Tuesday, November 04, 2008
Derma untuk Pekerja
Derma untuk Pekerja
Aditya Heru Wardhana
Pekerja media dan anggota AJI (Aliansi Jurnalis Independen).
Penulis bisa dihubungi di heruwardhana@yahoo.com / heruwardhana.multiply.com
Gemuruh sorak - sorai membahana di tepi lapangan badminton. “Ayoo,..ayooo,… ayyooo, terus,.... jangan sampai kalah.” Teriakan penonton bersahut-sahutan menyemangati tim yang tengah bermain. Di tengah lapangan, para pemain berjumpalitan mengejar kemenangan. Ini bukanlah cerita tentang keramaian final Kejuaran Piala Thomas –Uber, tapi ini tentang kegiatan Corporate Social Responsibility (CSR) suatu produk makanan ringan anak-anak. Di sore yang gerimis, program CSR yang bertajuk Markas Petualangan Taro itu digelar di kawasan padat pemukiman Mampang Jakarta Selatan. Anak-anak saling berlomba, antara lain lomba yang melibatkan 4 regu, masih-masing regu beranggotakan 5 anak. Nah tiap regu berdiri di atas tiga lembar koran lantas Koran itu dijadikan pijakan untuk melangkah ke arah garis finish. Kelompok yang kaki anggotanya keluar dari koran dinyatakan gugur. Perlombaan ini mengajarkan kerjasama kelompok dan koordinasi antara anggota. Kejujuran juga diuji dalam permainan ini. Menurut Brand Manager Taro, Amalia Sarah Santi, kegiatan ini ditujukan untuk lebih mempererat hubungan antara anak dan ibunya melalui aktifitas petualangan yang digelar secara berkala di lingkungan masing-masing.
Mari kita tinggalkan keriuhan di Mampang itu, sekarang kita meluncur ke kawasan Kedoya Jakarta Barat. Di salah satu studi stasiun tv swasta, beberapa anak muda berdiri berjajar. Di dadanya terkalung medali penghargaan hasil menang kejuaraan yang mengadu tingkat kecerdasan. Lantas seorang bapak berpakaian batik membagikan bingkisan. “Isinya telpon genggam dan pulsanya udah ditanggung selama setahun oleh XL” kata bapak itu. Para penonton di studio bertepuk tangan. Operator telpon seluler itu memberikan fasilitas komunikasi kepada pelajar berprestasi sebagai bentuk CSR.
Begitulah sekelumit praktek CSR yang dipraktekkan oleh perusahaan-perusahaan. Tentu masih banyak lagi jenis kegiatan CSR, mulai dari bantuan kepada korban bencana alam, menegakkan kembali sekolah yang roboh, sunatan massal sampai ada juga CSR dalam bentuk award bagi pejuang masyarakat melakukan kegiatan pemberdayaan bagi orang banyak serta membantu orang lain untuk meningkatkan kesejahteraan. Tak sedikit pula, perusahaan-perusahaan mendirikan lembaga khusus berupa yayasan yang mengelola dana dan kegiatan CSR. Pendirian yayasan pun seakan menjadi trend. Orang-orang kaya berkantong tebal pun berlomba mendirikan yayasan yang diberi nama persis nama si kaya itu.
Lembaran koran, tayangan televisi, siaran radio dan media online pun turut panen karena CSR. Humas perusahaan berlomba-lomba memajang aksi CSR mereka di media-media supaya diketahui oleh khalayak ramai. Pengelola media senang, kocek mereka makin tebal pundi-pundi iklan mengalir deras.
Persepsi umum yang ditangkap penulis, mengesankan bahwa praktek CSR dipahami sebagai kegiatan derma suatu perusahaan yang telah banyak mengeruk keuntungan dengan obyek yang dipilih lebih banyak di luar perusahaan yaitu bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Berdasarkan pengamatan sekilas penulis terhadap kegiatan CSR yang dimuat di media massa, mayoritas kalau bisa disebut juga semua kegiatan itu obyeknya ditujukan bagi kalangan masyarakat di luar perusahaan tersebut. Berdasarkan pengamatan di media massa, penulis belum pernah melihat dan mengetahui penerapan CSR bagi kalangan dalam terutama bagi pekerja dan keluarga pekerja di dalam suatu perusahaan. Apakah pekerja dan keluarga pekerja menjadi target praktek CSR dan bagaimana pandangan kelas pekerja terhadap penerapan CSR? Artikel sederhana ini mencoba untuk menelusurinya.
