikat buruh perlu melakukan refleksi atas gerakan yang telah dilakukan selama ini. Hal ini dimaksudkan agar dapat menyusun kekuatan dari pengalaman proses selama ini, disesuaikan dengan kondisi obyektif yang didasari oleh kondisi subyektif.

· Merumuskan Kembali Cita-cita Perjuangan.

Dalam AD/ART di setiap serikat buruh, umumnya bertujuan untuk meraih kesejahteraan anggota dan keluarganya. Sudah saatnya cita-cita organisasi dirumuskan secara mendalam, yang digali dari perdebatan mayoritas anggota di semua level, jangan lagi hanya didominasi oleh elitnya saja. Haruslah dibuat alur dan diurai secara tuntas dan jelas bagaimana cita-cita tersebut akan dapat dicapai termasuk kapan waktunya, atau bukan sekedar mimpi (karena kaum buruh ditindas juga bukan mimpi tetapi kenyataan pedih yang harus bergumul dengan kemiskinan dan kebodohan). Dalam perumusan ini, yang disebut ideologi buruh diuraikan sesuai kondisi obyektif. Sebagai contoh; kesejahteraan kaum buruh akan dicapai ketika buruh dapat merebut kekuasaan dan mampu berkuasa. Karena dengan kekuasaan barulah kita dapat menentukan banyak hal seperti sistem ekonomi, kebijakan yang pro-rakyat, perlindungan rakyat pekerja dari dominasi modal dan lain-lain.

· Mempersiapkan Kepemimpinan Organisasi.

Perlunya mempersiapkan petugas dan kapasitasnya. Kekuatan personal ini harus dihitung, diidentifikasi, digali kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan disesuaikan dengan strategi, taktik dan program organisasi untuk mencapai tujuan atau cita-cita organisasi baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Yang harus diperhatikan adalah 1). Jumlah penggerak organisasi Perlu ada perbandingan antara jumlah anggota dan kader. Sebaiknya jaraknya jangan terlalu jauh misalkan 1:10 (1 kader membawahi 10 anggota). 2). Sebaran kader atau penggerak organisasi, penempatan kader disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Dalam target tertentu penugasan sebagai pengurus, perwakilan, organizer. 3). Bagaimana kapasitas dan pemahamannya terhadap organisasi secara menyeluruh. Tidak dapat dilepaskan dari manajemen organisasi. Pemahaman terhadap manajemen pengelolaan sumber daya manusia dan sumber daya yang ada akan sangat menentukan kemajuan organisasi. Dalam hal ini kita dapat belajar didalam pabrik bagaimana sumberdaya manusia dan sumber daya yang ada diatur sedemikian rupa agar mendapatkan hasil produksi yang tinggi baik secara kuantitas maupun kualitas. 4). Kemudian bagaimana menjaga kader agar tigak tergelincir atau menjadi sesat seperti mayoritas serikat buruh saat ini. Tetap memegang prinsip dan cita-cita perjuangan, jangan hanya mementingkan karier politiknya atau mengikuti setting lawan (pengusaha) atau titipan penguasa.

· Mekanisme Organisasi.

Bagaimana hubungan antara anggota dan pengurus, antar pengurus dan antar anggota. Aturan dalam pengambilam keputusan, rapat-rapat, keluar masuknya dana organisasi. Minimal harus ada arahan mulai dari garis komando, koordinasi dan dinamika organisasi yang baik untuk diterapkan. Sebagai contoh, bagaimana organisasi membuat keputusan juga mengatur wewenang, bagaimana batasan kekuasaan, jangan sampai ada kekuasaan tanpa batas, hingga orang/sekelompok yang punya posisi tertentu dapat semaunya memutuskan sesuatu. Serikat buruh bukan kerajaan, yang apapun kata ketua umum harus dipatuhi. Tetapi sebagai organisasi gerakan yang kepemimpinannya adalah kolektif atau bersandar pada perwakilan-perwakilan anggota atau kepentingan bersama guna mencapai tujuan menjadi kesatuan yang utuh. Karena serikat buruh adalah organisasi yang berdasarkan persatuan, mandiri dan demokratis maka semua aturan harus bersandar kesana.