Yanuar Nugroho, Direktur Eksekutif Business Watch Indonesia, berpendapat CSR, atau tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) pada hakikatnya adalah upaya yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan untuk menjamin agar praktik usahanya memenuhi kriteria tanggung jawab pada semua stakeholder (parapihak)-nya. Stakeholder ini mencakup bukan saja pelaku usaha dan pemegang saham perusahaan tersebut, namun juga masyarakat sekitar dan masyarakat yang terlibat, lingkungan, dan pekerja/buruh/karyawannya.
Dalam lingkup stakeholder atau pemangku kepentingan ini, kelompok pekerja dan keluarganya termasuk kelompok yang paling dekat dengan perusahaan. Karena keterlibatan langsung dalam proses produksi yang juga sangat mempengaruhi dalam pencapaian tingkat keuntungan. Perusahaan tidak mungkin meraup laba bila proses produksinya mandek. Bila merujuk dalam terminologi Marxist, kelas buruh lah yang sebenarnya mencetak laba karena menghasilkan nilai lebih dalam suatu produk. Nilai lebih inilah yang dihisap oleh kelas borjuis dan dinikmati sendiri, emoh berbagi serta terus menerus laba diakumulasi dalam lingkaran sistem kapitalisme. Kelas buruh hanya menerima upah sebagai balasan atas jasa dan tenaga yang telah dikeluarkan. Upah yang cuma mencukupi kebutuhan fisik supaya esok dapat kembali berpoduksi dan menghasilkan keuntungan yang pasti diambil lagi oleh pemodal. Begitu seterusnya kapitalisme bergulir semakin menggurita, menguasai setiap hajat hidup manusia.
Kontradiksi, perbenturan kepentingan antara kelas borjuasi versus proletariat akan berlangsung terus menerus berdasarkan hukum-hukum dialektika. Kelas borjuasi, di dukung segenap perangkat keras seperti tentara, hakim dan juga perangkat lunak misal budaya, gaya hidup semakin menguasai, mengatasi dan mengendalikan kelas proletariat. Karena ketertindasan, kelas proletariat melancarkan perlawanan yang intensitasnya naik turun bak gelombang. Kadang kencang, sering pula surut akibat lemahnya posisi tawar.
CSR bagi sebagian kalangan dipandang mampu menjadi penengah di antara kerasnya kontradiksi antar kelas. Menurut Andy Syafrani, pengamat CSR berpendapat bahwa konsep CSR berawal dari dorongan kuat untuk menahan laju “ketamakan” perusahaan (baca: shareholders) mengambil sendiri keuntungan bisnis yang diperolehnya. CSR adalah konsep yang menawarkan keseimbangan kepentingan antara shareholder dan stakeholder.
Selanjutnya Andy menulis pada masa awal sejarah perusahaan, konsep stakeholders tidak pernah dikenal. Yang ada hanya pemilik (owner). Istilah stakeholder pertama kali diperkenalkan dalam Stanford Research Institute Internal Report pada 1963 dan kemudian pada era 1980-an mulai dielaborasi secara sistematis dalam diskursus corporate governance, khususnya sejak R.E. Freeman (1984) menerbitkan bukunya Strategic Management: A Stakeholder Approach
Di dalam bukunya, Freeman mendefiniskan stakeholder sebagai "any group or individual who can affect or is affected by the achievement of the organisation's objectives." Dalam konteks perusahaan, pihak yang paling berperan mempengaruhi tercapainya tujuan pokok perusahaan tentunya dalam urutan hirarkis di posisi puncak adalah para pekerja (eksekutif dan non eksekutif). Tanpa mereka, perusahaan sama sekali tak akan dapat melakukan fungsinya dan otomatis tujuan perusahaan tak akan dapat dioperasionalisasikan.
Buruh terus dikepung kebijakan-kebijakan yang semakin melumpuhkan posisi tawar. Meluasnya sistem kerja kontrak, maraknya outsourcing sebagai bentuk nyata fleksibilitas pasar tenaga kerja. Penetapan UMP yang hanya menyentuh 90% level kebutuhan fisik minimum jelas-jelas buruh dilarang untuk sejahtera. Buruh diupah secukupnya agar bisa bertahan hidup dan memulihkan tenaga untuk dihisap lagi esok harinya.
Jelaslah sudah bahwa pekerja merupakan stakeholder yang seharusnya layak untuk menjadi perhatian utama dan pertama ketika perusahaan merencanakan kegiatan CSR. Tapi kenyataan di lapangan, seperti diungkapkan Nining, Ketua PP KASBI bahwa perusahaan tidak pernah memperhatikan buruhnya bahkan lebih mementingkan pihak-pihak di luar. Buruh hanya dianggap obyek produksi yang tidak pantas mendapatkan perhatian. Pendapat senada juga diutarakan Sunar, aktivis buruh Tangerang yang menilai bahwa sebenarnya bagus juga penerapan CSR namun seharusnya sebelum banyak melakukan kegiatan sosial untuk di luar, perusahaan lebih dahulu menaruh perhatian bagi yang di dalam yaitu buruh dan keluarga buruh. Semisal di Tangerang ada beberapa perusahaan yang kerap mengadakan bakti sosial tetapi kondisi buruhnya masih memprihatinkan karena menerima upah di bawah UMP. Tunjangan kesehatan macam Jamsostek tidak ada, dan hampir mayoritas berstatus kontrak. Hal ini khan ironis, di dalam kondisinya mengenaskan tetapi di luar sering cari muka dengan bungkus bantuan sosial, cerita Sunar dengan bernada geram.
Praktik CSR semacam itu tentu memancing tudingan bahwa CSR dijadikan kosmetik saja. Mempercantik tampilan luar. Menutupi bopeng-bopeng di dalam. Praktik CSR oleh perusahaan tidak lebih sebagai kamuflase bisnis untuk meningkatkan keuntungan pemodal karena kepentingan stakeholder di sana bukanlah sasaran akhir, melainkan tujuan antara yang berujung pada peningkatan citra dan profit perusahaan. Konsep ini yang sekarang marak dipakai oleh banyak entitas bisnis sebagai cara ampuh dan mujarab memoles aktifitas tanggung jawab sosialnya agar terlihat lebih “seksi” dan nge-pop. Maka bermunculanlah program-program dengan titik tekan keluar yang berusaha menampilkan watak korporasi yang sadar lingkungan dan peduli masyarakat melalui program-program sosial seperti bantuan bencana alam, mudik bareng, pendampingan UKM, bantuan pendidikan, kesehatan, community development masyarakat sekitar perusahaan dan masih banyak lagi.
Aturan di pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas yang hanya mengetengahkan elemen lingkungan hidup dalam praktik CSR semakin menipiskan kans buruh sebagai elemen yang wajib dihitung. Dengan berbagai mekanisme yang dilegitimasi oleh regulasi prokapitalis, posisi buruh dihilangkan eksistensinya sebagai pemangku kepentingan utama dalam perusahaan.
Perilaku ini di mata Nining tak lain hanyalah usaha penyelamatan proses akumulasi modal dari sorotan dan gangguan masyarakat. Nining mencontohkan program CSR berupa mempekerjakan warga sekitar pabrik hanyalah sebagai bentuk cari selamat agar tidak di demo oleh warga sekitar. Padahal saat bekerja, mereka di upah minim, sangat bertolak belakang dengan aksi bakti sosial yang digelar.
Andi Syafrani mengamini pandangan Nining tersebut. Menurutnya jika CSR saat ini lebih banyak mengambil objek di luar perusahaan seperti konsumen itu karena kesalahan dalam memahami CSR. CSR tidak dipahami sebagai instrument untuk membagi keuntungan dengan stakeholder tapi justru untuk memancing keuntungan ganda dan berlipat dari konsumen atau target clients. Pakar-pakar menyebutnya sebagai agenda greenwash dan sebagainya. Di Indonesia,mayoritas perusahaan masih memaknai CSR dalam perspektif ini.
Perusahaan hanya ingin memunculkan topeng bahwa perusahaan seakan-akan bertanggungjawab terhadap lingkungan sekitar, padahal di dalamnya (kondisi buruh) masih minim tegas Sunar.