· Pendanaan Organisasi.

Salah satu wujud kemandirian organisasi adalah iuran anggota. Iuran anggota sangat penting dalam menunjang kinerja dan program organisasi. Organisasi Serikat Buruh harus memulai menghitung besaran iuran sesuai kebutuhan organisasi. Maka perlu ada program tentang kampanye iuran. Bagaimana melakukanya? Misalnya : 1). Sebaiknya iuran dihitung berdasarkan prosentase misalkan 1% dari Upah buruh. Bila terjadi kenaikan upah dengan sendirinya iuran akan naik. 2). Posting iuran dibagi berdasarkan kebutuhan organisasi dengan transparan. Misalnya 45% untuk operasional basis, 25% untuk federasi atau afiliasi, 15% untuk dana sosial, 15% untuk dana mogok. Jadi basis akan mengelola 75% dengan pembagian yang jelas. 3). Dibuat kejelasan baik ditingkat basis maupun federasi posting dari operasional tersebut. atau dalam bentuk laporan keuangan sekaligus kegiatan atau pelaksanaan program yang dilakukan sekaligus capaiannya. 4). Laporan dibuat secara periodik dan ada mekanisme yang mengatur kontrol atau meminta keterangan atas laporan kegiatan dan atau keuangan.

2. Pendataan dan Analisa Kekuatan.

Pendataan dan analisa kekuatan dimulai dengan pemetaan Industri untuk memahami kondisi secara internal maupun eksternal. Sudah saatnya mengenali bagaimana kondisi buruh dari lingkup terkecil pabrik, kawasan Industri, komunitas sekitar kawasan industri. Berapa besar buruh yang terorganisir dan mendapatkan akses informasi dari pengurus SB melalui berbagai media, sampai diketahui berapa besar kekuatan dan pengaruh SB disana. Selanjutnya, menghubungkan dengan kawasan atau wilayah lain sampai berbagai kawasan satu kecamatan, kota atau kabupaten, kalau memang sudah ada strukturnya secara regional atau propinsi. Supaya terfokus, mungkin dapat dimulai dengan wilayah terkecil.

Pertama, ditingkat pabrik. Kita dapat membuat profil perusahaan secara lengkap. Dimulai dengan nama PT, alamat baik pabrik maupun cabang atau kantor pusatnya, nama pemilik dan asalnya, produksi dan merk atau brand serta kapasitas produksi, negara tujuan ekspor, jumlah buruh (perempuan dan laki-laki, buruh yang berstatus tetap dan kontrak), berapa besar upah dan tunjangan (secara spesifik sesuai status), pengalaman organisasi, dan yang lain-lain sesuai kebutuhan. Hal yang sering terjadi buruh tidak tahu tentang nama pemiliknya atau merk apa yang diproduksi.

Kedua, kawasan industri dan komunitas. Merupakan pemetaan dari dari profil-profil perusahaan yang ada dalam satu kawasan, sekaligus kondisi komunitas disekitar pabrik baik secara sosial budaya, ekonomi maupun politik. Pertanyaanya berapa banyak pabrik dalam satu kawasan, berapa jumlah buruhnya (tetap dan kontrak, perempuan dan laki-laki), kondisi masayarakat sekitar industri, organisasi-organisasi yang ada (ormas, orpol, pemuda, preman, militer dan lain-lain). Berikutnya adalah berapa pabrik di kawasan tersebut dimana buruhnya adalah anggota SB kita dan berapa telah terorganisir. Sering kali kita bangga dengan jumlah anggota yang banyak tetapi kita tidak mampu menyentuh atau mengurusnya. Kita hanya mampu mengklaim dan tidak dapat menggerakkan atau menjadikanya sebuah kekuatan.

Ketiga, menyambungkan antar kawasan industri atau dengan istilah geopolitik dalam satu distrik. Sampai kita temukan jumlah buruh dibandingkan dengan sektor lain dan jumlah buruh dalam suatu kota atau kabupaten. Disana kita bisa mengukur kekuatan kita nyata atau tidak, dapat kita pakai kekuatannya atau tidak. Maka akan mudah dalam melihat kelemahan-kelemahan kita.