Makna itu sejalan dengan tiga sifat dasar CSR yang saling berkaitan satu sama lain: voluntaristik, satu arah dan karitatif. Voluntaristik – artinya memang CSR dijalankan oleh korporasi pertama dan terutama karena niatnya sendiri dan itu bukan tanpa pamrih. Pamrih yang paling sederhana, biasanya, adalah CSR menjadi alat untuk PR (Public Relation) untuk membentuk citra-positif bagi masyarakat. Dengan membangun citra positif ini, CSR menjadi perangkat untuk mengamankan laba perusahaan dalam jangka panjang. Strategi ini disebut ‘profit sustainability’.
Sifat CSR terlihat dari fakta bahwa perusahaan menjalankan CSR bukan terutama karena mempertimbangkan kebutuhan parapihak (stakeholder), termasuk masyarakat dan lingkungan, melainkan justru kebutuhan perusahaan. Jelasnya, CSR bukan dan tidak pernah akan menjadi intensi pokok praktik bisnis, melainkan konsekuensi semata untuk membangun citra-positif bisnis. Karena itu isi praktik CSR ditentukan oleh perusahaan, bukan yang lain, yang intensinya adalah memupuk laba, bukan mempraktikkan CSR. Sebagai akibat, sifat ketiga, ‘karitatif’, atau ‘filantropis’, melekat erat. Artinya, lingkup kegiatan CSR berada di sekitar aktivitas donasi dan filantropis seperti aksi-belas-kasihan macam beasiwa, mendirikan rumah ibadah, membangun jembatan, pos ronda, dst. (Yanuar Nugroho, 2005)
Lalu dimana posisi pekerja dan bagaimana peran serikat buruh dalam pergulatan praktik CSR ini? Nining mengakui bahwa isu CSR belum menjadi arus utama dalam aras pemikiran dan dan tindakan gerakan serikat buruh. Perjuangan upah layak, penghapusan sistem kerja kontrak- outsourcing masih menjadi agenda utama perjuangan. Perlawanan terhadap kasus-kasus PHK begitu menguras tenaga, dana dan pikiran. Belum lagi warisan perkara fragmentasi dan faksionalisme masih begitu kental. Gerakan buruh terbenam diantara sekat-sekat yang belum mampu di dobrak.
“Memang serikat buruh seharusnya mengontrol bila dalam perusahaan ada program itu (CSR) supaya bagaimana terjadi demi kesejahteraan buruh dan juga untuk masyarakat sekitar,” tegas Sunar.
Andi Syafrani berpendapat serikat buruh sebaiknya memanfaatkan momentum adanya kewajiban CSR untuk menuntut perusahaan mengalokasikan dana CSRnya untuk kepentingan buruh. Serikat buruh dapat menformulasikan apa saja aktivitas yg dapat meningkatkan skill, kapasitas serta kebutuhan ekonomi buruh lewat CSR. Perusahaan akan mendapatkan citra dan nilai positif dari dari CSR yang dilakukannya dan buruh dapat menikmati CSR karena memang buruhlah stakeholders utama perusahaan.
CSR semestinya bisa dijadikan instrumen tambahan untuk menaikkan harkat dan martabat buruh. Program atau kegiatan karitatif dapat dikreasi untuk menunaikan tujuan ini. Buruh dan keluarganya menjadi obyek awal dan utama dari CSR. Seperti pemberian beasiswa bagi anak-anak buruh. Karena jelas, upah minim merupakan ancaman gelapnya masa depan anak-anak buruh ketika tidak mampu mengakses pendidikan yang makin hari tarifnya makin menjulang.
Untuk mencapai hal itu, secara paradigmatik, pertama-tama, konsepsi stakeholders harus dikembalikan dari outward looking ke inward looking dengan memprioritaskan kepentingan buruh dalam pelaksanaan CSR. Buruh berikut keluarganya harus dipersepsikan sebagai stakeholder utama perusahaan. Indeks pelaksanaan CSR perusahaan karenanya harus memasukkan program dan insentif yang ditujukan kepada pekerjanya sebagai indeks tertinggi keberhasilan CSR. Jika lingkaran dalam perusahaan justru tidak mendapatkan manfaat CSR, dapat dikatakan bahwa perusahaan tersebut tidak melakukan CSR melainkan promosi dan profit gaining berkedok CSR. Setelah buruh dapat menikmati arti dan manfaat CSR, barulah kemudian para stakeholders lainnya diberikan bagian yang proporsional untuk menerima dan dijadikan sebagai objek CSR. (Andi Syafrani, 2008)
Gerakan serikat buruh pun bisa segera mulai menempatkan CSR sebagai salah satu agenda perjuangan. Sebagai agenda baru, tentu kajian-kajian mendalam dan imparsial mengenai CSR harus dilakukan untuk mendapatkan gambaran dan pemahaman yang sama antar serikat buruh. Karena salah satu jalan menggapai kesejahteraan buruh terbentang melalui CSR.