Keempat, siapa yang melakukan pemetaan? Hal yang penting dalam melakukan pemetaan adalah petugasnya. Petugasnya adalah anggota kita sendiri yang mau meluangkan waktu, dan dapat dikoordinasikan. Dengan sendirinya muncul beberapa kader yang dapat melakukan pemetaan dan sekaligus dapat dipersiapkan sebagai kader organisasi. Tentunya harus ada panduan dan arahan yang jelas serta petunjuk teknis pelaksanaannya.

3. Memanfaatkan Data dan Informasi

Sebagai Basis Pengorganisasian.

Karena situasi perburuhan yang makin sulit dan berat dalam melakukan pengembangan organisasi maka sudah saatnya dibuat sistem pengorganisasian yang terencana dan terukur baik secara besaran (kuantitatif) maupun capaian (kualitatif). Jangan sampai buruh mengalami de-moralisasi kemudian berpikir dan bertindak bahwa serikat buruh sudah tidak ada gunanya atau buruh anti terhadap serikat atau menyerah pasrah terhadap suatu kondisi yang menimpanya. Dengan data tentunya kita akan lebih mudah dalam melakukan pengorganisasian dan menentukan capaian. Baik capaian dalam pabrik, suatu kawasan, distrik, wilayah maupun nasional. Termasuk dapat juga dipakai dari berbagai aspek baik ekonomi maupun politik. Pada kondisi sekarang, kita sudah mulai dengan pengorganisasian yang alamiah, maka harus dipadukan dengan yang ilmiah. Tentunya hal ini berdasarkan mapping atau pemetaan situasi bahwa buruh dalam konteks sistem fleksibilitas pasar tenaga kerja (sistem kerja kontrak, outsourcing, upah murah, jam kerja panjang, tidak ada jaminan sosial, dan mudah dipecat), hidup dan masa depannya terancam. Biasanya basis yang kuat akan mampu bertahan atau menolak desakan pengusaha untuk mempekerjakan buruh yang dengan sistem yang fleksibel. Inilah perlunya menjadikan proses atau hasil pengorganisasian selama ini sebagai modal dalam melakukan perluasan atau pengembangan organinsasi kedepan.

Sebagai contoh yang dapat dilakukan langkah-langkah sebagai berikut :

· Indentifikasi basis. Proses pengorganisasian tentunya telah melahirkan beberapa basis.

Basis-basis yang bertahan sampai saat ini biasanya adalah basis yang dapat bertahan dari krisis, juga yang dapat bertahan dari serangan anti serikat yang dilakukan oleh pengusaha. Kalau hal tersebut dipakai sebagai kriteria tentunya sudah ada beberapa kemenangan kecil yang diraih, misalnya penambahan pendapatan diatas normatif, pelaksanaan PKB, proses pendidikan anggota dan pengalaman advokasi baik kasus maupun kebijakan. Maka basis tersebut dapat kita persiapkan sebagai jangkar untuk mengorganisir pabrik sekitarnya.

· Menyiapkan kader-kader maju baik dari yang telah tumbuh secara alami maupun yang kita persiapkan. Melakukan assesment terhadap kapasitas kader dan melakukan identifikasi kebutuhan pengembangan kapasitas yang dibutuhkan oleh semua lini organisasi sesuai kebutuhan kader. Penugasan dalam berbagai lapangan dengan dibekali atau difasilitasi sesuai kebutuhan masing-masing. Diuji dengan praktek-praktek atau kegiatan yang telah dilakukan dalam organisasi. Juga penyebaran kader berdasarkan cakupan wilayah target organisasi.

· Membuat pusat-pusat informasi atau sekretariat-sekretariat di komunitas atau wilayah yang dekat dengan kawasan industri yang akan diorganisir. Hendaknya disadari bahwa buruh sampai saat ini kurang mendapatkan informasi tentang hak-hak buruh, kurang memahami tentang hak berserikat (serikat yang dikenal barulah SPSI. Maka untuk mendekatkan hal tersebut sebaiknya dibuat pusat-pusat informasi di sekitar zona industri.