(berbagai sumber)
Sunday, November 02, 2008
Urgensi Standarisasi CSR
Urgensi Standarisasi CSR
Oleh: Jimmy Tanaya[1]
Kesadaran akan CSR: Positif dan Negatif
Corporate Social Responsibility (CSR) atau Tanggung Jawab Sosial Perusahaan menjadi (lebih) sering digunakan di
Akan tetapi, peningkatan perhatian dan program mitigasi tersebut tidak secara otomatis berakibat pada menurunnya permasalahan sosial dan lingkungan yang ditimbulkan oleh perusahaan. (Dan) disanalah akibat negatif euforia CSR bersumber. Ke-negatif-an terjadi akibat pemahaman CSR yang simpang siur. Maka, wajar bila pemahaman yang kurang tepat tersebut berbuah pendekatan dan program-program CSR yang salah kaprah. Salah kaprah ini, dikhawatirkan, akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak menguntungkan baik bagi masyarakat, kondisi lingkungan, dan perusahaan.
Menimbang hal diatas, maka, standarisasi konsep CSR menjadi hal penting. Meskipun standarisasi ini belum tercapai pada tataran global; pada tataran lokal/perusahaan, standarisasi dimungkinkan untuk tercapai. Proses standarisasi dilakukan melalui diskusi-diskusi yang melibatkan banyak (atau semua?) pemangku kepentingan, salah satunya adalah para pekerja.
Keragaman Konsep CSR
Beberapa konsep CSR ditinjau dari para pemangku kepentingan adalah sebagai berikut:
1. Aparatur Pemerintah dan Hukum.
Konsep CSR bervariasi antar aparatur pemerintahan. Di satu sisi, menteri Koordinator Kesejahteraan Sosial misalnya, melihat CSR sebagai perhatian tambahan kepada masyarakat sementara tanggung jawab usaha adalah membayar pajak (Suhartono, 2007a). Di lain sisi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral berpendapat bahwa CSR perlu diterapkan oleh semua perusahaan (Indrietta, 2007). Sementara, Menteri Kehutanan menimbang CSR dalam bentuk pajak (Ma’ruf, 2007).
Sebagaimana diketahui, CSR diatur dalam dua undang-undang yaitu UU 25/2007 tentang Penanaman Modal dan UU 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. UU 25/2007 mewajibkan pelaksanaan CSR bagi para penanam modal/investor. Sementara UU 40/2007 mewajibkan pelaksanaan CSR bagi badan usaha yang bergerak di bidang ekstraksi sumber daya alam DAN yang berakibat pada sumber daya alam. Semua kegiatan produksi baik barang maupun jasa akan berakibat pada kondisi sumber daya alam (misalnya penggunaan listrik dan air), maka, logikanya, semua perusahaan wajib melaksanakan CSR. Baik UU 40/2007 maupun UU 25/2007 tidak menjelaskan dengan rinci konsep CSR selain aspek-aspek normatif yang umumnya ada dalam CSR seperti kualitas hidup masyarakat dan perlindungan lingkungan.
2. Perusahaan (sektor private)
Konsep CSR bagi perusahaan umumnya terbagi dalam keterlibatan dalam komunitas (community involvement), perbaikan praktek dan proses produksi, dan hubungan pekerja (Chambers et al., 2003). Lebih lanjut, pemberdayaan komunitas (community development) dan perlindungan lingkungan mengambil porsi terbesar dalam praktek CSR di Indonesia.
3. LSM/ORNOP
Sebagaimana konsep CSR dalam pemangku kepentingan lainnya, konsep CSR bagi LSM/ORNOP (organisasi non pemerintah) juga bervariasi. Bila dibagi secara sederhana berdasarkan penerimaan/akseptabilitas atas CSR, konsep CSR dapat dikelompokkan menjadi penerima dan penolak CSR. Kelompok penolak memandang CSR hanya merupakan strategi pemasaran (marketing gimmick) suatu perusahaan atau pencucian citra (green washing). Sementara bagi kelompok penerima, konsep CSR serupa filantropis dan/atau pemberdayaan masyarakat, atau strategi manajemen resiko.