· Selain program internal organisasi harus dibuat juga program aliansi atau jaringan. Kemudian program sosial kemasyarakatan untuk perluasan pengaruh sekaligus perluasan sektor pengorganisasian. Juga mulai mempelajari kondisi politik dan kebijakan-kebijakan daerah. Bila diyakini mungkin, ikut secara proaktif mengajak masyarakat atau sektor lain.

Hal diatas tentunya harus didukung pengelolaan yang baik, supaya efektif dan efisien. Secara khusus menentukan prioritas, yang terukur atau dapat dicapai dalam batasan waktu tertentu dengan mempersiapkan keberlanjutanya.

4. Pembangunan Aliansi dengan Programatis.

Pembangunan aliansi sebaiknya dimulai ditingkat lokal, menyambungkan antar basis dari berbagai serikat buruh agar tidak hanya elit-nya yang saling bertemu. Metode yang dapat dipakai dapat dimulai dengan melakukan advokasi dan kampanye serta pendidikan bersama. Kekuatan di tingkat lokal pada kondisi sekarang sangatlah penting tetapi harus diingat agar jangan sampai terjebak pada sikap lokalis maka harus selalu terhubung dengan agenda-agenda nasional. Kita dapat memilih isu yang akan dijadikan prioritas kerja aliansi dalam bentuk program bersama. Mulai dari isu yang diambil dari kontradiksi pokok yang dialami di akar rumput, pilihan ini selain mengangkat akar masalah juga menyentuh langsung pada apa yang dialami sebagai penindasan langsung oleh mayoritas buruh. Hal ini akan menjadi media pendidikan langsung kepada massa, karena akan dilibatkan dalam berbagai bentuk kegiatan. Sebagai contoh, dalam menghadapi fleksibilitas pasar tenaga kerja kita dapat memulai dengan beberapa tahapan seperti; pertama, pengumpulan data atau investigasi dampak fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan melibatkan basis, baik kader atau anggota yang mengalami langsung bahkan menjadi korban. Kedua, menganalisa data-data yang telah terkumpul dengan berbagai aspek. Ketiga, membuat kertas posisi sebagai bentuk nyata yang dapat menggambarkan bagaimana kondisi senyatanya atas dampak dari fleksibilitas pasar tenaga kerja tersebut. Keempat, melakukan propaganda atau publikasi dengan berbagai cara seperti talkshow, debat publik dan lainya. Dalam debat publik sebaiknya selain dari buruh, melibatkan juga banyak pihak seperti akademisi dan pelaksana kebijakan (seperti Bappenas, DPRD, Depnaker). Hendaknya diupayakan agar kertas posisi yang dibuat dapat mempengaruhi publik agar wacana dampak kebijakan tersebut akan menjadi prioritas perhatian publik. Sekaligus juga membuka wacana bagaimana dampak dari fleksibilitas pasar tenaga kerja dapat mengancam masa depan buruh dan akan meluluh lantakkan serikat buruh. Kelima, melakukan aksi massa sebagai bentuk nyata protes dan pendidikan politik kepada massa. Keenam, melakukan evaluasi bersama baik per tahapan dan secara menyeluruh dalam pelaksanaan program bersama dan menghubungkan dengan aliansi dari daerah lain, termasuk dengan sektor lain. Ada semacam kerja bersama agar tidak sektarian dan lebih mengedepankan persatuan. Karena ketika persatuan buruh terbentuk, sektor lain seperti petani dan nelayan harus juga menyatu, termasuk miskin kota dan desa, juga intelektual. Dengan gerakan bersama tentunya diharapkan akan semakin mudah dan dekat dalam meraih cita-cita yang sebenarnya.