4. Akademisi
Tidak ada konsep tunggal mengenai CSR dalam dunia akademik di
Konsep CSR: harus sangkil dan mangkus
Konsep CSR tidak hanya memerlukan standarisasi, namun juga harus relevan dengan kondisi lingkungan dan sosial perusahaan dan menjawab permasalahan-permasalahan tersebut. Tanpa menjawab permasalahan lingkungan dan sosial, sumber daya yang digunakan bagi program CSR akan menjadi tidak sangkil/efesien dan tidak mangkus/efektif. Dua hal terakhir tersebut selayaknya dihindari oleh semua pihak, terutama oleh perusahaan.
CSR harus dihubungkan dengan permasalahan-permasalahan sosial dan lingkungan agar dapat menjadi solusi. Maka, konsep CSR yang sangkil dan mangkus akan berusaha untuk menjawab eksternalitas[2] (internalizing externalities). Eksternalitas tersebut pada akhirnya juga akan meningkatkan biaya produksi dan oleh karenanya, juga tidak dinginkan oleh perusahaan.
Dampak eksternalitas sangat dirasakan oleh pekerja. Eksternalitas tersebut dapat berupa jam kerja, kondisi pekerjaan, kebijakan upah, maupun hak-hak pekerja lainnya. Seringkali dengan dalih menekan biaya produksi, faktor keselamatan kerja diabaikan. Maka para pekerja, adalah mitra strategis bagi perusahaan untuk mengidentifikasi eksternalitas tersebut dan program-program CSR yang terkait.
Lebih lanjut, perusahaan memang harus bertanggungjawab terhadap kondisi sosial maupun lingkungan yang ditimbulkan oleh proses produksi. Namun, tanggung jawab mereka dibatasi oleh sejauh mana perubahan negatif atas kondisi sosial dan lingkungan yang ditimbulkannya. CSR bukanlah suatu pembenaran atas ‘pelimpahan’ tugas-tugas negara kepada badan usaha (seperti: kesehatan, perbaikan infrastruktur, dll). Pembatasan tanggung jawab memampukan perusahaan untuk mengalokasikan sumber daya yang digunakan dalam program CSR dengan lebih baik lagi. Sementara, tanggung jawab yang tidak terbatas hanya akan mengakibatkan membengkaknya biaya produksi dan pada akhirnya, membahayakan keberlanjutan program-program CSR.
Bila CSR gagal menjadi jembatan penyeimbang trio kepentingan yaitu, ekonomi, lingkungan, dan sosial; maka kelihatannya proses penyeimbangan yang terintegrasi tersebut akan berulang dari awal dan (mungkin) melalui proses yang lebih sulit. Sementara dampak eksternalitas akan terus meningkat dan pada batas tertentu, tidak dapat diperbaiki (irreversible). Tampaknya, CSR masih harus menjadi tumpuan harapan bagi semua pihak akan proses penyeimbangan tersebut dalam kurun waktu ini.
------
Daftar Pustaka:
SUHARTONO (2007a) Aburizal: CSR bukan Kewajiban Perusahaan. Kompas, 26 April 2007, diambil dari: http://www.kompas.co.id/ver1/Nasional/0704/26/122114.htm.
INDRIETTA, N. (2007) Menteri Energi Pertanyakan Pembatasan CSR. TEMPO Interaktif, 23 July 2007, diambil dari:
http://www.tempointeraktif.com/hg/ekbis/2007/07/23/brk,20070723-104180,id.html.
[30 July 2007].
CHAMBERS, E., CHAPPLE, W., MOON, J. & SULLIVAN, M. (2003) CSR in
MA’RUF, M. (2007) Dephut Usul CSR 2,5–8% Laba. Seputar
[1] Penulis adalah salah satu pegiat LSM Business Watch
[2] Eksternalitas adalah ekses-ekses (baik positif/diinginkan dan negatif/tidak diinginkan; namun dalam hal ini, diasosiasikan sebagai ekses negatif) yang timbul dalam suatu proses produksi. Disebut sebagai eksternalitas karena ekses-ekses tersebut tidak diperhitungkan kedalam biaya produksi. Akibatnya, masyarakat menanggung biaya-biaya yang timbul akibat ekses tersebut.