*Penulis;

Ketua Umum KASBI (Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia)

Koordinator ABM (Aliansi Buruh Menggugat)

Sekretariat: Jln Pemuda IIIA No. 112B.Rawa Mangun Jakarta Timur

HP. 08561351493, Telp & fax 5517764, Email : kp_kasbi@yahoo.com


Tuesday, December 12, 2006

Pasang Surut Pengorganisasian Buruh


Pasang Surut Pengorganisasian Buruh

Oleh : M. Bachrul Ulum

Aktivis perburuhan, Bekerja pada Yayasan AREK Surabaya

Sejak rejim Orde Baru sampai saat ini buruh di Indonesia belum pernah mendapat tempat dalam kebijakan yang mengatur tentang perburuhan. Pada masa Orde Baru, ditengah tekanan represi dan stigma oleh negara, buruh berhasil membangun serikat buruh yang kuat dan independen. Perubahan arah perpolitikan nasional membuat buruh semakin mudah mendirikan serikat buruh. Tetapi hal tersebut tidak serta merta menaikkan posisi tawar buruh di depan negara dan modal. Sehingga sampai sekarang nasib buruh masih belum beranjak dari ketertindasan.

Sejak era reformasi jumlah serikat buruh berkembang pesat, dibanding dengan masa sebelumnya. Aksi-aksi buruh, seperti mogok kerja, menjadi hal yang biasa kita temui. Tetapi keadaan itu masih belum bisa mendongkrak posisi tawar buruh terhadap negara dan modal. Kaum buruh masih menjadi silent majority, dalam konteks kebijakan ekonomi nasional yang mengatur tentang investasi dan perburuhan. Dalam setiap kebijakan pemerintah buruh masih menjadi pihak yang banyak dikalahkan oleh kepentingan modal. Salah satu kebijakan yang pro modal adalah kebijakan tentang outsourcing. Modal diberi keleluasaan lebih untuk memakai buruh outsoucing dalam proses produksi, seperti yang termuat dalam UU Ketengakerjaan No 13 Tahun 2003 pasal 64.

Tekanan kapitalis global membuat negara berusaha merevisi kebijakan-kebijakan yang sudah ada. Kebijakan yang sudah ada dianggap masih belum ramah terhadap investasi. Karena kebijakan yang sudah ada dianggap masih belum mencerminkan pola pasar bebas, diperlukan perubahan agar memberi tempat bagi modal untuk berkembang dalam alam kebebasan. Disisi lain, hak buruh, yang nota bene berkebalikan dengan kepentingan modal, menjadi lebih banyak dikesampingkan demi kepentingan modal. Sehingga mau tidak mau upaya revisi tersebut menjadikan buruh akan semakin tertindas.

Contoh diatas menjadikan nasib buruh tidak berubah bila dibandingkan dengan masa rejim Orde Baru. Dimasa Orde Baru pemerintah menekan buruh secara represif dengan menggunakan alat-alat negara. Tidak itu saja Orde Baru juga menempelkan stigma pada setiap aktivis buruh dan semua metode perjuangannya. Semua itu dilakukan demi terciptanya stabilisasi politik, sehingga menjamin pertumbuhan investasi nasional.

Membangun Serikat Buruh Independen.

Pada masa Orde Baru amat sulit untuk merekrut buruh menjadi aktivis. Mereka ketakutan dibawah bayang-bayang alat-alat negara, yaitu ABRI dan birokrasi. Negara memakai seluruh aparatnya untuk mengontrol kehidupan buruh. Dari mulai aparat di tingkat pusat sampai dengan aparat di daerah-daerah. Bahkan negara sukses memperalat aparat kuasi birokrasi yang ada di kampung-kampung dan di desa-desa, untuk terus memata-matai kegiatan buruh sehingga terjadi banyak penangkapan yang dilakukan oleh negara terhadap aktivis buruh.

Negara melarang pendirian serikat buruh diluar serikat yang direstui oleh negara yaitu SPSI, menjadikan buruh takut untuk mendirikan serikatnya sendiri secara mandiri dan independen. HIP[1] adalah doktrin yang harus diterima oleh buruh. Semua kegiatan yang dianggap tidak sesuai dengan HIP dilibas habis. Pemikiran yang berseberangan dengan HIP dituduh merongrong kedaulatan negara, dan dianggap sudah melakukan subversi. Bahkan buruh yang berjuang untuk memperoleh hak-haknya dituduh sebagai antek-antek PKI, karena buruh dianggap sudah mempraktekan cara-cara PKI.

Ditengah tekanan yang luar biasa, pengorganisasian massa buruh tetap dilakukan. Pengorganisasian dilakukan dengan tujuan sederhana, yaitu menstimulasi buruh untuk mau dan bisa membangun serikat buruh alternatif yang independen. Diharapkan dengan berserikat, buruh bisa membangun kekuatan untuk memperjuangkan nasibnya. Pendekatan yang dilakukan masih sangat personal yaitu dengan menemui satu persatu buruh di pondokannya masing-masing. Dengan mengangkat topik menjawab permasalahan disekitar buruh dan pabrik tempat kerja buruh. Semua itu dilakukan dengan sembunyi-sembunyi demi menghindari penangkapan oleh aparat. Kegiatan-kegiatan tersebut ternyata mampu membangkitkan militansi pada sebagian kecil buruh.

Pada giliran berikutnya beberapa buruh yang sudah mempunyai militansi yang cukup, berkumpul untuk membangun serikat buruh alternatif yang independen ditempat kerja. Tentunya serikat buruh tersebut masih menjadi serikat buruh liar sehingga semua kegiatannya harus dilakukan dibawah tanah. Konsekwensi berikutnya adalah serikat buruh tersebut tidak bisa berkembang dengan baik dan belum berfungsi maksimal sebagai alat perjuangan. Tetapi setidaknya serikat buruh yang dibangun secara mandiri oleh buruh ini menjadi media pembelajaran buruh tentang organisasi yang demokratis.

Sejarah telah membuktikan bahwa meskipun berjumlah sedikit, serikat buruh-serikat buruh tersebut mampu dan berani memberi perlawanan terhadap kesewenangan negara. Puncaknya pada paruh awal tahun 1990-an, dimana banyak terjadi pemogokan yang dilakukan oleh buruh. Buruh sudah bisa mengatasi rasa takut akan represi dan stigma yang dilakukan oleh negara. Tetapi karena represi dan stigma oleh negara masih sangat kuat, membuat belum banyak buruh yang berani mendirikan serikat buruh yang independen.

Setelah tahun 1998, era reformasi, peran kontrol negara dalam persoalan-persoalan perburuhan dikurangi. Salah satunya adalah dengan diterbitkannya keppres No 83/1998 yang memperbolehkan buruh mendirikan serikat buruh selain SPSI. Dengan keluarnya Keppres tersebut membuat buruh merasa tidak ada lagi penghalang untuk membangun serikat buruh yang independen, sehingga kemudian perkembangan jumlah serikat buruh menjadi sangat pesat. Kesadaran berorganisasi tumbuh subur di kalangan buruh. Tanpa harus diorgainisir lagi buruh sudah berinisiatif untuk mendirikan serikat buruh ditempatnya bekerja.

Meskipun negara tidak berperan lagi secara langsung dalam persoalan-persoalan perburuhan, tetapi masih memberi dukungan kepada modal lewat kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada buruh. Buruh menjadi sangat lemah berhadapan dengan modal. Senjata buruh dalam berhadapan dengan modal pun lumpuh. Mogok kerja menjadi kurang punya kemampuan tekan terhadap modal. Aksi turun ke jalan, menjadi senjata makan tuan. Setiap kali buruh turun ke jalan, bukan simpati yang diperoleh dari publik melainkan antipati terhadap usaha buruh untuk memperjuangkan nasib. Celah-celah dalam perundang-undangan nasional dipakai oleh modal untuk mengkriminalkan para aktivis buruh. Dengan mudah buruh di PHK atau status buruh diubah dari buruh tetap menjadi buruh outsourcing. Hal ini menjadi jawaban yang manjur bagi keresahan modal dalam menghadapi gelombang gerakan buruh. Terbukti di banyak perusahaan yang sudah melakukan pemutihan[2] tidak ada lagi perlawanan dari buruhnya. Sehingga tindakan pemutihan marak dilakukan dimana-mana.

Buruh kembali pada rasa keraguan akan pentingnya arti serikat buruh untuk meraih kehidupan lebih baik. Serikat buruh dan kegiatannya kemudian malah menjadi pemicu hasrat modal untuk merubah status buruhnya, dari buruh tetap menjadi buruh outsoucing. Serikat buruh kehilangan kekuatannya dalam melawan penindasan. Bahkan seringkali keberadaan organisasi serikat buruh menjadi pemicu keterpurukan baru yang lebih dalam. Dipihak lain jumlah serikat buruh pun terancam akan kembali menyusut dengan maraknya pemutihan yang dilakukan oleh modal terhadap buruhnya.

Meraih Posisi Tawar

Serikat buruh masih memakai pola lama dalam mengorganisir. Metoda menyelesaikan persoalan hanya terbatas pada dinding pabrik masih banyak dianut. Serikat buruh masih terpenjara oleh pagar pabrik. Sementara modal sudah mengarah ke arah kapitalisasi global. Keterpurukan nasib buruh masih berlangsung ditengah perubahan peta perpolitikan nasional. Buruh dalam masa perubahan peta perpolitikan nasional dipaksa untuk langsung berhadapan dengan modal, tanpa ada payung kebijakan negara yang melindungi buruh sama sekali.

Mesti diingat bahwa persoalan tentang pengorganisasian buruh adalah keharusan demi memperbaiki nasib buruh. pengorganisasian masa buruh penting karena untuk membangun kekuatan buruh, serta meningkatkan militansi masa buruh, dan juga untuk membangun media pembelajaran bagi buruh dalam suatu tatanan organisassi yang demokratis. Masalahnya kemudian adalah bagaimana serikat buruh melihat permasalahan perburuhan tidak hanya terbatas pada dinding pabrik saja. Serikat buruh harus mampu melihat permasalahan secara makro, dan berusaha untuk menjawabnya.

Beberapa langkah yang mungkin bisa diambil oleh serikat buruh dalam usaha untuk meraih posisi tawar : Pertama, serikat buruh dapat menjamin demokratisasi dalam tubuh organisasi serikat buruh tetap terjaga. Dengan demikian proses sirkulasi kepemimpinan menjadi terjamin. Sehingga akan menjadi landasan bagi terciptanya tatanan sosial masyarakat baru yang lebih adil. Kedua, memperbesar kekuatan serikat buruh dengan mempergencar agitasi, dengan terus menerus melakukan pembongkaran pola pikir yang merugikan buruh. Hal ini diperlukan untuk secara terus menerus memperlemah propaganda modal. Ketiga, melakukan propaganda untuk memperbesar dukungan kepada gerakan buruh dari elemen-elemen gerakan rakyat yang lain. Dalam hal ini serikat buruh harus benar-benar bisa menggunakan media komunikasi dengan efektif dan efisien. Keempat, serikat buruh agaknya harus mulai menyiapkan diri memasuki kancah politik. Kontrol terhadap lahirnya kebijakan publik harus diusahakan untuk direbut.

Bahan bacaan :

Sharp, Gene, “Menuju Demokrasi Tanpa Kekerasan”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta 1997

Warner, Jon, “Kerja Jaringan”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2003

Gafur, Abdul, Ed, “Advokasi Berbasis Komunitas”, LaPASIP, Jakarta 2006

Magnis-Suseno, Frans, Wawancara “Kondisi Obyektif Menyulitkan Serikat Buruh Menjadi Aktor Demokrasi”, Sedane, vol. 2, no. 2, Juli – Desember 2004

Dokumen Lain :

Keppes no 83 Tahun 1998

UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003


[1] HIP adalah Hubungan Industral Pancasila, dimana doktrin itu mengajarkan bahwa hubungan buruh dan pengusaha adalah partner kerja dan segala permasalahan harus diselesaikan dengan cara musyawarah untuk mencapai kata mufakat

[2] Pemutihan adalah perubahan status buruh tetap menjadi buruh kontrak atau outsourcing


This page is powered by Blogger. Isn't yours?